Tidak semua cerita harus megah. Yang sederhana pun bisa tinggal lebih lama di hati
– Aspi Yuwanda
Tahun ini, saya sudah menulis tiga buku. Awalnya tidak pernah ada rencana untuk membuat sebuah trilogi. Tapi setelah selesai menulis ketiganya, saya merasa, kok seperti sebuah trilogi ya. Dan setelah itu saya sadar ada benang merah yang membuat mereka saling terhubung.
Buku pertama, “Dari Luka Menuju Rumah”, lahir dari fase penuh kehilangan dan kebingungan. Tentang jatuh, tersesat, lalu perlahan belajar berdamai. Bukan kisah kemenangan, hanya perjalanan kecil untuk pulang ke diri sendiri.
Buku kedua, “Satu Hari Dalam Satu Waktu”, hadir dari fase diam. Dari hari-hari yang dijalani pelan, tanpa terburu-buru. Belajar hadir tanpa harus selalu punya jawaban untuk semua pertanyaan.
Buku ketiga, “Langkah Kedepan dan Mimpi yang Terus Bergerak”, bercerita tentang keberanian untuk melangkah lagi. Tentang mimpi yang kadang berubah arah, tapi tetap menuntun untuk terus berjalan, sekecil apa pun langkahnya.
Kalau dibaca berurutan, tiga buku ini sebenarnya saling melengkapi. “Dari Luka Menuju Rumah” adalah tentang jatuh dan usaha berdamai. “Satu Hari Dalam Satu Waktu” tentang bertahan dan belajar hidup pelan. Dan “Langkah Kedepan dan Mimpi yang Terus Bergerak” tentang keberanian untuk terus maju. Dari runtuh, diam, sampai akhirnya bergerak.
Saya tidak menulis buku-buku ini karena sudah tahu segalanya. Saya juga tidak menulisnya karena merasa sudah selesai dengan hidup. Justru sebaliknya, saya menulis karena saya masih terus berjalan. Masih sering ragu. Masih bertanya. Masih belajar menerima hal-hal yang tidak bisa saya kendalikan.
Tiga buku ini bukan teori hidup, bukan juga buku motivasi. Mereka hanyalah catatan. Kadang berupa pengalaman pribadi, kadang bercampur fiksi tipis. Tapi intinya sama: refleksi dari apa yang pernah saya jalani.
Sebenarnya ada satu buku lagi yang sedang saya tulis, meski belum selesai. Isinya lebih sederhana, berupa daftar pertanyaan untuk diri sendiri. Lebih seperti percakapan diam, lebih dekat ke bentuk refleksi. Buku itu saya tulis bersamaan dengan buku ketiga ini, tapi belum sempat saya selesaikan. Ada semacam jeda, dan saya memilih menaruhnya sebentar. Mungkin nanti akan ada waktunya lagi untuk kembali saya rampungkan.
Saya tidak tahu apakah buku-buku ini akan penting buat orang lain. Yang jelas, bagi saya, mereka adalah penanda. Bahwa setiap fase hidup punya bahasanya sendiri: luka, bertahan, dan mimpi.
Kalau kamu sedang berada di fase yang mirip, mungkin kamu juga akan menemukan potongan cerita kamu sendiri di dalamnya.
Selamat membaca pelan-pelan, seperti hidup yang tidak harus selalu tergesa.
Beberapa menit lalu saya baru tiba di rumah, meletakkan barang, lalu langsung menyalakan PC untuk menulis cerita ini.
Sejak menikah, pulang ke rumah tadi adalah yang pertama bagi saya melewati jalanan jam dua pagi. Ada kegiatan yang baru selesai, dan perjalanan pulang dari Mampang menuju Sunter, dari selatan ke utara Jakarta, memberi pengalaman yang berbeda.
Jalanan terasa lengang, sepi dari hiruk pikuk yang biasanya memenuhi siang hari. Lampu merah berdiri sendirian, seolah hanya penanda tanpa arti. Lampu jalan berderet, jadi garis cahaya yang membelah gelap kota, seakan menunjukkan arah sekaligus mengingatkan bahwa Jakarta tidak pernah benar-benar tidur. Tetap terjaga.
Sepanjang perjalanan, saya melihat potret kota yang jarang hadir di depan mata. Pedagang kaki lima yang merapikan barang-barang dagangan. Tukang ojek yang masih berjaga di pojokan jalan, berharap ada penumpang terakhir. Sekelompok anak muda yang tertawa lepas di pinggir jalan, seakan malam tidak punya ujung. Dan di balik semua itu, ada pemandangan yang membuat saya terdiam: manusia gerobak yang tidur di trotoar, tubuh kurus dibungkus kardus tipis, wajah letih yang bersandar pada gerobak berisi rongsokan.
Kontras itu terasa begitu tajam. Gedung tinggi yang tetap menyala dengan lampu terang berdiri megah hanya beberapa meter dari orang-orang yang bahkan tidak punya atap. Kota yang dipuja karena gemerlapnya ternyata juga menyimpan sisi rapuh yang sering terabaikan. Ada mereka yang merayakan malam, ada yang sekadar menunggu pagi, ada yang terpaksa melewati waktu dengan cara bertahan hidup.
Jakarta jam dua pagi bukan sekadar perjalanan pulang. Ia memperlihatkan wajah kota tanpa topeng: jujur, keras. Penuh cerita. Dari selatan ke utara, dari terang lampu jalan sampai sudut-sudut gelap trotoar, kota ini bicara dengan cara yang berbeda. Tentang manusia yang berjuang, tentang kehidupan yang berjalan tanpa henti, dan tentang kenyataan bahwa tidak semua orang mendapat ruang yang sama di dalamnya.
Dan ketika akhirnya saya sampai di rumah, saya sadar bahwa perjalanan singkat di jam dua pagi itu bukan sekadar soal pulang. Ia adalah potongan kecil dari wajah kota yang jarang terlihat, sekaligus pengingat bahwa di balik semua kesibukan siang hari, Jakarta menyimpan cerita lain yang sama nyata. Malam ini, saya menuliskannya agar tidak hilang begitu saja, karena mungkin besok pagi kota akan kembali dengan wajah yang ramai, dan kenangan tentang jalanan sunyi ini hanya tinggal jejak di ingatan.
Jakarta, Menjelang Subuh 13 September 2025
Aspi Yuwanda
Saya tidak menulis
buku ini karena sudah tahu segalanya. Saya tidak menulis ini karena merasa
sudah selesai dengan hidup. Saya menulis ini justru karena saya masih terus
berjalan. Masih sering ragu. Masih bertanya. Masih belajar menerima hal-hal
yang tidak bisa saya kendalikan.
Buku ini lahir dari
hari-hari biasa. Dari kelelahan yang pelan. Dari percakapan diam dengan diri
sendiri. Dari langkah-langkah kecil yang saya ambil, meski tidak tahu pasti ke
mana arahnya.
Dan saya tahu,
mungkin kamu juga sedang ada di tempat yang sama. Tempat di mana semuanya belum
jelas. Tempat di mana kamu tidak sedang hancur, tapi juga belum utuh. Tempat di
mana kamu tetap hadir, meski tidak tahu harus bicara apa.
Kalau iya, saya
menulis ini untuk menemani. Bukan untuk memberi jawaban. Tapi untuk bilang, kamu tidak sendirian.
Saya tidak ingin
menutup buku ini dengan kesimpulan. Karena hidup tidak bisa disimpulkan. Ia
tidak bekerja dengan alur yang lurus. Tidak semua hal harus diberi makna besar.
Kadang kita hanya perlu diam, dan membiarkan hidup mengalir.
Saya hanya ingin
menyampaikan satu hal: apa pun yang sedang kamu jalani sekarang, itu tetap
berarti. Meski pelan. Meski tidak terlihat. Meski belum selesai.
Yang penting, kamu
masih ada. Masih mau mencoba. Masih memilih untuk berjalan, hari ini.
Buku ini selesai, tapi
perjalanan kita belum. Dan mudah-mudahan, apa pun bentuknya, kita tetap bisa
hidup dengan cara yang tenang dan jujur.
Bukan untuk jadi
hebat. Bukan untuk membuktikan apa pun. Tapi cukup untuk tahu, bahwa kita
sedang hidup dan kita sedang berjalan satu hari dalam satu waktu.
Setiap
orang punya cara sendiri dalam menjalani hidup. Ada yang cepat, ada yang pelan.
Ada yang penuh rencana, ada yang mencoba satu hari dulu, lalu lihat lagi besok.
Saya
termasuk yang kedua. Bukan karena tidak punya arah, tapi karena hidup sering
berjalan tidak seperti yang saya pikirkan. Dan dari semua fase yang saya
lewati, saya belajar satu hal penting: bahwa hadir, dengan jujur dan tenang, jauh lebih bermakna daripada terlihat
berhasil.
Buku ini
lahir dari keinginan sederhana untuk mencatat proses. Proses menerima kenyataan
bahwa hidup tidak harus selalu dipahami. Bahwa luka tidak selalu harus
disembuhkan. Bahwa tujuan bukan satu-satunya alasan untuk terus jalan.
Saya
tidak menulis buku ini untuk memberi nasihat. Saya juga tidak menulis sebagai orang yang sudah selesai menjalani semua hal. Saya
menulis karena saya ingin menemani. Siapa pun yang sedang merasa lelah,
bingung, atau diam-diam sedang bertahan.
Dan kalau
ada satu dua bagian dalam buku ini yang bisa membuat kamu merasa sedikit lebih
dilihat, atau sedikit lebih tenang, maka itu sudah cukup.
Terima
kasih sudah membuka halaman ini. Selamat membaca pelan-pelan, seperti hidup
yang tidak harus selalu tergesa.
Malam ini, seperti biasa jika esok hari libur dan saya tidak kemana-mana, saya duduk di tempat favorit: di depan komputer, berselancar di dunia maya. Mencari informasi terkini yang kebetulan akhir-akhir ini sedang panas, membaca ulang tulisan saya di blog, kemudian saya berpikir untuk menulis ini.
Tidak terasa sudah 12 tahun blog ini ada. Dari awalnya pakai domain Blogger gratisan, sampai akhirnya saya beli domain sendiri enam tahun setelahnya. Blog ini tidak pernah benar-benar konsisten. Kadang bulan ini ada posting, bulan depan tidak ada sama sekali. Kadang setahun hanya ada dua tulisan, lalu menghilang lama.
Hingga kira-kira dua tahun lalu, saya mulai sedikit lebih rajin. Awalnya karena saya kembali naik gunung setelah sekian lama. Dari situ lahir cerita perjalanan naik gunung, lalu berkembang menjadi artikel reflektif. Menulis tentang hal-hal sederhana yang saya alami, bukan untuk siapa-siapa, tapi lebih untuk diri sendiri.
Lalu di awal tahun, saya memberanikan diri menulis buku. Bermula dari pengalaman pribadi. Sampai hari ini, sudah ada tiga buku yang saya tulis. Tanpa saya sadari, ketiganya ternyata membentuk sebuah benang merah. Seperti sebuah trilogi, walau tidak pernah saya rencanakan sejak awal.
Buku pertama bercerita tentang luka dan perjalanan panjang untuk akhirnya menemukan rumah. Bukan rumah sebagai tempat, melainkan rasa pulang yang menenangkan.
Buku kedua tentang belajar hadir di setiap hari. Menjalani hidup satu hari dalam satu waktu, menerima fase-fase sederhana yang sering kali kita abaikan.
Buku ketiga tentang mimpi. Tentang keberanian melangkah ke depan, walau mimpi itu berubah seiring waktu. Bahwa mimpi bukan tujuan final, melainkan arah yang terus bergerak.
Dan kini, saya sedang menyiapkan buku keempat. Sebuah penutup yang mungkin akan menjadi lingkaran terakhir dari perjalanan ini: refleksi tentang arti pulang. Pulang ke diri sendiri, ke orang-orang, dan ke makna hidup yang lebih besar.
Sering kali saya bertanya pada diri sendiri: kenapa tetap menulis kalau statistik blog ini tidak cemerlang? Angka pembaca tidak konsisten, kadang hanya segelintir yang membaca. Tapi saya sadar bahwa menulis di sini bukan soal angka. Blog ini seperti ruang sunyi tempat saya merapikan pikiran. Kalau ada yang membaca dan merasa ditemani, ya baguslah.
Kenapa tetap menulis buku walaupun tidak pernah saya kirim ke publisher ? Bahkan saya belum pernah kirim ke situs yang menampung cerita orang agar ditampilkan disitusnya, Karena bagi saya, buku bukan sekadar produk yang harus laku di pasar. Buku adalah bentuk perjalanan yang bisa ditinggalkan. Bahkan jika hanya dibaca oleh lingkaran kecil orang-orang yang menemukan jalan ke sana, tetap ada nilai yang bertahan.
Kenapa tetap merekam podcast meski tidak viral ? Karena percakapan yang jujur tidak butuh panggung besar. Ada orang yang mungkin mendengarkan dalam perjalanan pulang, ada yang mendengar sambil bekerja, ada yang mendengar lalu merasa, “oh, ternyata bukan saya sendiri yang merasakan ini.”
Semua ini saya lakukan untuk merawat ingatan, perjalanan, dan pikiran-pikiran. Mungkin ada orang yang menemukan dirinya di antara kata-kata ini, merasa ditemani, atau sekadar merasa tidak sendirian. Jika tidak pun, tidak apa-apa. Karena bagi saya, menulis, mencatat, dan berbagi hanyalah cara sederhana untuk menjaga apa yang pernah ada, agar tidak hilang begitu saja ditelan waktu.
Dan saya merasa sangat bahagia di hampir satu tahun terakhir ini. Saya sudah menulis tujuh belas artikel: tentang perjalanan saya yang kembali naik gunung, tentang pikiran-pikiran yang tidak pernah saya ceritakan kepada orang terdekat, karena saya memilih menuliskannya di sini, juga tentang refleksi masa lalu yang tetap relevan dengan hari ini, bahkan opini saya tentang lagu yang saya pernah dengarkan.
Pada akhirnya, blog, buku, dan podcast itu bukan tentang angka, bukan tentang panggung. Semuanya hanyalah jalan kecil yang saya tempuh untuk merawat ingatan, menjaga pemikiran, dan merekam perjalanan. Jika ada orang lain yang merasa ditemani di jalan ini, maka itu adalah hadiah tambahan yang berharga.
Jakarta, Hampir Pagi 5 September 2025
Aspi Yuwanda
Malam ini saya mendengar Lean on Me dari Bill Withers. Lagu lama dengan lirik sederhana, tapi justru di situlah letak kekuatannya. “Lean on me, when you’re not strong” Lirik itu terasa seperti mengetuk pintu yang lama tidak saya buka. Rasanya seperti pengingat bahwa dalam hidup selalu ada waktu di mana kita butuh seseorang untuk bersandar.
Saya kembali teringat masa kecil. Ada hari-hari ketika saya pulang sekolah atau pulang bermain dengan badan lelah dan wajah kusut. Ayah saya tidak banyak bicara, tapi keberadaannya cukup. Duduk di ruang tamu, menyeduh kopi, atau sekadar menepuk bahu saya. Ibu pun selalu ada dengan caranya sendiri. Menyediakan makanan hangat, menanyakan kabar sederhana, memastikan saya baik-baik saja. Orang tua saya hadir, tanpa syarat, tanpa banyak kata.
Saat itu saya tidak sepenuhnya sadar, tapi ternyata di situlah saya sedang bersandar. Kehadiran mereka membuat saya merasa aman, merasa cukup, merasa punya rumah. Dan lagu ini membuat saya mengerti satu hal. Jika dulu orang tua saya bisa menjadi sandaran untuk saya, maka sekarang giliran saya untuk menjadi sandaran bagi anak saya.
Kini saya ada di posisi itu. Saya seorang ayah. Anak mungkin tidak selalu mengatakan mereka lelah. Mereka mungkin tidak pandai mengungkapkan kecewa. Tapi saya ingin mereka tahu, jika mereka butuh tempat untuk bersandar, saya ada di sini.
Saya tidak selalu kuat. Kadang saya juga goyah. Tetapi menjadi sandaran bukan berarti tidak pernah jatuh. Menjadi sandaran berarti berani untuk tetap ada, meski rapuh. Saya ingin anak-anak saya merasakan apa yang dulu saya rasakan. Kehadiran orang tua yang bisa mereka andalkan, bahkan tanpa banyak kata.
Lagu Lean on Me bukan hanya musik di telinga. Ia menjadi pengingat di hati. Perjalanan sebagai ayah bukan hanya tentang memberi arah, tetapi juga tentang menyediakan bahu untuk bersandar. Sebagaimana saya dulu menemukan ketenangan dalam kehadiran ayah dan ibu, saya ingin anak-anak saya menemukannya dalam diri saya.
Dan semoga, ketika suatu hari nanti mereka mendengar lagu yang sama, mereka akan teringat bahwa mereka pernah punya tempat aman untuk bersandar. Mungkin kelak mereka pun akan memilih untuk menjadi sandaran bagi orang-orang yang mereka cintai.
Jakarta, 30 Agustus 2025 Aspi Yuwanda
Malam datang, dan saya duduk di depan komputer. Lampu jalan sepi, angin malam terdengar samar. Segelas minuman favorit ada di samping tangan. Saya tidak buru-buru meneguknya. Hangatnya pelan, pahit dan manisnya bercampur dengan pikiran yang mulai melayang. Malam-malam sebelumnya muncul kembali: keputusan kecil, percakapan yang tersisa, hal-hal yang terlewat. Semua itu hadir tanpa menuntut, mengingatkan bahwa hidup berjalan lewat langkah-langkah kecil.
Keheningan di awal membuka ruang untuk hadir dan menyadari hal-hal sederhana yang sering terlewat. Langkah-langkah kecil dan keputusan sehari-hari meninggalkan jejak yang membentuk pengalaman. Rutinitas, kebiasaan, dan detail sehari-hari tetap penting dalam membangun kesadaran diri. Semua itu kembali terasa malam ini, mengalir tanpa paksaan, tapi jelas memengaruhi cara saya melihat diri sendiri.
Tidak ada jawaban dramatis malam ini. Tidak ada sorak atau ledakan. Hanya keheningan, suara kendaraan yang jarang lewat, hujan samar di jendela, aroma kopi yang samar dari dapur. Semua itu mengingatkan saya untuk hadir, menerima proses, dan memberi ruang pada diri sendiri. Langkah-langkah kecil yang dilakukan dengan kesadaran tetap berarti.
Saya menutup mata sebentar, membiarkan pikiran mengalir. Pertanyaan yang belum terjawab, impian yang belum tercapai, keraguan yang ada, diterima begitu saja. Malam ini menjadi jeda, antiklimaks yang menenangkan, menutup perjalanan sebelumnya dengan kesadaran dan penerimaan.
Saat pagi muncul, saya menatap kembali ruangan yang sama. Gelas di meja, kipas angin yang pelan, bayangan lampu pagi masuk lewat jendela. Semua menjadi jejak malam ini. Tidak ada yang memaksa, tidak ada yang menuntut. Diam dan refleksi membimbing langkah-langkah berikutnya.
Hidup bukan soal cepat atau lambat, sukses atau gagal. Hidup adalah memahami diri sendiri lewat detik-detik sederhana yang diamati, dirasakan, dan diterima. Malam ini menutup semuanya tanpa dramatisasi, tapi dengan kesadaran penuh bahwa setiap langkah kecil tetap berarti.
Epilog: Menyadari Langkah
Melihat kembali perjalanan ini, saya menyadari seluruh yang terjadi bukan soal kejadian besar atau pencapaian dramatis. Malam-malam yang ditulis membuka ruang untuk hadir, menyadari hal-hal sederhana, dan memahami langkah-langkah kecil yang membentuk pengalaman. Rutinitas, kebiasaan, keputusan sehari-hari, semuanya meninggalkan jejak.
Episode terakhir ini hadir sebagai refleksi menyeluruh. Semua malam dan langkah kembali hadir dalam kesadaran saya. Tidak ada sorak, tidak ada ledakan. Yang ada hanyalah penerimaan dan pemahaman bahwa hidup berjalan lewat detik-detik sederhana yang diamati, dirasakan, dan diterima.
Series ini menutup perjalanan reflektif tanpa paksaan atau dramatisasi. Semua episode menjadi satu kesatuan yang mengingatkan bahwa hidup bukan soal cepat atau lambat, sukses atau gagal. Hidup adalah memahami diri sendiri melalui pengalaman sehari-hari, memberi ruang untuk hadir, dan menerima setiap langkah yang dijalani.
Terima kasih sudah ikut malam-malam ini.
Hidup tidak menunggu ledakan besar. Hadir sekarang. Setiap langkah kecil yang dijalani adalah kesadaran yang nyata.
Malam tiba tanpa pengumuman. Hanya keheningan yang mengisi ruangan dan suara jarum jam yang berjalan perlahan. Saya duduk di dekat jendela, menatap kota yang mulai sepi. Setiap lampu yang padam mengingatkan bahwa dunia juga perlu berhenti sejenak. Di sinilah langkah-langkah kecil menuju kesadaran mulai terasa.
Momen Diam yang Bermakna
Kembali, segelas minuman favorit ada di samping tangan, memberi rasa hangat yang samar. Dinikmati pelan-pelan, bukan ditenggak sekaligus. Aromanya naik perlahan, pahit dan manis bercampur, seperti pikiran yang saling bertaut. Diam di malam hari bukan sekadar berhenti dari aktivitas, tapi memberi kesempatan bagi diri untuk menyadari hal-hal yang biasanya terlewat.
Refleksi Hari yang Berlalu
Mata saya menelusuri bayangan di dinding. Hari-hari yang berlalu tampak seperti jejak samar. Keputusan kecil, percakapan ringan, dan langkah sehari-hari kini muncul dalam ingatan. Setiap momen yang dulu dianggap biasa, kini mengandung pelajaran. Malam memberi ruang untuk menelaah kembali apa yang telah dilakukan dan apa yang belum tersentuh.
Kesadaran dari Hal Kecil
Seringkali kita mencari jawaban besar, padahal kesadaran muncul dari hal-hal kecil. Sebuah senyum, kata yang lembut, atau waktu yang diambil untuk hanya duduk dan menatap. Malam mengajarkan bahwa hadir sepenuhnya bukan soal pencapaian besar, tapi tentang menyadari setiap langkah, sekecil apapun.
Menyusun Ulang Prioritas
Saya memejamkan mata sejenak, membiarkan pikiran bergerak. Pertanyaan lama muncul kembali: Apa yang benar-benar penting? Mana yang harus dilepaskan? Malam memberi kesempatan untuk menyusun ulang prioritas. Tanpa tekanan, tanpa tergesa-gesa. Hanya ketenangan yang menuntun ke kesadaran.
Menerima Ketidaksempurnaan
Tidak semua hal bisa sempurna. Tidak semua rencana berjalan sesuai harapan. Malam mengajarkan bahwa menerima ketidaksempurnaan adalah bagian dari kesadaran itu sendiri. Setiap langkah kecil yang dilakukan dengan sadar, meski sederhana, membentuk fondasi yang lebih kuat untuk perjalanan berikutnya.
Langkah Menuju Diri Sendiri
Ketika pagi mulai mendekat, saya menatap kembali ruang yang sama. Jejak malam ini tersimpan dalam pikiran, bukan hanya sebagai ingatan, tapi sebagai bagian dari proses memahami diri sendiri. Langkah kecil yang diambil dengan kesadaran menuntun ke arah keutuhan. Setiap detik yang diberikan untuk merenung menambah kedalaman dalam diri.
Kesadaran yang Utuh
Malam bukan sekadar waktu untuk berhenti. Ia adalah guru yang mengajarkan tentang hadir sepenuhnya, menerima apa yang ada, dan menghargai setiap langkah. Dari kesederhanaan momen ini, lahir kesadaran yang utuh. Hidup bukan hanya tentang bergerak cepat, tapi tentang memahami diri sendiri sepanjang perjalanan.
Jakarta, Tengah Malam 12 Agustus 2025
Aspi Yuwanda
Malam datang dengan cara yang tenang. Tidak ada suara bising, tidak ada lampu jalan yang terlalu terang. Hanya keheningan yang merayap perlahan ke setiap sudut ruangan. Saya duduk di dekat jendela, menatap bayangan pepohonan yang bergerak mengikuti angin malam. Rasanya seperti dunia berhenti sejenak, memberi waktu untuk bernapas dan menimbang kembali apa yang telah dilewati.
Kenangan dan Jejak Kecil
Segelas minuman favorit menemani. Uapnya naik tipis, cukup untuk mengingatkan bahwa setiap hal kecil bisa membawa kenyamanan. Kadang kita terlalu fokus pada hal besar, sampai lupa bahwa momen sederhana juga meninggalkan jejak dalam diri. Di malam seperti ini, pikiran mulai menelusuri lorong-lorong kenangan. Peristiwa yang sepele sekalipun tampak lebih jelas ketika dunia luar mereda.
Belajar dari Keheningan
Saya menutup mata sesaat, membiarkan memori dan perasaan bertemu. Ada rasa lega saat menerima semuanya tanpa menghakimi. Malam memberi kesempatan itu, memberi ruang agar kita bisa menatap diri sendiri lebih jujur. Keheningan malam mengajarkan tentang kehadiran. Dalam diam, kita bisa mendengar suara yang selama ini tenggelam oleh hiruk pikuk.
Merenung dan Menyusun Ulang
Sesekali saya menatap ke luar jendela lagi, melihat cahaya lampu yang redup. Pikiran saya mulai melompat ke peristiwa hari-hari terakhir, hal-hal yang membuat hati bergetar, keputusan yang membawa perubahan, dan kesempatan yang belum pernah diambil. Semua itu membentuk jejak yang kini saya cermati dengan tenang. Malam bukan hanya waktu untuk istirahat. Ia adalah ruang di mana kita bisa menyusun ulang diri sendiri.
Menerima Ketidakpastian
Saya memejamkan mata lagi, membiarkan pikiran berjalan tanpa batas. Bayangan masa lalu dan masa depan saling bertemu. Ada pertanyaan yang belum terjawab, impian yang belum terwujud, dan ketakutan yang masih membayangi. Tapi malam mengajarkan bahwa semuanya boleh ada tanpa harus segera dicari jawabannya. Dalam menerima ketidakpastian, kita belajar hadir sepenuhnya.
Jejak yang Membentuk Diri
Dan ketika pagi perlahan mendekat, saya menyadari bahwa jejak yang ditinggalkan malam bukan sekadar kenangan atau perasaan. Mereka adalah pelajaran yang membimbing langkah berikutnya. Keheningan malam bukan kosong. Ia menyisakan jejak yang hanya bisa kita baca ketika mau berhenti sejenak. Dan jejak itu, lambat laun, membentuk diri kita menjadi lebih utuh.
Syukur di Akhir Malam
Malam ini, saya meninggalkan ruang itu dengan rasa syukur. Syukur karena diberi waktu untuk berpikir, untuk menyadari hal-hal kecil yang penting, dan untuk menemukan kembali diri sendiri di antara keheningan. Malam mengingatkan bahwa hadir sepenuhnya bukan soal banyak bicara atau bergerak cepat, tapi soal memberi diri ruang untuk memahami apa yang sebenarnya berarti.
Lampu meja menyala redup. Ruangan terasa hangat. Di luar jendela, jalanan sudah sepi. Sesekali terdengar suara motor melintas. Udara malam masuk perlahan lewat celah kaca yang sedikit terbuka. Aroma tanah sisa hujan sore tadi masih tersisa.
Di samping keyboard, ada secangkir minuman. Uapnya tipis tapi aromanya terasa. Layar komputer sudah menyala menunggu untuk diisi. Jari-jari belum bergerak. Pikiran masih berjalan ke segala arah. Malam ini bukan tentang kecepatan tapi tentang memberi ruang.
Ruang untuk Diri Sendiri
Ada malam-malam yang terasa lebih panjang dari biasanya. Bukan karena pekerjaan menumpuk atau masalah mendesak. Tapi karena ada ruang kosong yang sengaja disisakan untuk diri sendiri. Ruang itu bukan sekadar tempat tapi jeda dari hiruk pikuk yang memenuhi hari. Sebuah jeda yang membiarkan pikiran berjalan tanpa harus segera sampai.
Malam ini saya duduk di depan komputer. Tidak ada agenda besar. Tidak ada target khusus. Hanya layar kosong di hadapan dan musik pelan di latar. Suaranya cukup untuk membuat ruangan hidup tapi tidak terlalu bising untuk menenggelamkan pikiran.
Mengalir Tanpa Paksaan
Sesekali saya memejamkan mata. Membiarkan imajinasi melayang ke berbagai arah. Ke rencana yang belum tersentuh. Ke masa lalu yang masih terasa dekat. Atau ke masa depan yang bentuknya kabur. Kadang ide tulisan muncul. Kadang skema bisnis yang belum tentu dijalankan terlihat jelas. Semua mengalir tanpa paksaan.
Banyak orang melihat momen seperti ini sebagai waktu terbuang. Duduk diam tanpa hasil yang bisa diukur. Tapi saya percaya di ruang seperti ini sering muncul potongan kecil yang membentuk gambaran besar. Sama seperti membalik potongan puzzle satu per satu tanpa tahu gambar utuhnya tapi perlahan mulai mengenali bentuknya.
Belajar Menepi
Di titik ini saya ingat kembali beberapa malam yang lalu. Ketika memaksa diri tetap bergerak, mengejar satu demi satu hal yang belum jelas ujungnya. Hasilnya bukan kepuasan tapi kelelahan yang membuat segalanya hampa. Malam itu saya sadar terkadang kita butuh menepi. Bukan karena menyerah tapi karena ingin kembali melihat jalan dengan lebih jelas.
Kita hidup di zaman serba cepat. Semua orang ingin hasil instan pencapaian kilat dan langkah yang selalu terlihat produktif. Tapi tidak semua hal bisa dipercepat. Ada proses yang hanya tumbuh jika diberi waktu. Sama seperti biji yang tidak bisa dipaksa berbunga hanya dengan menyiramnya berlebihan.
Hadir Sepenuhnya
Malam seperti ini mengingatkan saya bahwa hidup bukan soal seberapa cepat kita bergerak tapi seberapa utuh kita hadir di setiap langkah. Produktivitas tidak selalu tentang hasil akhir tapi juga tentang memberi ruang bagi pikiran untuk bernapas, mencerna, dan menyusun ulang arah. Kadang yang dibutuhkan bukan percepatan tapi perhentian sejenak untuk melihat ulang jalan yang ditempuh.
Dari luar mungkin terlihat seperti saya duduk diam. Namun di dalam kepala banyak yang bergerak. Ide-ide saling bertemu dan bergesekan. Perlahan membentuk sesuatu yang utuh. Tanpa terburu-buru.
Keheningan yang Berbicara
Dan mungkin dari momen sederhana seperti ini langkah besar berikutnya akan lahir. Karena seringkali untuk menemukan arah kita hanya perlu berhenti sebentar. Mendengar apa yang selama ini terlewat. Dan membiarkan keheningan berbicara.
Pada akhirnya yang tersisa bukan hanya hasil atau pencapaian. Yang tersisa adalah rasa hadir utuh di setiap langkah. Kesadaran bahwa setiap malam setiap jeda dan setiap detik yang diberi ruang untuk berpikir membentuk siapa kita sesungguhnya. Hidup bukan soal sampai di mana cepatnya tapi soal seberapa dalam kita memahami diri sendiri sepanjang perjalanan.
“Menyusuri jalur senja, di antara langit yang membuka rahasia hari.”
Gambar di atas diambil ketika malam menjelang , di Pos 4 Merbabu via Thekelan. Saat itu saya sedang mengistirahatkan tubuh di sabana dekat campsite, setelah berjalan lebih dari lima jam dari Pos 1 untuk sampai ke tempat ini. Sinyal muncul lalu hilang. Notifikasi menyala di beberapa titik. Di sekeliling, orang-orang sibuk dengan tendanya masing-masing. Tapi di tengah semua itu, saya duduk diam. Tidak sedang ingin membalas pesan. Tidak ingin ikut ramai. Dan justru di situ, saya merasa lebih utuh. Tanpa banyak hal yang harus dijelaskan.
Prolog: Ini Bukan Cerita Tentang Tempat.
Saya tidak sedang mencari puncak, tidak juga mencoba melarikan diri dari apa pun. Sore itu, saya hanya berjalan. Jalur menanjak, carrier di punggung, dan matahari yang sebentar lagi turun di balik awan. Tidak ada target. Tidak ada yang saya kejar. Tapi juga tidak ingin diam di tempat.
Beberapa waktu terakhir, ada banyak hal yang berjalan cepat. Terlalu cepat. Rasanya seperti ikut arus, tapi tidak benar-benar mengerti ke mana. Di antara semua itu, saya sadar: saya butuh ruang. Bukan untuk berhenti, tapi untuk diam sebentar. Untuk memastikan bahwa saya masih mendengar suara sendiri.
Tulisan ini bukan tentang pendakian. Bukan juga tentang tempat tertentu. Ini tentang momen-momen kecil yang diam-diam mengubah arah. Tentang ruang yang tidak bisa dijelaskan, tapi terasa. Dan tentang bagaimana saya belajar menjaga satu bagian dari diri agar tetap utuh, bahkan ketika segala hal di luar terus bergerak.
Kota dan Kepingan Sunyi
Pagi itu, langit Jakarta berwarna abu-abu. Seperti biasanya, jalanan mulai penuh. Orang-orang bergerak dengan ritme yang sama: cepat, terburu, nyaris tanpa ekspresi. Saya ikut berdiri di antara mereka. Namun di kepala saya, justru muncul satu ingatan yang tidak saya undang. Kabut tipis di kaki gunung. Langkah pelan di jalur tanah basah. Suara angin, bukan klakson. Diam, bukan notifikasi.
Beberapa minggu terakhir, ada yang terasa aneh. Saya hadir, tetapi tidak benar-benar ada. Seperti biasa, bekerja senin - jumat. Namun, setiap kali hari mulai gelap, saya menyadari satu hal: ada bagian dari diri yang seperti tertinggal. Entah di mana. Bukan lelah. Lebih seperti kosong.
Suatu malam, saya mencoba menulis. Tapi, bahkan tulisan pun tidak mengalir. Kata-kata berhenti di tengah. Jari saya diam di atas keyboard. Saya mematikan lampu, dan membiarkan kamar tenggelam dalam gelap yang jujur. Di tengah diam itu, saya bertanya: sejak kapan semuanya terasa seperti ini? Dan tidak ada jawaban yang datang. Hanya satu bayangan samar: kampung halaman. Waktu berjalan pelan. Suara ibu dari dapur. Jendela kamar yang terbuka ke arah pepohonan di samping rumah. Sore yang sunyi. Dan saya yang lebih utuh.
Tahun ini, saya kembali ke gunung. Bukan karena rindu puncak, tapi karena ingin diam. Ingin berhenti berlari dari hal-hal yang tidak saya mengerti. Malam itu, saya duduk di depan tenda. Suara hutan mengisi malam yang sejuk. Dan saya merasa tenang, meskipun tidak sedang baik-baik saja. Bukan karena semuanya selesai, tapi karena saya tidak harus menjelaskan apa-apa. Di sana, diam bukan sesuatu yang aneh. Tidak ada yang menuntut cerita. Tidak ada yang menunggu alasan. Diam adalah cukup.
Ketika kembali ke kota, jalan tetap macet, jadwal tetap padat, dan suara tetap ramai. Tapi saya mulai belajar berjalan sedikit lebih pelan. Mulai memperhatikan lagi langkah kaki sendiri. Mulai mendengarkan apa yang saya rasakan, bukan hanya apa yang harus saya kerjakan. Saya belum pulih. Dan mungkin tidak harus sepenuhnya pulih.
Yang saya tahu, di antara dua dunia yang saya tempati, kota yang keras dan alam yang hening. Saya tidak harus memilih. Saya hanya perlu menjembataninya. Dengan cara yang saya pahami sendiri. Pelan-pelan. Dan sepenuh hati.
Di Antara Kabut dan Langkah Kaki
Waktu itu, saya berjalan. Tidak terlalu cepat, tidak terlalu yakin. Hanya mengikuti jejak yang memanjang ke depan, menjauh dari yang dikenal, mendekat ke sesuatu yang tidak bernama. Udara terasa asing. Lebih sunyi dari biasanya. Dan mungkin karena itu, saya bisa mendengar hal-hal kecil yang selama ini tenggelam dalam kebisingan. Langkah demi langkah, saya kehilangan hitungan. Yang tersisa hanya ritme: napas, tanah, dan suara yang datang entah dari mana.
Saya sempat berhenti. Bukan karena lelah. Lebih karena tubuh memberi isyarat untuk diam sejenak. Ada kabut yang turun pelan, menghapus garis pandang, tapi tidak membuat gentar. Aneh. Justru ketika tidak bisa melihat jauh ke depan, saya merasa lebih hadir. Tidak ada peta. Tidak ada tuntutan. Hanya saya, di titik ini, bersama yang tak terlihat tapi terasa.
Semakin jauh melangkah, semakin saya sadar bahwa tidak semua harus dibawa terus. Beberapa hal perlu ditinggalkan, agar bisa terus berjalan tanpa kehilangan arah. Yang dulu saya anggap penting, sekarang hanya terasa berat. Dan perlahan, saya letakkan. Satu per satu.
Ketika hari mulai gelap, saya duduk. Tanpa banyak alasan. Bukan karena ingin mencapai sesuatu, tetapi karena ingin mendengar apa yang sedang diam. Di kejauhan, hanya siluet. Bentuk-bentuk samar, seperti pikiran yang belum selesai. Dan untuk beberapa saat, saya membiarkan semuanya tetap begitu. Tanpa perlu diberi nama.
Malam turun seperti bisikan yang lembut. Tidak memaksa, tidak menakutkan. Hanya hadir, apa adanya. Saya tetap di tempat saya, membiarkan waktu berjalan tanpa ditagih. Tidak mengisi apa pun, tidak menutup apa pun. Dan mungkin, itulah saat yang paling jujur yang bisa saya temui belakangan ini. Bukan karena segalanya terasa ringan, tapi karena saya tidak sedang melawan apa-apa.
Pulang yang Tak Pernah Sama
Kembali bukan perkara sederhana. Kadang, yang kita tuju adalah tempat yang sudah kita kenal. Tapi versi diri yang kembali, tidak lagi persis seperti yang dulu pergi. Setelah semua yang diam, semua yang ditinggal dalam kabut, dan semua yang diam-diam dibawa di punggung, saya sampai di titik ini, di tengah segala yang biasa, dengan perasaan yang tidak lagi sama.
Orang-orang tak banyak berubah. Ritme tetap cepat, obrolan tetap dangkal. Semua kembali seperti semula. Hanya saya yang butuh waktu lebih lama untuk masuk ke percakapan. Butuh jeda sebelum menjawab. Butuh diam sebelum ikut tertawa. Dan itu tidak salah. Hanya berbeda.
Saya belajar bahwa pulang bukan soal tempat, tapi soal cara. Dan kadang, pulang berarti membawa keheningan itu masuk ke tengah kebisingan. Menjaga satu ruang di dalam, yang tidak ikut terburu-buru. Yang tidak ikut berebut dengar.
Ada hari-hari ketika saya nyaris lupa. Ketika ritme kota kembali menelan. Ketika layar kembali terang sampai malam. Ketika saya mulai tergoda untuk merasa harus cepat. Harus sibuk. Harus terlihat. Tapi lalu, ada sesuatu yang menarik saya pelan-pelan. Secangkir kopi yang terlalu lama didiamkan. Suara air dari kamar mandi kecil di ujung lorong. Selembar catatan yang saya temukan di sela buku. Tanda-tanda kecil bahwa diri ini masih menyimpan sunyi. Masih ingat caranya bernapas pelan.
Saya tidak lagi mencari tempat untuk kembali. Karena tidak semua perjalanan harus diakhiri dengan pulang. Beberapa cukup disimpan, sebagai pengingat, bahwa saya pernah diam. Pernah jujur. Pernah cukup. Dan mungkin itu saja sudah cukup. Bukan karena semuanya selesai, tetapi karena saya tidak lagi merasa perlu membuktikan apa pun.
Kini saya tahu. Saya bukan sepenuhnya milik kota. Tapi juga tak sepenuhnya bisa kembali ke kampung seperti dulu. Saya tinggal di jembatan itu. Antara dua dunia. Antara yang dulu dan yang sekarang. Antara yang saya rindukan dan yang saya jalani. Dan selama saya bisa menjaga ruang kecil itu tetap utuh di dalam, saya percaya saya tidak benar-benar tersesat.
Epilog: Tak Ada Peta, Tapi Saya Tetap Jalan
Saya pikir semuanya akan kembali seperti semula. Bahwa setelah menjauh, saya bisa kembali. Bahwa setelah hening, saya bisa kembali bersuara. Bahwa setelah tenang, saya bisa ikut ramai. Tapi ternyata tidak. Ternyata ada luka yang tidak bisa dibawa kembali. Ada ruang yang sudah berubah bentuk. Ada bagian dari saya yang tertinggal di tempat yang tak bisa saya ulangi. Dan saya biarkan saja begitu.
Di jalur pendakian, saya pernah duduk di sebuah tikungan. Tidak ada sinyal. Tidak ada orang yang saya kenal. Dengan suara tubuh saya sendiri. Napas yang berat, jantung yang canggung, dan pikiran yang mulai mengaku. Saat itu, saya tidak menangis. Tapi saya tahu betul saya sedang pecah.
Saya tidak ingin kuat. Saya hanya ingin jujur. Dan kadang, itu lebih menyakitkan daripada apa pun.
Kehidupan tidak menawarkan peta. Tidak memberi tahu mana yang benar. Tidak memberi peringatan bahwa kita akan kehilangan hal-hal yang dulunya terasa sangat kita genggam. Dan di titik tertentu, saya hanya bisa berjalan. Dengan langkah yang tidak selalu yakin. Dengan perasaan yang tidak selalu tenang. Tapi saya tetap berjalan.
Karena saya tahu, kalau saya berhenti, saya akan kembali menjadi orang yang tidak saya kenali. Dan saya tidak ingin kembali ke sana.
Saya ingin terus menjadi versi diri yang diam-diam tumbuh. Diam-diam belajar menerima. Diam-diam mencintai hal-hal kecil yang tak dilihat orang. Saya ingin tetap menjaga ruang itu. Yang sunyi. Yang jujur. Yang meski kecil.
"Rasanya, saya hidup di jembatan itu. Antara yang dulu dan yang sekarang. Bukan rumah, bukan pelarian, tapi ruang di antaranya. Tempat saya berhenti menyesuaikan, dan mulai menerima. Kadang goyah, kadang sepi. Tapi justru di sanalah saya belajar bahwa tidak harus utuh untuk bisa merasa cukup."
Jakarta, Awal Agustus 2025
Aspi Yuwanda
Podcast ini berisi Saya, Beni dan Kevin. Kami bertiga sudah kenal cukup lama. Sama-sama dari Sumatera, sekarang tinggal di Jakarta. Nongkrong bareng, ngobrol soal banyak hal, kadang tidak penting, kadang terlalu dalam untuk disebut bercanda.
Obrolan kami itu sebenarnya biasa saja. Tapi di tengah kota yang makin cepat, dan hidup yang makin terasa kayak shift panjang tanpa jeda, pembicaraan-pembicaraan kecil itu jadi sesuatu yang kami jaga. Mungkin karena makin ke sini, makin susah nemuin ruang yang benar-benar aman buat ngomong jujur. Bukan sekadar lucu-lucuan, bukan juga debat buat menang. Cuma ngobrol. Ngalir. Lalu tiba-tiba udah dua jam lewat.
Dari situ muncul ide: kenapa tidak direkam saja? Bukan karena ngerasa omongan kami penting, tapi justru karena tidak ada beban apa-apa. Tidak dirancang, tidak dimodali alat mahal, tidak ada strategi konten atau target engagement. Kami ketemu di Google Meet, sambungkan ke OBS, rekam seadanya, edit sebisanya. Opening dan closing dibuat sesederhana mungkin. Beberapa bagian kami potong; bukan karena takut, tapi karena tahu batas. Siapa tahu nanti kami terkenal, dan kata-kata itu bisa jadi masalah hehe.
Podcast ini kami beri nama 30 Menit Aja. Bukan janji, lebih ke niat. Biar tidak berlama-lama, tapi tetap terasa. Biar cukup untuk jeda di sela hari, tanpa harus jadi acara besar.
Episode pertama tayang malam ini. Judulnya: Ojol dan Kehidupan Sehari-hari. Bukan riset, bukan liputan. Hanya pengamatan dan pengalaman kami sebagai pengguna, sebagai orang kota, dan sebagai manusia yang kadang heran dengan dunia tapi tidak tahu harus mulai bertanya dari mana.
Episode 1
Kami tidak tahu ini akan sampai ke mana. Bisa jadi berhenti di episode ketiga. Bisa juga jalan terus, tanpa arah yang pasti. Tapi mungkin, suatu saat nanti, ada satu-dua orang yang nemu podcast ini, lalu merasa sedang duduk bareng. Tidak sendirian. Hanya itu dan buat kami, itu sudah sangat cukup.
Karena sejak awal, ini bukan tentang bikin karya. Ini cuma tentang menyimpan percakapan yang biasanya hilang begitu saja. Tentang memberi ruang bagi hal-hal kecil yang jarang sempat diberi tempat. Tentang menjaga obrolan, sebelum semuanya terlalu sunyi.
“Kami cuma ngobrol. Tapi mungkin, itu juga yang kadang kita semua butuhkan.”
Jakarta, 26 Juli 2025
Aspi Yuwanda
Gunung Kerinci - Pos 1 (Bangku Panjang)
Bulan depan, genap sepuluh tahun sejak pertama kali saya mendaki gunung. Kerinci menjadi langkah awal yang tidak direncanakan secara matang, tapi justru meninggalkan kesan yang sulit dihapus.
Perjalanan dimulai dari Pekanbaru menuju Kersik Tuo, dengan waktu tempuh sekitar empat belas jam. Jalanan panjang, sebagian terang, sebagian gelap. Suasananya sunyi, tapi cukup memberi waktu untuk menenangkan pikiran sebelum pendakian.
Saya masih ingat suasana saat itu. Udara sejuk di sekitar basecamp, suara kantong plastik dari dalam tas, dan langkah kaki yang menyentuh jalur tanah yang belum familiar. Pendakian berjalan perlahan, tidak ada target muluk. Kami hanya berusaha naik dengan ritme masing-masing, berhenti saat perlu, dan terus melanjutkan ketika tenaga cukup.
Kabut tebal menyambut kami di puncak. Sehingga tidak banyak yang bisa dilihat. Tapi saya tidak merasa rugi. Gunung tidak pernah menjanjikan cuaca baik atau pemandangan indah. Ia hanya membuka ruang, dan sisanya kembali ke kita; apa yang kita cari dan apa yang ingin kita bawa pulang.
Tidak banyak dokumentasi dari pendakian itu. Beberapa foto ada, tapi tidak mewakili keseluruhan perjalanan. Waktu itu tidak ada keinginan besar untuk merekam segala hal. Rasanya cukup berjalan, melihat, dan menyimpan apa yang bisa diingat. Sekarang saya mengerti, tidak semua hal perlu disimpan dalam bentuk gambar. Beberapa cukup disimpan sebagai pengalaman.
Sekarang, naik gunung sering dibarengi dengan urusan konten. Foto estetik jadi bagian yang tak terpisahkan. Saya paham itu bagian dari zaman, tapi waktu itu saya nggak terlalu memikrikan soal itu. Dan ternyata, justru yang tidak difoto itu yang lebih lama tinggal.
Sepuluh tahun berlalu sejak perjalanan itu. Banyak hal berubah. Diri pun tidak sepenuhnya sama. Tapi Kerinci tetap punya tempat tersendiri dalam ingatan. Bukan karena pencapaian, tapi karena ia jadi titik awal dari banyak hal yang datang setelahnya.
Dari pendakian itu, saya belajar untuk bersabar, untuk memperhatikan sekitar, dan untuk menerima bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan.
Sejak pendakian pertama saat itu, saya tidak pernah lagi naik gunung. Bukan karena kehilangan minat, tapi karena alasan-alasan yang memang tidak terselesaikan. Ada hal-hal dalam hidup yang membuat ruang untuk hal lain menjadi sangat terbatas. Waktu berjalan, dan tanpa terasa delapan tahun berlalu begitu saja. Hingga akhirnya, pada 2023, saya kembali menginjakkan kaki di gunung. Rasanya asing, tapi juga familiar. Ada bagian dari diri saya yang tetap ingat bagaimana rasanya berdiri di jalur yang sepi dan dingin.
Dari semua perjalanan naik gunung setelahnya, Kerincitetap yang paling lekat. Bukan karena paling tinggi, tapi karena pertama. Dan mungkin karena di sanalah, saya mulai pelan-pelan belajar berjalan dengan tenang. Belajar diam. Belajar merasa cukup.
Saat ini, ketika saya melihat kembali ke belakang, rasanya pendakian itu bukan sekadar naik gunung. Tapi cara diam-diam untuk mengenal diri sendiri, dalam versi yang belum banyak tahu apa-apa.
Perjalanan itu mungkin tidak sempurna. Tapi justru karena itu, ia terasa nyata.
Saya ingin kembali ke Kerinci. Setidaknya sekali lagi. Melihat dari foto-foto di media sosial, banyak yang berubah. Jalurnya tampak lebih terbuka dan tertata. Tanah vulkanik yang dulu saya injak berwarna hitam, sekarang terlihat lebih kemerahan. Wajar kalau jalur berubah, seiring waktu dan banyaknya pendaki. Tapi ada bagian dari diri saya yang penasaran, bagaimana rasanya berjalan lagi di tempat yang dulu begitu asing, tapi sekarang terasa akrab. Mungkin saya hanya ingin memastikan, bahwa hal-hal yang pernah penting dulu, masih bisa saya temui hari ini.
"Sepuluh tahun berlalu, tapi satu perjalanan tetap tinggal. Yang pertama, tidak pernah benar-benar pergi"
Puncak Indrapura Gunung Kerinci - Agustus 2015
Payung Teduh - Angin Pujaan Hujan
Jakarta, 14 Juli 2025
Aspi Yuwanda
Setelah hampir dua tahun berlalu sejak terakhir kali menapaki jalur klasik Gunung Gede, akhirnya lembar berikutnya dari perjalanan ini terbuka juga: Pangrango, sang kembaran yang selama ini seolah berada di balik bayang. Bukan tanpa alasan saya menundanya begitu lama. Mungkin karena saat terakhir ke Gede, meski menyenangkan saya belum merasa “selesai” dengan rimbanya. Atau mungkin karena Pangrango memang sedang menunggu waktu yang tepat untuk disinggahi.
Dan kali ini, waktu itu datang dalam bentuk yang berbeda: tektok, pulang-pergi tanpa bermalam. Pendakian ini saya lakukan pada hari Sabtu, 28 Juni 2025 lalu,
Oh ya, Ini adalah pendakian yang dadakan. Tidak ada rencana matang sebelumnya, tidak juga persiapan khusus. Tiba-tiba dalam pikiran saya bergumam, kayanya enak nih ke Pangrango weekend ini. Kemudian saya menghubungi beberapa trip operartor, dan ada yang masih open. Langsung saja saya daftar.
Jumat Malam: Menuju Basecamp
Perjalanan dimulai dari Jakarta pada Jumat malam, pukul 11. Rombongan kami terdiri dari sembilan peserta dan dua orang kru. Saya tidak mengenal siapa pun sebelumnya, tapi seperti biasa, langkah-langkah di jalur akan memperkenalkan kami satu per satu lewat napas, jeda, dan diam.
Kami tiba di basecamp Mang Yana Kolot, Cibodas, sekitar pukul 01.30 dini hari. Suasana basecamp cuku ramai, namun hangat. Kami rebahan sebentar untuk beristirahat, lalu bersiap: sepatu, trekking pole, headlamp, logistik ringan, dan tentu saja air. Dalam pendakian tektok, semua harus serba cukup dan efisien.
Perjalanan dari basecamp diawali dengan jalur datar dan teduh, hingga akhirnya sampai di Telaga Biru, danau kecil berwarna kehijauan yang biasanya sunyi. Setelah itu, jalur mulai sedikit berlumpur di area Rawa Gayonggong, sebelum masuk ke Pos Panyancangan Baru dan Lama. Di sini, udara mulai dingin dan kabut pelan-pelan turun.
Tak lama, kami tiba di Air Panas, sebuah jalur berisi aliran geotermal yang mengeluarkan uap dari sela bebatuan. Aroma belerang dan pijakan licin di jembatan besinya jadi tantangan tersendiri. Lanjut ke atas, jalur mulai didominasi akar, batu, dan tanjakan panjang menuju Batu Kukus dan Kandang Batu. Di titik ini, banyak pendaki biasanya mulai menyesuaikan ritme.
Hingga akhirnya kami tiba di Kandang Badak, sebuah persimpangan penting: ke kiri menuju Gunung Gede, ke kanan ke Gunung Pangrango. Jalurnya langsung berubah. Dari lebar menjadi sempit, dari ramai menjadi sunyi. Trek menuju puncak Pangrango sepanjang ±3 km berisi akar pohon, vegetasi lumut, dan kabut yang menggantung.
Di atasnya, ada satu dataran lagi: Lembah Mandalawangi. Letaknya sedikit menurun dari puncak utama, tapi keberadaannya seperti ruang rahasia. Padang rumput edelweiss, udara dingin yang bersih, dan sunyi yang benar-benar sunyi. Tempat itu bukan untuk ramai-ramai. Ia hanya menyambut yang datang dengan tenang.
Lembah ini juga dikenal sebagai tempat peristirahatan simbolik Soe Hok Gie, seorang aktivis dan pecinta alam yang abunya ditaburkan di sana setelah kremasi. Banyak pendaki datang ke Mandalawangi bukan sekadar untuk menikmati pemandangan, tapi juga untuk mengenang semangat dan nilai-nilai hidup yang ditinggalkannya.
Gunung Pangrango via Cibodas adalah salah satu jalur pendakian klasik di Taman Nasional Gede Pangrango. Meski kerap berada di bayang-bayang Gunung Gede yang lebih populer, jalur menuju Pangrango justru menyimpan kesunyian, vegetasi lebat, dan cerita-cerita yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang benar-benar berjalan sampai ke ujungnya. Tidak hanya menantang secara fisik dengan total jarak puluhan kilometer jika dilakukan secara tektok jalur ini juga menyuguhkan dimensi lain dari pendakian: soal ketahanan, kesabaran, dan pertemuan dengan sisi terdalam dari diri sendiri.
03.45 WIB: Pendakian Dimulai
Langkah pertama saya ayunkan dari basecamp pukul 03.45 pagi. Langit masih gelap, suhu menusuk, namun semangat dari rombongan cukup hangat untuk mengusir kantuk. Tanpa direncanakan, saya berada di barisan depan sejak awal.
Jalur Cibodas, sebagaimana adanya, tetap menjadi rute yang penuh cerita dan penuh variasi. Di awal, jalur masih ramah: datar, lebar, dan dinaungi rimbun pepohonan. Telaga Biru kami lewati dalam senyap, hanya ditemani suara langkah dan gemerisik daun. Setelahnya, tanah mulai sedikit becek saat memasuki Rawa Gayonggong. Jalur di sini kadang licin, tapi masih mudah dilalui.
Selepas Pos Panyancangan Lama dan Baru, medan mulai berubah. Tanahnya makin menanjak, banyak akar dan batu-batu besar yang harus dilompati. Jalan mulai terasa "gunung" dalam arti yang sesungguhnya.
Air Panas adalah titik yang tak mungkin dilupakan. Selain karena uap panasnya yang naik dari sela-sela batu dan aroma belerang yang khas, tempat ini juga punya warung kecil. Di sisi kanan jalur, ada sebuah shelter yang sudah rubuh, tapi masih ada bekas bangunannya. Warung ini menjual gorengan, buah-buahan, teh manis, kopi, dan mi rebus. Di belakangnya ada toilet darurat yang bisa digunakan pendaki. Saya tidak berhenti lama, tapi sekilas melihat pendaki lain yang duduk menyeduh kopi, dengan jaket yang mulai basah oleh embun pagi dan juga ada beberapa tenda di sana saat itu. Suasana di situ seperti jeda dalam perjalanan yang panjang.
Setelah Air Panas, jalur berubah drastis. Tanjakan-tanjakan makin panjang, dan di beberapa titik, hampir tidak ada jalur datar sama sekali. Di Batu Kukus dan Kandang Batu, saya mulai melambat. Trek di sini penuh batu, akar, dan ranting patah. Kadang harus berpegangan pada batang pohon untuk tetap stabil. Nafas harus dijaga, langkah mesti dipastikan mantap.
Sekitar pukul 09.00 pagi, saya sampai di Kandang Badak. Dua warung sederhana menyambut kami. Tak lama, saya juga tahu bahwa di sebelah kanan ada shelter yang hampir rubuh dan ada toilet yang cukup bersih untuk ukuran gunung, serta kran air yang tanpa henti mengalir. Beberapa pendaki memanfaatkannya untuk cuci muka atau sekadar menenangkan perut.
Di titik ini, suasana berubah jadi lebih tenang. Tak ada hiruk pikuk seperti di jalur Gede. Hanya kabut, suara daun, dan orang-orang yang sejenak melupakan dunia luar. Rombongan saya masih menyusul di belakang, jadi saya duduk diam agak lama, memandang ke belalang yang mana adalah jalur yang menanjak menuju Pangrango. Jalur itu tampak sunyi. Tapi entah kenapa, justru itu yang menarik.
Shelter Kandang Badak
Shelter Kandang Badak
Menuju Puncak: Bergeser ke Belakang
Sekitar pukul 10.00, kami mulai bergerak dari Kandang Badak menuju Puncak Pangrango. Jalur ini sepanjang ±3 km, dan dari sinilah pendakian terasa benar-benar berbeda. Kali ini saya memilih berjalan di barisan paling belakang, menjadi semacam sweeper tak resmi. Kami berempat: saya, seorang kru, dan dua peserta lain yang ritmenya melambat. Salah satunya tampak mulai kelelahan. Tapi ia tetap ingin lanjut, dan itu sudah cukup alasan bagi saya untuk tetap di sini.
Berbeda dari jalur sebelumnya yang ramai dan terbuka, trek ke Pangrango mulai menyempit. Tanah merahnya lembap, licin, dan beberapa bagian dipenuhi akar yang menjalar seperti simpul rumit di tengah rimba. Beberapa tikungan menanjak hanya bisa dilalui satu orang, membuat kami harus menunggu satu sama lain. Di kiri-kanan, batang pohon tumbang bersandar begitu saja, menciptakan lorong sempit yang harus dilewati dengan cara menunduk atau melangkah hati-hati.
Langkah kami lambat, tapi stabil. Tidak tergesa. Mungkin karena kelelahan, mungkin juga karena tidak ada yang ingin terlalu cepat sampai. Di jalur ini, ritme bukan soal siapa yang kuat, tapi siapa yang bisa bertahan.
Hingga akhirnya kami sampai di satu zona yang berbeda: hutan lumut. Suasananya langsung berubah. Seolah-olah baru saja melangkah masuk ke dunia yang lain. Semua batang pohon tertutup lumut tebal, sebagian menjuntai dari cabang-cabang, menciptakan kesan liar tapi magis. Vegetasi di sini lebih rapat, tanahnya basah dan dingin. Cahaya matahari nyaris tak tembus, hanya bias samar yang membuat hijau lumut tampak berpendar halus.
Cuplikan Foto di Hutan Lumut
Kami berhenti cukup lama di titik ini. Bukan karena tak sanggup lanjut, tapi karena ingin memberi jeda. Tak ada yang bicara banyak. Kami hanya saling pandang, saling lempar senyum, dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Saya berdiri agak ke pinggir, bersandar di batang pohon yang terasa basah di punggung. Saya menyalakan kamera sebentar, mengambil satu-dua gambar. Tapi kemudian saya masukkan lagi. Tak ada foto yang bisa benar-benar menangkap atmosfer tempat seperti ini.
Di hutan lumut Pangrango ini, waktu seperti berjalan lebih lambat. Bahkan suara pun berubah lebih pelan, lebih dalam. Seolah-olah kita dipersilakan lewat, tapi diminta untuk tidak mengganggu. Ini bukan tempat untuk berisik atau terburu-buru. Ini tempat untuk mendengar napas sendiri, dan mungkin juga mendengar hal-hal yang tak terlihat.
Dan di titik inilah saya menyadari satu hal: jalur ke puncak Pangrango bukan hanya soal fisik. Bukan hanya tentang tanjakan yang tak habis-habis atau kaki yang mulai berat. Tapi juga tentang bagaimana kita diajak berjalan ke dalam menyusuri sisi-sisi diri yang biasanya tertutup oleh kesibukan.
Di Gunung Pangrango ini memang berbeda dengan gunung-gunung lain yang kadang memberi kita "bonus" sinyal telepon di beberapa titik. Sepanjang perjalanan, hampir tak ada koneksi sama sekali. Namun di satu titik, di tengah perjalanan menuju puncak, ponsel saya tiba-tiba menangkap sinyal. Tidak kuat, tapi cukup untuk satu atau dua bar. Saya berhenti sebentar, menarik napas, lalu membuka pesan. Saat itu juga saya kirim SMS ke istri: memberi tahu bahwa saya sedang dalam perjalanan ke puncak, dan kemungkinan besar akan sampai kembali ke basecamp malam hari. Bukan untuk drama, bukan pula agar khawatir saya hanya ingin rumah tahu bahwa saya baik-baik saja.
Setelah melewati hutan lumut, kami lanjut berjalan. Trek makin menanjak, makin sempit, dan beberapa bagian benar-benar menguras tenaga. Tapi kami tetap melangkah. Perlahan tapi pasti. Dan sekitar pukul 14.00, akhirnya kami sampai di Puncak Pangrango, 3.019 mdpl.
Tidak ada pemandangan spektakuler, tidak ada langit biru atau hamparan awan seperti di foto-foto. Tapi justru di situlah letak kepuasannya. Di balik kelelahan, ada rasa lega. Di balik peluh, ada kemenangan yang tidak bisa diukur dengan ketinggian. Karena dalam pendakian ini, bukan hanya tubuh yang naik, tapi juga pemahaman tentang diri sendiri, tentang orang lain, dan tentang gunung yang tak pernah sama bagi setiap orang yang mendakinya.
Puncak Pangrango
Total waktu :
Basecamp - Rawa Panyangcangan : : 2 Jam
Rawa Panyangcangan - Air Panas : 2 Jam
Air Panas - Kandang Badak : 1 Jam 15 Menit
Kandang Badak - Puncak Pangarango : 4 Jam
Puncak Pangrango - Lembah Mandalawangi : 10 Menit
Total : 9 Jam 25 Menit (Estimasi)
Estimasi tersebut dengan kondisi tidak bawa banyak logistik dan juga tidak membawa perlengkapan camp, seperti halnya pendakian saya sebelumnya.
Saya ikut rombongan pertama untuk turun, waktu saya di puncak sangat singkat. Meski demikian, saya masih sempat berjalan sebentar ke arah Lembah Mandalawangi, menikmati sisa kabut yang menari di antara padang rumput, dan mengambil beberapa dokumentasi seperlunya.
Lembah Mandalawangi
Lembah Mandalawangi
Turun: Langkah Singkat di Puncak dan Hujan di Tengah Rimba
Pukul 14.45, kami mulai bergerak turun dari puncak menuju Kandang Badak. Jalur yang sama terasa berbeda saat dilalui dari sisi sebaliknya. Kaki mulai merasakan letih, tapi ritme berjalan tetap stabil. Sekitar 2,5 jam kemudian, kami tiba kembali di Kandang Badak.
Di sana, kami duduk santai, membuka logistik yang tersisa. Menyeduh kopi yang terasa jauh lebih mewah di ketinggian, sambil menunggu rombongan belakang. Sejatinya, kami ingin turun bersama-sama. Menunggu adalah bentuk kecil dari kebersamaan, namun waktu punya jalannya sendiri.
Menjelang pukul 18.00, kabar dari kru lewat HT mengatakan bahwa rombongan belakang sudah dekat. Kami percaya. Tapi lima belas menit kemudian, belum juga ada tanda-tanda mereka tiba. Langit mulai gelap, angin turun pelan, pertanda bahwa hujan akan segera datang. Benar saja, hujan langsung turun dengan derasnya. Akhirnya, setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan terlebih dahulu meskipun hujan dengan derasnya sedang mengguyur.
Pukul 18.15, kami kembali melangkah menembus hutan Cibodas. Tak lama setelahnya, hujan turun deras. Jalur tanah menjadi licin, akar menjadi jebakan. Tapi kami tetap berjalan, satu demi satu, dengan kepala tertunduk menahan air yang membasahi jaket dan sepatu.
Hingga akhirnya, kami sampai di Rawa Panyangcangan sekitar 3 jam kemudian. Tanpa banyak pikir, saya langsung memesan bakso dan telur gulung,dua hal sederhana yang rasanya luar biasa setelah belasan jam berjalan. Uap makanan seperti hadiah yang jatuh dari langit.
Setelah makan dan beristirahat selama sekitar tiga puluh menit, kami melanjutkan perjalanan menuju basecamp. Langkah-langkah kembali menyusuri jalur yang basah dan gelap. Namun, di sinilah cerita menjadi berbeda. Tepat setelah melewati jembatan panjang di Rawa Gayonggong, saya merasa seperti diikuti oleh "seseorang". Jejak langkahnya jelas terdengar, tepat di belakang saya.
Team leader kami, yang berada di paling depan, seolah merasakan hal yang sama. Tiba-tiba ia berseru, “Rapat guys. Kita rapat!” Beberapa kali setelahnya dia juga berseru dan bertanya kepada saya, "Bang, aman kan" ? Suaranya sedikit tegang. Seketika, pikiran saya melayang ke mana-mana. Saya mencoba tetap tenang, menyorotkan lampu headlamp hanya ke jalur di depan. Namun, rasa was-was tak bisa dibohongi.
Sesekali saya menoleh ke kanan dan kiri. Di antara kabut dan cahaya temaram, saya seperti melihat bentuk-bentuk aneh. Padahal, saya tahu itu hanya pepohonan dan rumput liar. Tapi di titik tertentu, di area sekitar Telaga Biru, saya melihat sesuatu yang membuat langkah saya nyaris terhenti. Saat lampu headlamp saya menyapu ke arah telaga, saya seperti melihat sosok perempuan duduk bersila, bertapa di tengah air. Diam. Tenang. Seperti bayangan seorang dewi.
Di tengah perasaan saya yang was-was, dan langkah kaki kami yang tetap melaju perlahan di jalur basah, samar-samar saya mencium bau melati. Lembut, tidak menyengat, tapi cukup jelas untuk membuat napas saya sedikit tertahan. Salah satu peserta di depan saya tiba-tiba berujar pelan, “Ada yang nyium bau melati nggak?” Kami saling pandang sejenak. Tidak ada yang menjawab, tidak juga mencoba menebak.
Bau itu hanya sebentar. Beberapa detik saja, lalu hilang begitu saja, seolah larut bersama kabut. Di sekitar kami tak ada bunga, tak ada dupa, dan kami pun tahu tidak membawa apa-apa yang bisa mengeluarkan wangi seperti itu. Hanya ada malam yang sunyi, tanah licin di bawah sepatu, dan kepala yang sedang sibuk menenangkan diri.
Saya tidak tahu pasti apa yang di alami. Bisa jadi hanya efek lelah, bisa juga memang ada sesuatu yang melintas. Tapi saat bau itu muncul, suasana seketika terasa lain. Lebih hening, lebih dalam, seperti ada yang menyapa, tapi tanpa suara. Saya mencoba tetap tenang dan menghormati, karena di gunung, kadang kita bukan satu-satunya yang berjalan.
"Terkadang, gunung tidak menunjukkan dirinya lewat wujud, tapi lewat bau. Karena bau lebih susah dibantah. Dia tidak bisa difoto, tapi bisa dirasakan."
Saya mencoba tetap berpikir positif. Barangkali itu hanya halusinasi karena lelah. Namun, bayangan-bayangan lain terus berdatangan. Ada yang menyerupai anjing. Ada pula yang tampak seperti truk, padahal hanya bayangan batang pohon dan kerimbunan semak. Aneh kan ?
Ketika menceritakan part diatas ini, bulu roma saya berdiri. Ini adalah pengalaman yang akan saya kenang lama. Bukan untuk ditakuti, tapi untuk diingat sebagai bagian dari perjalanan yang tidak biasa.
"Yang membuat bulu roma berdiri bukan karena sosok yang terlihat, tapi karena ingatan tentang rasa sunyi yang terlalu nyata untuk dilupakan. Bisa jadi bukan mereka yang hadir tapi bagian dari diri kita sendiri yang sedang membuka mata. "
Begitu sampai di Pos Simaksi, team leader kami bercerita. Dengan suara tenang namun pasti, ia bilang, "Tadi saya lihat, ada yang mengikuti abang di belakang."
Ini adalah pengalaman pertama saya mengalami hal di luar nalar selama mendaki gunung. Saya tetap berusaha untuk berpikir positif, karena saya percaya itulah kunci agar "mereka" tidak benar-benar mampir ke kita. Perjalanan dari Rawa Panyangcangan menuju Pos Simaksi, kemudian dilanjutkan ke Basecamp, nyaris tanpa henti. Kami hanya fokus untuk segera sampai, berdoa dalam hati sambil menjaga langkah tetap mantap.
“Bukan untuk ditakuti, tapi untuk diingat sebagai bagian dari perjalanan yang tidak biasa.”
Akhirnya, setelah total lebih dari 20 jam perjalanan, kami tiba kembali di Basecamp tepat pukul 23.45. Tubuh mungkin lelah, tapi hati terasa penuh. Penuh karena selamat. Penuh karena belajar. Dan penuh karena telah menyentuh batas yang belum pernah disentuh sebelumnya.
Lucunya, meskipun saya tak kenal siapa pun sebelumnya, dalam pendakian sepanjang ini rasanya sulit untuk tetap jadi orang asing. Di awal mungkin hanya anggukan atau senyum singkat. Tapi seiring waktu di tanjakan yang sama, di jeda yang sama, dan dalam lelah yang sama perlahan semuanya mulai cair. Obrolan ringan di pos istirahat, berbagi logistik kecil, saling bantu pasang jas hujan, atau sekadar tanya, “Masih kuat, Bang?” Itu semua jadi semacam jembatan.
Tidak ada yang memaksakan diri untuk akrab, tapi karena kita berjalan bersama dalam lebih dari 20 jam perjalanan yang penuh naik-turun, hujan, gelap, dan rasa was-was, akhirnya keterhubungan itu tumbuh sendiri. Kita jadi saling tahu ritme masing-masing. Siapa yang biasanya paling depan, siapa yang pelan tapi konsisten, siapa yang diam tapi selalu ada saat dibutuhkan.
Dan dari situ, saya belajar lagi satu hal sederhana: bahwa kebersamaan kadang tidak perlu dibangun dari hal besar. Cukup dari pengalaman yang dijalani bersama, tanpa dibuat-buat. Karena saat kita sama-sama melewati banyak hal, keakraban akan muncul dengan sendirinya dan itu lebih tulus daripada seribu perkenalan.
"Kami mungkin tak saling kenal, tapi gunung memperkenalkan kami satu per satu; lewat tanjakan, istirahat, dan rasa lelah yang sama."
Tiba di basecamp, saya langsung mengabari istri di rumah. Kemudian duduk beristirahat di kursi depan sambil merokok. Kejadian tadi masih saja masih terngiang di kepala saya. Rasanya ingin langsung pulang ke Jakarta saat itu juga, tapi rombongan satu lagi belum tiba. Kami harus menunggu mereka terlebih dahulu.
Saya tidak tahu pasti pukul berapa mereka sampai, karena setelah duduk cukup lama di depan basecamp, saya akhirnya tertidur. Sekitar pukul 02.30 dini hari, saya dibangunkan oleh kru dan diberi tahu bahwa kami akan segera kembali ke Jakarta. Pukul 03.00, mobil berangkat meninggalkan basecamp. Perjalanan kami berakhir di titik awal sebelum keberangkatan, di daerah Tebet, sekitar pukul 04.30 pagi.
Perjalanan ini, meskipun hanya sehari, terasa seperti rangkuman banyak pendakian sekaligus. Ada rasa lelah fisik yang luar biasa, ada situasi tak terduga di jalur, dan ada pula pengalaman yang belum pernah saya rasakan sebelumnya, pengalaman di luar logika yang sulit dicerna tapi terlalu nyata untuk diabaikan.
Di Pangrango, saya tidak hanya menempuh jarak, tapi juga melintasi batas-batas dalam diri sendiri. Ketika tubuh sudah lelah dan langkah mulai tak stabil, yang berbicara bukan lagi otot atau napas, tapi kemauan. Kemauan untuk terus jalan, walau pelan. Kemauan untuk tetap tenang, bahkan saat situasi mulai terasa aneh.
Saat mobil meninggalkan basecamp dan masuk ke jalanan Cibodas yang sepi menjelang subuh, saya duduk di baris belakang, menatap keluar jendela. Lampu jalan menyapu pepohonan yang tadi malam begitu gelap dan diam. Saya tidak sedang memikirkan capaian “tektok 20 jam”, tidak juga sedang membanggakan diri karena berhasil sampai puncak. Yang muncul justru hal-hal kecil: langkah pelan di antara kabut, suara air hujan yang menetes di jaket, dan momen saat saya merasa benar-benar sendiri meski di tengah rombongan.
Gunung, buat saya, memang bukan soal pencapaian. Ia bukan daftar yang harus dicentang satu per satu. Setiap gunung punya cara sendiri untuk menguji dan mengajarkan. Dan Pangrango mengajarkan saya tentang kontrol-kontrol terhadap ritme, terhadap emosi, dan terhadap pikiran yang mulai liar di tengah lelah.
Saya mungkin tidak akan segera kembali ke Pangrango. Tapi cerita tentangnya akan tinggal lebih lama di kepala saya. Bukan karena ketinggiannya, bukan karena pemandangannya, tapi karena pengalaman yang saya bawa pulang, yang tidak semua bisa dijelaskan, tapi cukup untuk dipahami pelan-pelan.
Tektok Pangrango ini, buat saya, bukan cuma soal menempuh jarak puluhan kilometer dalam sehari. Ini tentang bagaimana gunung memperlihatkan sisi lain dari diri saya sendiri yang mungkin tidak akan saya temui di tempat lain. Bukan soal mengejar sunrise atau dokumentasi puncak, tapi tentang bertemu dengan versi diri saya yang lebih sabar, lebih tahan, dan lebih peka terhadap sekitar.
Dan dengan ini, akhirnya perjalanan Gede–Pangrango saya genapi juga.
“Di Pangrango, saya tidak hanya menempuh jarak, tapi juga melintasi batas-batas dalam diri sendiri.”
Where to go, next?
Pertanyaan itu biasanya muncul di akhir setiap pendakian. Bahkan kadang langsung terpikir saat baru turun dari gunung: “Setelah ini ke mana lagi?” Tapi untuk kali ini, saya tidak buru-buru mencari jawabannya. Rasanya belum perlu. Beberapa pendakian yang saya jalani tahun ini, termasuk Pangrango yang baru saja selesai, sudah cukup untuk memberi ruang bergerak bagi tubuh dan pikiran saya yang sempat terlalu lama diam.
Pendakian ke Pangrango ini sendiri bisa dibilang cukup dadakan. Tidak ada rencana jauh-jauh hari, tidak ada persiapan yang terlalu matang. Tapi justru di situ letak menariknya. Kadang perjalanan yang tidak direncanakan dengan detail justru membawa pengalaman yang lebih jujur, lebih lepas. Saya tidak membawa ekspektasi macam-macam, tidak pula ingin mengejar foto atau capaian tertentu. Hanya ingin berjalan. Hanya ingin tahu rasanya naik Pangrango secara tektok.
Dan ternyata, perasaan itu cukup untuk membuat saya pulang dengan kepala yang lebih ringan. Bukan karena pendakian ini tanpa tantangan justru sebaliknya. Tapi karena saya bisa melalui semuanya dengan utuh. Tidak ada yang ditinggalkan. Tidak ada bagian yang terasa sia-sia.
Itu juga yang membuat saya belum ingin langsung memikirkan pendakian berikutnya. Saya ingin menyimpan dulu semua rasa yang ada. Menulisnya pelan-pelan, membacanya ulang, dan mungkin baru beberapa minggu atau bulan ke depan saya merasa siap untuk berjalan lagi. Saya tidak ingin perjalanan gunung berubah jadi semacam daftar target yang harus segera dicapai. Biar tetap menyenangkan, tetap punya ruang untuk dinikmati.
Kalau ada yang saya pelajari dari perjalanan ini, mungkin itu: bahwa mendaki bukan soal cepat-cepat naik, atau buru-buru pindah ke puncak berikutnya. Tapi soal memberi waktu pada diri sendiri untuk berhenti sejenak, melihat ke belakang, dan merasa cukup. Tidak selalu harus ke mana-mana. Kadang yang kita butuhkan cuma duduk diam, dan tahu bahwa semua langkah yang sudah ditempuh... ada artinya.
"Pendakian ini bukan tentang mencapai puncak dalam waktu singkat, tapi tentang bagaimana saya bertahan, belajar sabar, dan menghadapi hal-hal yang tak terduga di jalur."