Beberapa menit lalu saya baru tiba di rumah, meletakkan barang, lalu langsung menyalakan PC untuk menulis cerita ini.
Sejak menikah, pulang ke rumah tadi adalah yang pertama bagi saya melewati jalanan jam dua pagi. Ada kegiatan yang baru selesai, dan perjalanan pulang dari Mampang menuju Sunter, dari selatan ke utara Jakarta, memberi pengalaman yang berbeda.
Jalanan terasa lengang, sepi dari hiruk pikuk yang biasanya memenuhi siang hari. Lampu merah berdiri sendirian, seolah hanya penanda tanpa arti. Lampu jalan berderet, jadi garis cahaya yang membelah gelap kota, seakan menunjukkan arah sekaligus mengingatkan bahwa Jakarta tidak pernah benar-benar tidur. Tetap terjaga.
Sepanjang perjalanan, saya melihat potret kota yang jarang hadir di depan mata. Pedagang kaki lima yang merapikan barang-barang dagangan. Tukang ojek yang masih berjaga di pojokan jalan, berharap ada penumpang terakhir. Sekelompok anak muda yang tertawa lepas di pinggir jalan, seakan malam tidak punya ujung. Dan di balik semua itu, ada pemandangan yang membuat saya terdiam: manusia gerobak yang tidur di trotoar, tubuh kurus dibungkus kardus tipis, wajah letih yang bersandar pada gerobak berisi rongsokan.
Kontras itu terasa begitu tajam. Gedung tinggi yang tetap menyala dengan lampu terang berdiri megah hanya beberapa meter dari orang-orang yang bahkan tidak punya atap. Kota yang dipuja karena gemerlapnya ternyata juga menyimpan sisi rapuh yang sering terabaikan. Ada mereka yang merayakan malam, ada yang sekadar menunggu pagi, ada yang terpaksa melewati waktu dengan cara bertahan hidup.
Jakarta jam dua pagi bukan sekadar perjalanan pulang. Ia memperlihatkan wajah kota tanpa topeng: jujur, keras. Penuh cerita. Dari selatan ke utara, dari terang lampu jalan sampai sudut-sudut gelap trotoar, kota ini bicara dengan cara yang berbeda. Tentang manusia yang berjuang, tentang kehidupan yang berjalan tanpa henti, dan tentang kenyataan bahwa tidak semua orang mendapat ruang yang sama di dalamnya.
Dan ketika akhirnya saya sampai di rumah, saya sadar bahwa perjalanan singkat di jam dua pagi itu bukan sekadar soal pulang. Ia adalah potongan kecil dari wajah kota yang jarang terlihat, sekaligus pengingat bahwa di balik semua kesibukan siang hari, Jakarta menyimpan cerita lain yang sama nyata. Malam ini, saya menuliskannya agar tidak hilang begitu saja, karena mungkin besok pagi kota akan kembali dengan wajah yang ramai, dan kenangan tentang jalanan sunyi ini hanya tinggal jejak di ingatan.
Jakarta, Menjelang Subuh 13 September 2025
Aspi Yuwanda
0 Comments