
Pendakian Gunung Merbabu via Thekelan - Jalur Perintis. 3.145 MDPL.
Berselang satu bulan sejak pendakian ke Gunung Slamet bulan Mei lalu, saya kembali melangkahkan kaki ke jalur pegunungan, kali ini saya mendaki Gunung Merbabu pada 7 - 8 Juni 2025 lalu. Yap, saya ke Merbabu juga akhirnya.
Sudah lama sebenarnya gunung ini masuk wishlist, tapi belum sempat kesampaian. Tapi, Juni ini kebetulan ada long weekend, bersamaan dengan hari Raya Idul Adha, saya melanjutkan series pendakian selanjutnya. Kali ini saya ikut Open Trip, datang sendiri, tanpa teman. Tapi seperti yang sering terjadi dalam dunia pendakian, sendirian bukan berarti kesepian. Diperjalanan kenal beberapa orang, kemudian menjadi teman selama pendakaian dan setelahnya.
Open Trip kali ini terdiri dari 17 orang dari berbagai daerah di sekitar Jakarta. Saya mendaki melalui Jalur Thekelan. Jalur ini katanya lebih sepi daripada Selo maupun Suwanting, dan banyak yang bilang view-nya tidak kalah indah. Satu hal yang langsung membuat saya memilih jalur ini karena baru memutuskan untuk ikut pada siang hari nya, yang mana dua jalur populer lainnya seperti jalur Selo dan dan jalur Suwanting kuotanya sudah habis, jadi nya yasudah, jalur Thekelan jadi pilihan.
Sekilas Tentang Gunung Merbabu. Gunung Merbabu adalah Gunung Stratovulcano yang secara administratif gunung ini berada di wilayah Kabupaten Magelang di lereng sebelah barat dan Kabupaten Boyolali di lereng sebelah timur dan selatan, Kabupaten Semarang di lereng sebelah utara, Provinsi Jawa Tengah. Ada beberapa jalur pendakian Gunung Merbabu yang populer, yaiut Jalur Suwanting yang berada di kabupaten Magelang. Jalur Selo yang berada di Kabupaten Boyolali dan Jalur Thekelan yang berada di Kabupaten Semarang.
Mengapa Jalur Thekelan disebut Jalur Perintis ? Baiknya, berikut ceritanya. Tak banyak yang tahu, di balik sunyinya jalur Thekelan, tersimpan jejak awal mula pendakian Gunung Merbabu yang sesungguhnya. Jalur ini bukan sekadar alternatif dari jalur-jalur populer seperti Selo atau Suwanting—ia adalah jalur perintis, jalur resmi pertama yang dibuka untuk umum dan dikelola langsung oleh Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb). Dari sini, pendakian Merbabu mulai dikenalkan secara terstruktur, sebelum geliat pariwisata dan media sosial meramaikan jalur-jalur lainnya.
Thekelan adalah tempat di mana cerita pendakian Merbabu dimulai secara resmi, jauh sebelum Selo dipadati rombongan atau Suwanting dikenal dengan tanjakannya yang menggoda. Di jalur ini pula, para peneliti, pecinta alam, dan komunitas lingkungan sejak lama naik dan turun gunung—melakukan observasi flora, fauna, hingga geologi Merbabu.
Yang membuat Thekelan istimewa bukan hanya karena sejarahnya, tetapi karena ia mempertahankan kesunyian, vegetasi yang lebih utuh, dan atmosfer pendakian yang natural. Di sepanjang jalurnya, kita tidak hanya diajak berjalan, tapi juga diajak kembali menghayati: bahwa gunung bukan sekadar tempat untuk ditaklukkan, tapi tempat untuk didengar dalam diamnya.
Baiklah, saya akan mulai menceritakan pengalaman saya mendaki Gunung Merbabu via Thekelan.
Perjalanan di mulai pada pukul 9 Malam, di titik kumpul Cawang Uki. Suasana saat itu luar biasa ramai. Dua tahun lalu ketika mendaki Gunung Sumbing, saya juga ikut Open Trip. Tapi saat itu, suasanya berbeda, Ramai sekali orang-orang berkumpul di titik kumpul tersebut untuk mengikuti berbagai Open Trip. Sudah seperti Terminal Bayangan yang ada di daerah-daerah. Saya melihat wajah-wajah asing yang membawa ransel besar, berbicara pelan atau tertawa kecil, menunggu giliran untuk naik kendaraan yang akan membawa mereka ke kaki gunung. Bus Elf bahkan Bus 3/4 silih berganti tiba, memarkikan dirinya di pinggir jalanan, sembari menunggu naiknya para pendaki untuk memulai perjalanannya. Luar biasa ya antusias orang-orang saat ini untuk mendaki Gunung.
Sekitar pukul delapan pagi, kami akhirnya tiba di Basecamp Thekelan. Perjalanan dari Jakarta cukup lancar. Jalanan mulai terasa sempit dan meliuk saat kendaraan masuk ke kawasan desa Thekelan—naik turun dengan tikungan tajam khas daerah pegunungan. Untung sopir kami sudah lihai mengendalikan bus mini di jalur seperti ini.
Begitu turun dari kendaraan, udara sejuk langsung menyambut. Matahari sudah naik, tapi hangatnya masih tertahan oleh hawa pegunungan yang segar. Basecamp Thekelan cukup ramai pagi itu. Beberapa rombongan lain juga tampak bersiap, beberapa bahkan sudah menyelesaikan registrasi dan mulai menyusun ransel mereka.
Kami pun langsung melakukan persiapan: sarapan cepat dengan makanan hangat dari warung sekitar, repacking perlengkapan, memastikan logistik tidak ada yang tertinggal. Suasana pagi yang cerah membuat mood kami cukup semangat, meskipun sebagian masih terlihat kurang tidur akibat perjalanan malam. Oh ya, Trip Operator kali ini adalah Falisha Journey.
![]() |
Depan Basecamp Merbabu via Thekelan |
Basecamp Thekelan - Pos 1 (Pending)
![]() |
Sign Pos 1 Pending |
Pos 1 – Pos 2 (Pereng Putih)
Tepat Pukul 11.15 wib, kami mulai trekking. Dari Pos 1 ke Pos 2 mulai terasa nanjak. Jalurnya masuk ke hutan, agak licin karena sisa kabut yang turun. Tapi suasananya menyenangkan, tenang, tidak bising, udara hutan itu bener-bener bikin santai dan segar. Sempet beberapa kali ketemu akar pohon besar yang melintang di jalur, jadi harus berhati-hati agar tidak tersandung.
Dari titik ini, aroma sabana seolah sudah mengintip dari balik pohon-pohon yang mulai jarang. Kabut kadang turun tiba-tiba, menambahkan aura mistis sekaligus magis.
Sampai Pos 2 sekitar pukul 12.45 wib. Di sini saya tidak istirahat lama. Menghisap sebatang rokok dan mengobrol dengan seorang pendaki yang katanya berasal dari Kaki Gunung Kerinci, Desa Kersik Tuo. Kami mengobrol seputaran Gunung Kerinci, membuat saya mengingat momen-momen ketika mendaki Gunung Kerinci 10 tahun yang lalu. Selang 15 Menit kemudian, saya melanjutkna perjalanan dari Pos 2 ke Pos 3
![]() |
Suasana Pos 2 - Ramai |
Pos 2 – Pos 3 (Gumuk Menthul)
Setelah Pos 2, trek mulai terbuka. Kiri kanan hijau, rumput panjang bergoyang kena angin, dan dari kejauhan Gunung Sindoro, Sumbing dan Andong juga Telomoyo mulai kelihatan dengan jelas. Rasanya kayak jalan di negeri dongeng. Trek ini adalah trek yang panjang. Dominasi jalan tanah, zig - zag dan menanjak. Tidak banyak bonus. Saat itu, kabut menemani perjalanan. Syahdu dan Teduh. Perjalalan juga melalui beberapa landmark yaitu; Akasia Tunggal, Akasia Kembar, Sabaranak 1 dan sabaranak 2. Dua jam kemudian, barulah sampai di Pos 3. Cukup banyak waktu yang dihabiskan, sebab disetiap landmark yang saya sebutkan tadi, kami berhenti untuk mengambil dokumentasi.
![]() |
Pose ditengah Kabut yang Turun |
Jika Pereng Putih masih terasa santai, maka trek menuju Gumuk Mentul ini adalah seleksi alam. Vegetasi mulai menipis, semak-semak makin jarang. Di sisi kiri dan kanan, kadang muncul semacam lereng terbuka, memperlihatkan bentangan lembah dan pucuk-pucuk pohon di bawah sana. Kabut pun kadang datang tanpa aba-aba, turun dari lembah lalu naik pelan, memberikan suasanya yang syahdu dan teduh.
![]() |
Pendaki Nandur - (Pendaki Mundur ?) |
Sedikit cerita mengenai kata "Pendaki Nandur". Ketika tulisan ini dibuat, saya sempat mencari tau makna dari kata tersebut. Salah satu makna yang menarik adalah; "Pendaki Nandur" pendaki yang tidak hanya berjalan ke puncak, tapi juga menanam kenangan, pelajaran, dan harapan di sepanjang jalur yang ia lalui.
![]() |
Sign Pos 3 - Gumuk Menthul |
Pos 3 - Pos 4 (Lempong Sampan)
Kami kembali melanjutkan pendakian ketika waktu menunjukkan sekitar pukul Tiga Sore. Masih diiringi kabut tipis yang turun dari atas membuat suasana tetap terasa teduh. Trek dari sini cukup menguji, bukan hanya karena tanjakan yang semakin curam, tapi juga karena medan yang mulai terbuka, membuat tenaga cepat terkuras.
Beberapa bagian jalur masih dilindungi rimbunnya vegetasi hutan pegunungan, namun seiring naiknya ketinggian, pohon-pohon mulai jarang dan berganti dengan ilalang serta semak-semak kecil. Tanah cenderung kering, kadang berbatu, dan di beberapa titik licin karena debu yang mengendap di atas akar-akaran.
Yang paling terasa dari jalur Gumuk Menthul ke Lempong Sampan adalah ritme pendakian yang melambat, padahal sejatinya dari Pos 3, warna-warni tenda di Pos 4 sudah kelihatan. Tidak hanya karena beratnya tanjakan, tapi juga karena pandangan mata mulai disuguhi lanskap yang luar biasa. Sesekali kami berhenti, bukan hanya untuk mengatur napas, tapi juga untuk memandangi hamparan alam yang mulai terlihat di belakang kami—gunung-gunung tetangga muncul samar di balik kabut, dan lembah-lembah yang tadi kami lewati kini terlihat mungil dari atas.
Sekitar 45 menit kemudian, kami tiba di sebuah area yang sedikit lebih datar, dikelilingi oleh vegetasi perdu dan kami telah sampai di Pos 4 Lempong Sampan.
Tenda sudah berdiri. Salah satu kenyamanan ikut Open Trip, tentu saja, adalah ini. Saya tinggal masuk ke dalam tenda. Tidak perlu lagi bersusah payah membuka frame, menggelar matras, atau mengikat pasak di tanah keras. Juga tidak perlu sibuk memikirkan masak apa untuk malam ini, semua sudah di handle oleh tim operator. Meski begitu, saya akui, sensasi memasak sendiri di gunung dengan sisa tenaga memang tak tergantikan.
Tempat ini tidak terlalu luas, tapi cukup untuk menjadi lokasi istirahat strategis sebelum menembus summit attack keesokan harinya. Angin mulai lebih kencang, udara semakin dingin, dan samar-samar, gulungan awan terlihat merambat di atas sabana yang akan kami lewati nanti. Dari Pos 4 ini juga, terlihat puncak-puncak Gunung Merbabu yang besok akan kami datangi. Saya menghabiskan waktu menikmati suasana dan hunting sunset.
![]() |
Sunset dari Sabana Sekitar Pos 4 |
Matahari perlahan pergi meninggalkan kami dan langit gelap berganti. Kami pun makan malam bersama. Obrolan kecil mengalir di antara kami tentang jalur yang baru dilalui, tentang harapan esok hari, dan tentu saja, tentang puncak yang kini terasa semakin dekat.
Tak lama setelah itu, kami bersiap untuk tidur. Jam menunjukkan pukul delapan malam, dan suara di luar tenda mulai senyap satu per satu. Kami butuh istirahat. Karena tepat pukul tiga dini hari esok, pendakian menuju puncak akan dimulai summit attack yang menjadi klimaks dari perjalanan ini.
Pos 4 - Puncak Pemancar
Jam 02.30 dini hari, alarm mulai berbunyi. Suara-suara dari tenda lain juga mulai terdengar. Udara di luar sangat dingin, bahkan saat sudah pakai jaket tebal dan sarung tangan, rasanya masih tembus ke dalam kulit. Saya pelan-pelan bangun, menyiapkan perlengkapan untuk summit attack.
Saat itu kami sarapan ringan roti sandwich yang sudah disediakan oleh trip organizer. Cukup untuk mengisi tenaga sebelum lanjut jalan. Tidak banyak obrolan. Semua fokus pada persiapan. Jalur ke atas masih cukup jauh dan gelap.
Sekitar pukul 03.00 kami mulai jalan dari Pos 4 Lempong Sampan. Trek langsung menanjak sejak awal. Jalurnya berupa tanah kering bercampur debu dan batu kecil. Beberapa bagian cukup licin. Vegetasi juga mulai berubah. Pohon sudah jarang, lebih banyak ilalang dan semak-semak rendah. Jalur terbuka, jadi angin bisa langsung menghantam tubuh dari sisi kanan bukit. Suhunya makin dingin.
Perjalanan ke Puncak Pemancar memang tidak terlalu panjang, tapi cukup melelahkan karena tanjakannya konstan. Langkah kami juga tidak terlalu cepat. Karena masih gelap, kami hanya mengandalkan headlamp. Lampu-lampu dari rombongan kami terlihat seperti barisan cahaya kecil yang menyusuri lereng. Suasana hening. Kami jalan dalam diam, hanya sesekali berhenti untuk atur napas.
Sekitar setengah perjalanan, langit mulai terang perlahan. Dari arah timur muncul semburat oranye tipis. Waktu itu saya menoleh ke belakang, dan melihat pemandangan yang luar biasa, Gunung Andong dan Gunung Telomoyo terlihat jelas, disertai juga citylight dari Kota Salatiga.
Keindahan Lampu Kota Mengiringi Perjlanan
Kurang lebih satu setengah jam dari Lempong Sampan, kami sampai di Puncak Pemancar. Di sana ada dataran terbuka dan ada bangunan bekas operator pemancar dan tower pemancar yang sudah rubuh berdiri. Udara dingin, saya melihat jam tangan, menunjukkan bahwa saat itu suhu sektitar 4°c. Angin juga mulai sepoi sepoi menghampiri kami. Dari titik ini, pemandangan benar-benar terbuka. Jalur punggungan ke arah Syarif mulai terlihat jelas. Golden hour dari sinar matahari mulai muncul seakan menyapu dengan lembut .
Kami istirihat cukup lama di Puncak Pemancar dan menunggu rombongan dibelakang. Minum air, memakan snack dan mengambil foto. Momen ini jadi titik transisi—karena setelah ini, jalurnya mulai rolling, naik turun punggungan. Akan melelahkan, karena meski tanjakannya tidak seterjal sebelumnya, perjalanan ke puncak syarif masih cukup panjang
![]() |
Sign Puncak Pemancar - Foto diambil ketika Turun |
![]() |
Bekas Bangunan Pemancar - Foto diambil ketika Turun |
Puncak Pemancar - Puncak Syarif
Setelah istirahat di Puncak Pemancar, kami lanjut berjalan menuju Puncak Syarif. Yang mana, Puncak Syarif inilah tujuan terkahir. Sejatinya masih ada puncak Triangulasi, Kenteng Songo dan Odo Rante di depan, tapi untuk saat ini, cukup sampai di Puncak Syarif saja. Tidak masalah, karena ini akan menjadi trigger saya kedepan untuk kembali mendaki Gunung Merbabu.
Jalur mulai terbuka sepenuhnya. Di kiri kanan sudah terlihat sabana luas membentang, dengan jalur kecil yang seperti ular meliuk mengikuti punggungan bukit.
Berbeda dengan jalur dari Lempong Sampan yang terus menanjak, trek dari Pemancar ke Puncak Syarif lebih bervariasi. Ada tanjakan, turunan dan beberapa bagian justru datar dan cukup nyaman untuk melangkah. Tapi tetap saja, karena berada di ketinggian, napas masih terasa berat dan tenaga harus diatur.
Pemandangan di sini benar-benar terbuka. Kiri kanan hamparan sabana. Saat itu matahari sudah mulai naik, tapi belum terlalu terik. Langit cerah. Di kejauhan, Gunung Andong, Gunung Teloyomo berdiri dengan jelas di belakang Jalur. Gunung Sindoro dan Sumbing juga menampakkan kegagahannya dari kejauhan.
Waktu tempuh dari Pemancar ke Puncak Syarif sekitar satu setengah jam kemudian, dengan jalan santai. Jalur tanah, sesekali ada batu dan akar, tapi umumnya aman dilalui. Beberapa titik cukup sempit dan agak miring ke samping, jadi tetap harus hati-hati.
Sekitar pukul 06.30 pagi, kami tiba di Puncak Syarif. Tujuan akhir dari pendakian kali ini. Di sini banyak pendaki berhenti untuk istirahat atau foto. Spot-nya cukup luas dan menjadi salah satu titik populer. Dari Puncak Syarif, kita bisa melihat jalur sabana yang sudah dilewati dan sisa punggungan menuju puncak-puncak berikutnya.
Saya mengambil dokumentasi dan menikmati view 360° yang disuguhkan dari Puncak Syarif.
Total Waktu :
Basecamp - Pos 1 : 20 Menit
Pos 1 - Pos 2 : 1 Jam 30 Menit
Pos 2 - Pos 3 : 2 Jam
Pos 3 - Pos 4 : 45 Menit
Pos 4 - Puncak Pemancar : 1 Jam
Puncak Pemancar - Puncak Syarif : 1 Jam 30 Menit
Total : 7 Jam 5 Menit (Estimasi)
Setelah semua anggota team sampai di puncak syarif,, kami foto bersama dan saya langsung jalan untuk kembali ke camp area. Saya mulai jalan pada pukul 8, dan tiba di Camp Area pukul 11.
Di Camp Area, trip organizer sudah menyediakn Sop Buah. Menyegarkan sekali ya , disaat tubuh sudah lelah dan matahari sedang panas-panasnya, kami menikmati Sop Buah. Sekitar jam 12 siang, makan siang sudah siap, kami makan dan kemudian bersiap untuk turun kembai ke basecamp.
Pukul 13.30 siang, saya mulai perjlanan turun dan tiba di Pos 1 pada pukul 16.00. Kemudian istirahat sejenak, naik Ojek dan tiba di Basecamp pada pukul 16.30. Segera setelahnya, bersih-bersih dan persiapan untuk pulang.
Pukul 18.30, bus Elf yang kami tumpangi mulai melaju untuk kembali ke Jakarta. Sempat istirahat sebentar di rest area, dan kami tiba di Jakarta pada pukul 4 Pagi.
Galeri-galeri selama pendakian :
Pengalaman ini menghadirkan cara baru dalam menikmati gunung: lebih pelan, lebih terbuka, dan lebih mengagumi. Merbabu tak menawarkan rintangan ekstrem, tapi justru lewat kesederhanaannya, ia memberi kesan yang sulit dilupakan.
Namun, di antara semua itu… ada satu keinginan yang belum selesai: kembali ke Merbabu.
Bukan karena belum puas, tapi karena saya belum menginjak semua puncaknya. Mungkin lewat jalur Suwanting, atau Selo agar bisa menyusuri sabana dari sisi lain, melihat Merbabu dari sudut yang berbeda, dan menyempurnakan rasa penasaran yang tertinggal. But, well see..
0 Comentarios