Gunung Sumbing – 3.371 MDPL. Lintasan Sunyi dari Nepal van Java.
Pendakian kali ini terasa berbeda sejak awal. Dilakukan pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 2023, saya memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru: ikut open trip. Tidak seperti pendakian-pendakian sebelumnya yang biasanya saya lakukan bersama teman dekat atau rekan satu lingkaran, kali ini saya berangkat bersama dua puluh lima orang asing — tidak satu pun dari mereka saya kenal sebelumnya.
Ada rasa canggung, tentu. Tapi juga ada sensasi yang menarik. Bertemu dengan jiwa-jiwa baru yang dalam waktu singkat akan berbagi langkah, berbagi tanjakan, berbagi peluh, dan mungkin... berbagi sedikit cerita hidup.
Lucunya, meski awalnya tak kenal siapa-siapa, di tengah perjalanan saya justru merasa seperti sedang jalan bareng teman lama. Entah karena lelah membuat kita cepat akrab, atau mungkin memang begitulah cara gunung mempertemukan orang-orang yang sedang butuh cerita baru. Gunung sering kali menjadi ruang pertemuan yang tak kita rencanakan — antara satu pendaki dengan pendaki lain, dan antara kita dengan sisi lain dari diri kita sendiri.
Sekilas tentang Gunung Sumbing. Gunung Sumbing adalah gunung api yang terdapat di Jawa Tengah, Indonesia. (Ketinggian puncak 3.371 mdpl), gunung Sumbing merupakan gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru dan Gunung Slamet. Gunung ini secara administratif terletak di tiga wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Magelang; Kabupaten Temanggung; dan Kabupaten Wonosobo. Bersama dengan Gunung Sindoro, Gunung Sumbing membentuk bentang alam gunung kembar, seperti Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, apabila dilihat dari arah Temanggung. Celah antara gunung ini dan Gunung Sindoro dilalui oleh jalan provinsi yang menghubungkan kota Temanggung dan kota Wonosobo. Jalan ini biasa dijuluki sebagai "Kledung Pass" (sumber:di sini).
Ada beberapa jalur pendakian untuk mencapai puncak Gunung Sumbing. Yaitu, via Garung, Capit Parakan, Kali Angkrik, Bowongso dan Sipetung. Jalur via Garung adalah yang terpopuler, namun pada pendakian ini saya melalui jalur Kaliangkrik. Bukan sekadar karena ingin mencoba sesuatu yang berbeda, tapi juga karena daya tarik desa tempat pendakiannya dimulai Desa Butuh, yang dijuluki "Nepal van Java". Julukan itu bukan tanpa alasan. Rumah-rumah di sana bertumpuk di lereng seperti undakan kecil, dengan latar belakang Gunung Sumbing yang gagah. Saat kabut turun dan langit memucat, desa itu memang terasa seperti potongan Himalaya yang tersesat di tengah Jawa.
Oke, intronya cukup ya. Saya akan mulai menceritakan pengalaman pendakiannya.
Jarak dari Jakarta ke Kaliangkrik memang tak bisa dibilang dekat—sekitar 500 kilometer lebih sedikit. Tapi yang membuatnya terasa panjang bukan sekadar angka di spidometer, melainkan waktu yang dihabiskan di dalam kendaraan, malam yang lambat, dan tubuh yang tak bisa benar-benar istirahat.
Kami berangkat dari Jakarta sekitar pukul 10 malam. Jalanan ibu kota mulai sepi saat bis Elf kami meninggalkan lampu-lampu kota menuju jalan lintas Jawa yang gelap. Beberapa orang langsung terlelap, sebagian masih bercakap pelan, mencoba mengenali satu sama lain. Saya? Duduk sambil menatap keluar, sesekali mencoba tidur, tapi tak pernah benar-benar tenggelam dalam lelap.
Waktu terasa lambat. Hujan sempat turun rintik, lalu berhenti. Jalanan berliku, perut kadang terasa mual, badan kaku karena duduk terlalu lama. Tapi semua itu terbayar ketika jam menunjukkan pukul 11 siang, dan kami akhirnya tiba di Basecamp Kaliangkrik. Hampir 13 jam perjalanan, dan saya baru sadar: ini pendakian yang bahkan sebelum menanjak pun sudah melelahkan.
Tapi seperti biasa, begitu kaki menginjak tanah basecamp dan udara pegunungan mulai terasa di hidung, semua letih seperti mengecil. Di hadapan saya, Gunung Sumbing berdiri diam, tapi tak bisa disangkal: ia seperti memanggil.
Setelah semua urusan registrasi selesai, perlengkapan dicek ulang, dan tubuh cukup diregangkan setelah duduk belasan jam, pendakian pun dimulai. Tapi bukan dengan kaki lebih dulu—melainkan dengan ojek gunung. Sebuah pengalaman pertama yang… unik. Jujur, antara excited dan deg-degan.
Motor trail itu melaju kencang menanjak jalan sempit dengan kemiringan yang bisa dibilang gila-gilaan. Kalau boleh dilebihkan, mungkin 130–140 derajat, dan itu belum termasuk tikungan tajam yang seolah menguji batas logika dan adrenalin. Saya duduk di belakang, berusaha tenang, tapi tangan refleks mencengkeram erat bagian besi belakang motor. Kalau saya lepas kendali sedikit saja, mungkin saya sudah berguling ke jurang. Haha, berlebihan ya, tapi beneran.
Perjalanan itu hanya sekitar 4 menit, tapi terasa seperti naik roller coaster tanpa sabuk pengaman. Jantung saya berdetak cepat, antara takut dan ketagihan. Dan yang lucu—semua itu terekam jelas di video yang saya ambil saat itu. Ekspresi wajah saya? Campuran antara bingung, kaget, dan ngakak dalam hati. Satu hal yang pasti: ini bukan ojek biasa. Ini ojek rasa wahana ekstrim.
Begitu sampai di Pos Ojek, semua rombongan berkumpul. Kami tertawa-tawa saling cerita soal pengalaman barusan. Entah kenapa, dari momen itu saya merasa, perjalanan ini bakal seru dan berkesan—meski saya belum benar-benar tahu, seperti apa jalur Sumbing via Kaliangkrik sebenarnya.
Setelah puas menikmati bentang alam dari puncak, saya dan beberapa kawan mulai menuruni jalur kembali menuju camp area di Pos 3 sekitar pukul 09.00 pagi. Turunan terasa lebih ringan di kaki, tapi tetap saja harus waspada. Debu yang tadi menempel di sepatu saat naik, kini justru membuat langkah jadi lebih licin. Sekali terpeleset, bisa-bisa langsung duduk di tanah.
Perjalanan turun ke tenda memakan waktu sekitar dua setengah jam. Jam 11.30, saya tiba di Pos 3. Saat itu, sebagian rombongan masih sibuk memasak makan siang, sebagian lain mulai membongkar tenda dan mengepak barang. Saya sendiri memilih untuk istirahat sejenak, mengisi tenaga, dan diam-diam menikmati momen-momen terakhir berada di ketinggian. Ada rasa enggan untuk turun, seperti biasa. Tapi semua perjalanan pasti ada akhirnya.
Setelah makan dan beres-beres, sekitar jam 1.30 siang, kami memulai perjalanan turun ke basecamp. Jalur yang kami lewati terasa sama panasnya seperti saat naik kemarin. Matahari tepat di atas kepala, tapi semangat pulang membuat langkah kaki terasa lebih ringan. Perjalanan itu memakan waktu sekitar 2,5 jam, dan akhirnya saya tiba kembali di Pos Ojek pada pukul 4 sore.
Dari sana, ojek gunung kembali mengantar kami ke basecamp di Desa Butuh, tempat pendakian ini pertama kali dimulai.
Jadi, begitulah cerita pendakian Gunung Sumbing via Kaliangkrik. Pendakian yang singkat secara durasi, tapi cukup melelahkan karena kontur jalurnya yang terus menanjak, tanpa banyak bonus. Bagi kamu yang memang terbiasa dengan jalur curam dan cepat, mungkin ini akan terasa menantang. Tapi bagi saya—yang lebih suka berjalan pelan, menyerap suasana, menikmati setiap jengkal langkah—jalur ini terasa agak terlalu "to the point".
Bukan berarti saya menyesal ikut pendakian ini, tidak sama sekali. Setiap gunung punya cerita, dan setiap cerita menyisakan sesuatu yang patut disyukuri. Tapi jujur, Sumbing via Kaliangkrik bukan jalur favorit saya. Kalau boleh memilih, saya lebih suka jalur yang memberi waktu untuk berdialog dengan alam dalam sunyi, bukan jalur yang seakan memaksa kita terus bergerak tanpa jeda.
Where to go, next?
Setelah pendakian ini, saya mulai berpikir untuk melanjutkan “Triple S” — mendaki Gunung Sumbing, Sindoro, dan Slamet. Gunung Sindoro akan menjadi tujuan berikutnya, karena Gunung Slamet sedang tidak dalam kondisi yang baik saat ini. Aktivitas vulkaniknya meningkat dan jalur pendakian ditutup sementara. Jadi, jika seandainya saya selesai menapaka Puncak Sindoro di Tahun ini, saya harus menahan keinginan melengkapi "Triple S" sedikit lebih lama.
Jika tidak ke Sindoro, mungkin pendakian berikutnya akan sedikit bergeser. Ada rasa penasaran dengan Gunung Prau yang terkenal dengan golden sunrise-nya, atau Gunung Lawu yang menyimpan cerita mistis. Jauh di benak saya juga mulai terlintas nama Gunung Merbabu, katanya sabana di sana adalah salah satu yang paling indah di Pulau Jawa.
Karena semua tergantung waktu, dan tentu saja… dana. Ditambah lagi, anak saya di rumah sudah mulai lancar berbicara. Rasanya berat juga meninggalkan senyumnya hanya demi mendaki gunung. Tapi seperti biasa, hasrat mendaki tetap menyala. Mungkin tak akan sesering dulu, tapi tetap ada.
Satu hal yang pasti: saya masih ingin naik gunung, tapi kali ini dengan ritme yang berbeda. Lebih pelan, lebih sadar, dan semoga… lebih bermakna.
"Saya mendaki bukan untuk cepat sampai, tapi untuk pelan-pelan menyerap semuanya—langkah, napas, dan sunyi. Dan di Sumbing via Kaliangkrik, saya harus banyak berkompromi."
0 Comentarios