Tidak semua cerita harus megah. Yang sederhana pun bisa tinggal lebih lama di hati

– Aspi Yuwanda

Pertemuan yang Hanya Sekali - Ibu, Anak dan Cucu di Pesawat ke Pekanbaru

Saya lupa pastinya tahun berapa, tapi yang jelas sebelum 2018. Mungkin antara 2016 atau 2017. Saat itu saya dalam perjalanan pulang ke Pekanbaru, berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma. Hari itu bukan akhir pekan, bukan juga musim liburan. Bandara tidak terlalu ramai. Suasananya tenang, udara terasa hangat, dan waktu berjalan pelan.

Seperti biasa, saya menunggu jadwal boarding di sebuah coffee shop kecil di sudut ruang tunggu. Sambil merokok, saya memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang. Ada yang terburu-buru, ada yang duduk diam seperti saya. Suara panggilan dari pengeras suara terdengar samar di antara musik pelan yang diputar di kafe.

Ketika panggilan boarding tiba, saya mengambil tas dan ikut ke barisan penumpang. Kursi saya berada di tengah, dekat jendela. Di sebelah saya duduk seorang perempuan muda dengan bayi di pangkuannya. Di sisi luarnya, duduk seorang ibu paruh baya — ibunya. Dari raut wajah dan cara berbicara, saya bisa menebak mereka orang Sumatera. Logatnya halus tapi jelas, dengan nada khas yang hangat dan tegas di waktu bersamaan.

Dari awal, saya sudah bisa membayangkan betapa repotnya membawa bayi dalam perjalanan jauh. Tas besar di bawah kaki, botol susu, tisu, selimut kecil. Semua serba sempit tapi penuh kasih. Saya memasang earphone dan memutar lagu, sesekali melirik ke arah mereka. Ada sesuatu yang menenangkan dalam pemandangan itu.

Sekitar tiga puluh menit setelah pesawat lepas landas dan mulai stabil menembus awan, si ibu mulai membuka percakapan.
“Mau pulang ke mana, Nak?”
“Ke Pekanbaru, Bu.”
“Iya, kami juga ke Pekanbaru. Anak saya ini ngurus kuliahnya di Jakarta, mau ambil spesialis. Sekalian pulang, bawa anaknya juga,” katanya sambil tersenyum.

Dari situ percakapan mengalir panjang. Ia bercerita tentang anaknya yang sedang berjuang di pendidikan dokter, tentang biaya yang tidak mudah, dan tentang rasa bangga yang selalu dibarengi cemas. Ia sesekali menepuk tangan cucunya yang mulai rewel, sambil terus berbicara seolah cerita itu sudah menunggu lama untuk dikeluarkan.

Saya mendengarkan dengan tenang, lebih banyak mengangguk daripada berbicara. Tapi di sela-sela cerita, si ibu juga memberi saya banyak nasihat. Tentang bekerja dengan niat yang baik, tentang jangan lupa istirahat, tentang sabar menghadapi orang yang sulit, dan tentang pentingnya berbuat baik tanpa berharap balasan. “Kalau kita tulus, Nak,” katanya pelan, “kadang yang baik itu datangnya bukan dari orang yang kita tolong, tapi dari arah yang gak kita duga.”

Saya hanya tersenyum dan mengangguk. Ada cara bicara yang lembut tapi tegas dari seorang ibu yang sudah melewati banyak hal. Tidak menggurui, tapi terasa dalam.

Ketika pesawat mulai menurunkan ketinggian, pramugari mengumumkan agar penumpang bersiap untuk mendarat. Saya menoleh ke arah mereka dan menawarkan diri untuk membantu mengambil barang di bagasi kabin. Awalnya si ibu menolak. “Gak usah, Nak, nanti kamu repot,” katanya. Tapi saya tetap memaksa dengan sopan, bilang tidak apa-apa. Akhirnya ia tersenyum dan mengangguk. “Ya sudah, makasih ya, Nak.”

Begitu pesawat berhenti, saya berdiri lebih dulu, mengambil tas dan barang bawaan mereka. Si ibu tampak lega, begitu juga anaknya yang masih berusaha menenangkan bayi yang mulai menangis. Kami berjalan bersama sampai ke terminal kedatangan.

Di ujung lorong, terlihat seorang anak muda menunggu mereka. Si ibu menunjuk ke arah itu sambil berkata, “Itu anak saya yang laki-laki.” Wajahnya tampak bahagia. Sebelum berpisah, ia menatap saya dan berkata, “Terima kasih ya, Nak. Kalau mau bareng juga boleh, kami sekalian lewat arah luar.”
Saya tersenyum dan menggeleng. “Gak usah, Bu. Rumah saya beda arah.”

Kami berpamitan di sana. Mereka berjalan ke arah kanan, saya ke kiri.

Beberapa menit kemudian, saya naik taksi. Saat mobil perlahan keluar dari area bandara, saya sempat melihat mereka masih berjalan ke arah parkiran. Ada sesuatu yang tenang di pemandangan itu. Mungkin karena saya tahu, di antara semua orang yang bergegas pulang hari itu, ada tiga orang yang benar-benar sedang pulang dalam arti yang sebenarnya.

0 Comments