Pertemuan itu terjadi sekitar tahun 2016. Saat itu saya sedang menunggu seorang teman yang datang dari Bogor. Kami berjanji bertemu di Stasiun Juanda. Saya tiba lebih dulu, berdiri di dekat pagar pembatas sambil merokok dan melihat orang-orang yang keluar masuk stasiun. Suasananya seperti biasa, ramai, bising, tapi entah kenapa terasa lambat.
Di tengah keramaian itu, seorang ibu paruh baya menghampiri saya. Wajahnya ramah, sedikit lelah, tapi matanya jernih. Ia memanggil saya, “Aa.” Suaranya pelan tapi yakin. Ia bilang baru sampai dari Sukabumi, dan sedang berusaha kembali ke rumah majikannya di daerah Petojo.
Ia bercerita kalau ia bekerja sebagai tukang masak di rumah keluarga Arab. Katanya, sebelumnya ia sempat libur pulang ke Sukabumi selama beberapa minggu. Dari Sukabumi ia naik colt kecil ke Bogor, lalu lanjut naik KRL ke Jakarta. Tapi uangnya habis di perjalanan. “Aa, boleh pinjam dua puluh ribu aja? Buat naik bajaj ke rumah majikan,” katanya.
Saya diam sejenak. Ada rasa ragu. Antara kasihan dan curiga. Sambil bicara, ia tidak terlihat seperti orang yang sedang menipu. Tapi di kepala saya tetap muncul macam-macam pikiran aneh yang sudah terlalu sering saya dengar di kota ini.
Obrolan kami terus berlanjut. Ia bilang sudah lama bekerja dengan keluarga Arab, hampir delapan tahun. Sebelumnya ia pernah juga jadi tenaga kerja di Arab Saudi selama lima belas tahun. “Di sana kerja sama orang Arab juga, Aa. Jadinya udah biasa,” katanya sambil tersenyum kecil. “Mereka banyak maunya, tapi kalau udah percaya, baik juga.”
Saya mengangguk, berusaha mendengarkan, sambil tetap waspada. Obrolan itu berlangsung sekitar sepuluh menit. Ia bercerita tanpa banyak jeda, tapi juga tanpa terlihat terburu-buru. Sambil bicara, ia membuka tas kain kecil yang dibawanya, lalu mengeluarkan sebungkus keripik singkong. “Ini dari Sukabumi, Aa. Bawa aja, buat cemilan.”
Kalimat itu diam-diam terasa kena. Ia tidak menuntut, tidak memaksa, hanya berkata dengan tenang. Mungkin karena ia sudah sering menemui reaksi seperti itu.
Tak lama kemudian, teman saya tiba. Saya pamit, lalu memberinya uang dua puluh ribu. Ia berterima kasih dengan tulus, menundukkan kepala sedikit, lalu berjalan ke arah luar stasiun. Langkahnya pelan, tapi pasti. Tas kainnya disampirkan di pundak, wajahnya terlihat lega.
Setelah ia pergi, saya sempat tertawa kecil dengan teman saya, menceritakan apa yang baru terjadi. Tapi jauh di dalam diri saya, ada rasa yang tertinggal. Mungkin bukan karena ceritanya, tapi karena perasaan absurd yang muncul di antara percaya dan curiga. Dan kalimatnya waktu itu masih saya ingat.
“Sekarang orang memang susah percaya.”
Mungkin benar. Di kota yang bergerak cepat seperti Jakarta, kita seringkali lupa cara percaya pada orang asing.
0 Comments