Tidak semua cerita harus megah. Yang sederhana pun bisa tinggal lebih lama di hati

– Aspi Yuwanda

#3 Jembatan Antara Dua Dunia: Kota yang Terlalu Ramai untuk Didengar

Beberapa waktu lalu, saya melewati jalanan Jakarta di jam dua pagi. Perjalanan dari Mampang menuju Sunter itu bukan perjalanan yang direncanakan, tapi ternyata meninggalkan kesan yang sulit dijelaskan. Kota terasa berbeda ketika semua orang sedang tidur. Jalanan lengang, lampu merah berdiri sendiri, dan suara mesin terdengar lebih jujur tanpa tumpukan kebisingan siang hari.

Malam itu saya melihat wajah kota yang jarang muncul di depan mata. Pedagang kaki lima yang merapikan dagangan. Tukang ojek yang masih berjaga di pojokan jalan. Sekelompok anak muda yang tertawa lepas di pinggir jalan, seperti lupa waktu. Dan di antara semua itu, seorang manusia gerobak tidur di trotoar, tubuhnya dibungkus kardus tipis. Di belakangnya berdiri gedung tinggi yang tetap menyala terang. Hanya beberapa meter jarak antara kemewahan dan kesunyian, antara orang yang punya segalanya dan yang tidak punya tempat untuk pulang.

Kota ini memang punya dua sisi. Siang hari, ia bergerak dengan ritme cepat, penuh suara dan tuntutan. Malam hari, ia diam tapi tidak benar-benar tidur. Bahkan dalam senyap, ada kehidupan yang tetap berjalan. Di situ saya sadar, Jakarta tidak pernah sepenuhnya tenang. Ia seperti tubuh besar yang terus bernafas meski matanya terpejam.

Saya pernah berpikir bahwa ketenangan hanya bisa ditemukan di tempat yang jauh. Di gunung, di tepi danau, atau di jalur sunyi yang membuat kita terputus dari dunia. Tapi ternyata tidak selalu begitu. Kadang, ketenangan itu bisa muncul di tengah hiruk pikuk kota, ketika kita berhenti sejenak dan membiarkan diri mendengar lagi. Bukan suara kendaraan, tapi suara yang datang dari dalam kepala sendiri.

Di tengah kota yang terlalu ramai, sulit sekali mendengar dengan jernih. Bukan karena telinga kita rusak, tapi karena ada terlalu banyak hal yang ingin bicara. Terlalu banyak kabar, tuntutan, dan suara yang berlomba minta perhatian. Kita menjadi terbiasa merespons cepat, takut tertinggal, takut ketinggalan berita. Dan tanpa sadar, kita kehilangan keheningan yang dulu terasa biasa saja.

Saya mulai belajar menjaga ruang kecil di dalam diri. Ruang yang tidak ikut berlari, tidak ikut ramai, tidak ikut bersaing untuk bicara. Kadang bentuknya sederhana. Menunda membalas pesan. Membiarkan notifikasi tetap menyala tanpa dibuka. Duduk diam di kursi kantor setelah semua orang pulang, sekadar menatap lampu gedung di kejauhan.

Saya tahu, kota ini tidak akan melambat untuk siapa pun. Tapi kita bisa memilih cara sendiri untuk tetap hadir tanpa kehilangan arah. Saya ingin tetap tinggal di kota, tapi juga tidak ingin kehilangan keheningan yang pernah saya temui di tempat lain. Dan mungkin itulah alasan kenapa saya terus menulis seri ini: untuk menjaga agar ruang itu tetap hidup.

Jakarta, dalam segala kebisingannya, tetap punya sisi yang bisa menenangkan. Tapi ia hanya muncul bagi mereka yang mau berhenti sebentar untuk mendengarnya.

Kehidupan di kota sering kali membuat kita lupa bahwa diam bukan tanda menyerah. Diam juga bisa berarti mendengarkan. Mendengar tubuh sendiri yang lelah. Mendengar pikiran yang mulai menuntut jeda. Mendengar suara hati yang lama tidak diajak bicara.

Malam itu, di perjalanan pulang jam dua pagi, saya tidak sedang mencari arti apa pun. Saya hanya membiarkan diri mengamati kota yang tidak sepenuhnya tidur. Di antara lampu gedung-gedung tinggi yang tetap menyala terang dan jalanan kosong, hati saya merasa tenang.

Mungkin bukan karena kota ini berubah, tapi karena saya yang akhirnya belajar dengan cara berbeda.



"Bagian dari seri Jembatan Antara Dua Dunia. Tentang perjalanan yang tidak lagi dicari, tapi dijaga agar tetap hidup di dalam diri."

0 Comments