Ada masa dalam hidup ketika semuanya terasa menggantung. Kita tidak sedang berangkat, tapi juga belum sampai. Tidak sedang tersesat, tapi juga belum benar-benar tahu arah. Di masa itu, waktu berjalan dengan cara yang aneh. Kadang terasa terlalu cepat, kadang justru pelan sekali.
Saya pernah berada di masa itu. Hari-hari terasa datar, tapi kepala penuh dengan hal yang sulit dijelaskan. Tidak ada yang benar-benar salah, tapi juga tidak ada yang terasa cukup benar. Seolah hidup sedang menunggu sesuatu, tapi tidak memberi tahu apa yang ditunggu.
Mungkin memang begitu bentuk dari masa di antara pergi dan pulang. Masa ketika kita sudah tidak lagi ingin melarikan diri, tapi juga belum siap untuk menetap. Masa di mana tubuh sudah pulih, tapi hati masih mencari keseimbangan. Masa yang diam tapi juga bergerak, hanya saja arahnya belum jelas.
Saya mulai belajar menerima masa itu tanpa banyak perlawanan. Tidak memaksanya selesai, tidak menuntutnya segera berubah. Saya biarkan saja berjalan seperti air yang mengalir di sungai kecil, tanpa perlu tahu di mana ujungnya. Karena ternyata, ketika kita berhenti memaksa sesuatu berjalan sesuai kehendak, segalanya terasa sedikit lebih tenang.
Di usia saat ini, saya mulai memahami bahwa ketenangan tidak datang dari seberapa banyak hal yang berhasil kita kendalikan, tapi dari seberapa ikhlas kita membiarkan sesuatu berjalan dengan caranya sendiri. Ada banyak hal yang dulu saya kejar karena takut tertinggal, takut tidak sampai, takut kalah cepat. Tapi setelah melewati cukup banyak kehilangan dan penyesuaian, saya menyadari bahwa tidak semua hal memang harus dicapai secepat itu.
Di usia saat ini, saya tidak lagi mencari makna besar di setiap peristiwa. Saya lebih banyak belajar menerima bahwa hidup memang penuh fase yang tidak selalu bisa dimengerti pada saat itu juga. Beberapa hal baru terasa masuk akal setelah waktu berlalu, setelah kita cukup tenang untuk melihatnya dari jarak yang lebih jauh.
Saya juga belajar bahwa tidak semua hal bisa dipaksa menjadi baik hanya karena kita ingin. Kadang, waktu punya caranya sendiri untuk menenangkan sesuatu. Dan di antara waktu yang tidak pasti itu, yang bisa saya lakukan hanya menjaga diri agar tidak kehilangan arah.
Dulu saya pikir kedewasaan berarti bisa memutuskan dengan cepat. Sekarang saya tahu, kedewasaan justru berarti tahu kapan harus menunggu. Tahu kapan harus diam, dan tahu kapan harus berhenti menuntut penjelasan dari hal-hal yang belum waktunya dipahami.
Di usia saat ini, saya tidak lagi ingin melawan waktu. Saya hanya ingin berjalan bersamanya. Tidak terburu-buru, tidak menunda. Hanya berjalan perlahan dengan kesadaran penuh bahwa setiap langkah kecil pun tetap berarti.
Ada hari-hari di mana saya bangun pagi, menatap jendela, dan tidak tahu harus memulai dari mana. Tapi di hari yang sama, saya juga menemukan ketenangan dari hal-hal kecil. Secangkir kopi yang diseduh tanpa tergesa, udara pagi yang pelan masuk ke kamar, suara langkah orang lewat di luar rumah. Hal-hal yang dulu saya anggap biasa, kini terasa seperti penanda bahwa hidup tetap berjalan, bahkan tanpa arah yang jelas.
Saya ingat satu waktu, hari-hari terasa lebih sunyi, tapi justru di dalam kesunyian itu saya merasa lebih dekat dengan diri sendiri. Di situ saya mengerti bahwa ketenangan tidak datang dari tempat yang jauh, tapi dari ruang kecil yang selalu kita bawa di dalam diri. Ruang yang muncul ketika kita memberi jarak pada dunia, dan membiarkan diri kembali mendengar.
Saya menyebut masa itu bukan sebagai masa diam, tapi masa untuk mendengar. Masa ketika dunia luar mulai pelan, dan suara di dalam kepala terdengar lebih jelas. Di situ saya mulai paham bahwa perjalanan tidak selalu berbentuk langkah kaki. Kadang, ia hanya tentang bertahan dengan tenang, di tengah hal-hal yang belum pasti.
Kehidupan di kota membuat kita terbiasa untuk terus bergerak. Segalanya diukur dari seberapa cepat kita menyelesaikan sesuatu. Tapi tidak ada yang pernah mengukur seberapa dalam kita benar-benar hidup. Saya mulai belajar, bahwa tidak semua hal perlu cepat selesai. Ada yang memang harus dijalani dengan pelan agar bisa dimengerti.
Saya pernah merasa bersalah karena tidak produktif. Karena berhenti terlalu lama. Tapi ternyata, berhenti bukan berarti kehilangan arah. Kadang, berhenti justru satu-satunya cara agar kita tidak benar-benar hilang.
Di titik antara pergi dan pulang, saya mulai menemukan ruang yang selama ini saya cari. Bukan tempat baru, tapi rasa tenang yang pernah hilang entah sejak kapan. Rasanya seperti berdiri di tengah jembatan yang menghubungkan dua dunia. Di satu sisi, ada keinginan untuk terus maju. Di sisi lain, ada bagian diri yang masih ingin diam.
Saya tidak lagi memaksa keduanya berdamai. Saya hanya membiarkan keduanya ada. Karena mungkin memang di sanalah saya seharusnya tinggal. Di tengah-tengah. Di tempat yang belum tentu pasti, tapi terasa jujur.
Sekarang saya tahu, pulang tidak selalu berarti kembali ke tempat semula. Kadang, pulang hanya berarti menemukan kembali diri sendiri.
"Bagian dari seri Jembatan Antara Dua Dunia. Tentang perjalanan yang tidak lagi dicari, tapi dijaga agar tetap hidup di dalam diri."
0 Comments