Tidak semua cerita harus megah. Yang sederhana pun bisa tinggal lebih lama di hati

– Aspi Yuwanda

Pertemuan yang Hanya Sekali - Travel Ke Painan

Perjalanan itu terjadi akhir tahun 2011. Saya bersama seorang teman melakukan perjalanan di Sumatera Barat. Dari Padang menuju sebuah kota pesisir yang disebut Painan. Perjalanan darat menempuh waktu sekitar dua jam, melewati jalan berliku di tepi laut, hutan, dan perbukitan. Udara siang itu panas, tapi angin dari jendela yang sedikit terbuka membawa aroma asin laut yang samar-samar bercampur dengan bau aspal dan debu jalanan. Saya duduk di baris tengah, di samping jendela. Teman saya di sebelah tertidur sejak lima belas menit pertama, kepalanya bersandar ke kaca.

Mobil travel berisi enam penumpang. Di bangku depan, seorang bapak-bapak duduk sendirian. Usianya mungkin sekitar enam puluh tahun. Kulitnya sawo matang, dengan keriput halus di sekitar mata yang menandakan ia sering tersenyum. Saya lupa bagaimana percakapan itu dimulai. Seingat saya, ia menoleh ke belakang dan bertanya apakah kami baru pertama kali ke Painan. Saya menjawab ya. Dari situ, obrolan itu mengalir.

Ia bercerita bahwa ia juga akan menuju Painan, menjenguk keluarganya di kampung halaman. Tapi sekarang ia tinggal dan bekerja di Bengkulu. Sudah lebih dari tiga puluh tahun ia di sana. “Saya merantau sejak umur dua puluh,” katanya. “Awalnya cuma mau coba kerja setahun, tapi ternyata hidup punya caranya sendiri.”

Saya tersenyum, lalu bertanya apa pekerjaannya. Ia bilang ia dulu bekerja di pelabuhan, lalu sempat berdagang kecil-kecilan, dan belakangan membantu mengurus toko bahan bangunan milik kerabatnya. “Kalau dihitung, umur saya di rantau sudah lebih lama daripada umur saya di kampung,” katanya sambil tertawa kecil. “Tapi kalau ditanya orang, saya tetap jawab orang Painan.”

Supir travel, yang sejak tadi diam sambil menyetir, ikut menimpali. “Kalau orang Minang memang begitu, Pak. Mau di mana pun tinggalnya, tetap ingat kampung.”
Bapak itu tertawa, lalu menjawab, “Iya, kalau tidak ingat kampung, nanti tidak ada tempat untuk pulang.”
Teman saya yang dari tadi tidur ikut membuka mata, tersenyum kecil, dan ikut menanggapi. “Tapi sekarang banyak juga yang tidak ingin pulang, Pak.”
Bapak itu menoleh sebentar ke arah kami. “Bukan tidak ingin,” katanya. “Mungkin belum siap. Karena pulang itu tidak cuma ke tempat, tapi ke masa lalu.”

Mobil melaju perlahan. Suara mesin bercampur dengan bunyi angin yang masuk lewat celah kaca. Pemandangan di luar berubah dari kota ke perkampungan, dari perkampungan ke jalan menurun yang di kiri kanannya dipenuhi pepohonan kelapa. Kami berbicara tentang banyak hal. Tentang orang Minang yang dikenal suka merantau, tentang bagaimana mereka membawa nama kampung ke mana pun mereka pergi, bahkan sampai soal makanan yang katanya tetap tidak bisa dikalahkan oleh masakan mana pun di luar sana.

“Orang Minang tidak selalu merantau karena uang,” katanya lagi. “Kadang karena ingin tahu seperti apa dunia di luar kampung. Karena kalau terus di rumah, terlalu banyak orang yang mengenal kita. Kadang untuk mengenal diri sendiri, kita harus pergi dulu.”

Kalimat itu membuat saya diam cukup lama. Saya hanya menatap jalan di depan, berusaha mengingat kata-katanya satu per satu. Waktu itu saya belum tahu arah hidup saya akan ke mana. Tapi saya tahu, ucapan itu terasa benar. Ada masa di hidup kita ketika pergi bukan soal tujuan, tapi tentang memberi jarak dari hal-hal yang terlalu kita kenal.

Supir travel kemudian menyalakan radio. Lagu lama Minang terdengar pelan, nyaris tenggelam oleh suara mesin. Ia ikut bicara, bercerita bahwa ia sendiri belum pernah keluar dari Sumatera Barat. “Saya nyaman di sini,” katanya. “Mungkin karena saya belum punya alasan untuk pergi.”
Bapak itu menatap ke depan, lalu tersenyum. “Itu artinya hidupmu sudah cukup tenang.”

Ketika mobil berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan untuk istirahat, kami semua turun. Angin laut langsung terasa di wajah. Di kejauhan terlihat air berkilau memantulkan cahaya matahari. Kami duduk di kursi panjang di depan warung, minum teh manis panas dan makan gorengan. Suasana sederhana, tapi terasa akrab meski baru bertemu.

Bapak itu bercerita sedikit tentang keluarganya. Ia punya tiga anak, semuanya sudah berkeluarga dan tinggal di kota lain. “Kalau pulang ke kampung, rumah saya sepi,” katanya. “Tapi saya tetap pulang, karena di sanalah saya belajar memulai hidup dulu.” Saya bertanya apakah ia pernah terpikir untuk menetap kembali di Painan. Ia menggeleng pelan. “Saya sudah terbiasa hidup di rantau. Kalau pulang, rasanya seperti tamu di rumah sendiri.”

Teman saya menimpali, “Berarti Bapak sudah benar-benar jadi perantau sejati.” Bapak itu tertawa, lalu menjawab pelan, “Entahlah. Kadang saya juga ingin berhenti. Tapi setiap kali saya pikir sudah cukup, selalu ada sesuatu yang membuat saya berangkat lagi.”

Angin sore semakin kuat. Daun-daun kelapa bergoyang perlahan. Ia menatap laut sebentar, lalu berkata dengan nada yang nyaris seperti gumaman, “Kalau lihat laut, saya selalu merasa tenang. Soalnya laut itu seperti rumah yang tidak bisa dimiliki.”

Kalimat itu terasa menggantung lama di udara. Supir travel menatap ke arah yang sama, lalu berkata, “Mungkin karena laut tidak pernah menolak siapa pun yang datang.”
Kami semua diam. Hanya bunyi angin dan ombak yang samar-samar terdengar dari jauh.

Setelah beberapa menit, kami kembali ke mobil. Perjalanan dilanjutkan melewati jalur menurun dengan tikungan tajam. Langit mulai berubah warna, sedikit jingga di antara biru. Di dalam mobil, percakapan menjadi lebih pelan, seperti setiap orang mulai sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Bapak itu duduk tenang. Sesekali ia menatap keluar jendela, lalu menarik napas panjang. Saya tidak tahu apa yang ia pikirkan, tapi saya merasa seolah saya sedang melihat seseorang yang sudah berdamai dengan perjalanannya sendiri.

Menjelang sore, kami tiba di Painan. Kota kecil itu terasa sunyi tapi hangat. Ia turun lebih dulu di dekat pertigaan, menyalami kami satu per satu. “Hati-hati di jalan,” katanya. “Semoga perjalananmu juga menyenangkan.” Saya membalas salamnya, lalu memperhatikan ketika ia berjalan menjauh dengan tas kecil di pundaknya.

Perjalanan itu mungkin hanya dua jam, tapi sampai sekarang saya masih ingat percakapan di dalam mobil itu. Obrolan sederhana yang entah kenapa terasa seperti pelajaran kecil tentang hidup dan perjalanan. Tentang rumah yang bisa berarti banyak hal. Tentang perantauan yang bukan sekadar pergi, tapi cara seseorang mengenali dirinya sendiri.

Dan tentang bagaimana kadang, di antara semua perjalanan yang kita rencanakan, justru yang tidak disengaja meninggalkan kesan paling lama.


"Beberapa orang pulang ke tempat, yang lain pulang ke ingatan. Dan mungkin, keduanya sama-sama penting."

0 Comments