Tidak semua cerita harus megah. Yang sederhana pun bisa tinggal lebih lama di hati

– Aspi Yuwanda

#2 Jembatan Antara Dua Dunia: Tentang Hal-Hal yang Masih Terbawa

Beberapa bulan lalu, saya menulis satu tulisan berjudul Jembatan Antara Dua Dunia: Ada Hal-Hal yang Tidak Bisa Dibawa Kembali.

Tulisan itu saya buat tanpa rencana apa pun. Hanya catatan kecil setelah perjalanan, untuk menenangkan kepala yang masih ramai oleh banyak hal.

Namun setelahnya, saya mulai berpikir untuk melanjutkannya.
Bukan karena tulisan itu banyak dibaca, justru sebaliknya. Yang mendapat perhatian lebih besar adalah dua seri setelahnya, Jam Malam dan Pertemuan yang Hanya Sekali.

Dua seri yang awalnya juga saya tulis hanya untuk diri sendiri, tapi tidak tahu bagaimana, bisa menemukan pembacanya sendiri.

Bagi saya, angka pembaca itu terasa mencengangkan. Bukan karena jumlahnya besar, tapi karena ternyata ada banyak orang yang juga mencari hal yang sama. Ruang untuk berhenti sejenak, berpikir, dan jujur terhadap dirinya sendiri.

Dari situ, saya sadar kalau mungkin memang ada benang merah yang perlu saya lanjutkan.
Tentang perjalanan, tentang diam, tentang hal-hal yang terus terbawa meski kita sudah pulang.

Tulisan ini adalah bagian kedua dari Jembatan Antara Dua Dunia. Masih dengan arah yang sama, tapi kali ini saya ingin menulis tentang apa saja yang tetap tinggal di dalam diri, bahkan setelah perjalanan selesai.

Tulisan ini adalah bagian kedua dari Jembatan Antara Dua Dunia. Masih dengan arah yang sama, tapi kali ini saya ingin menulis tentang apa saja yang tetap tinggal di dalam diri, bahkan setelah perjalanan selesai.

Ada hal-hal yang tetap terbawa tanpa saya sadari. Bukan barang, bukan foto, bukan catatan perjalanan. Tapi perasaan tenang yang datang setiap kali langkah terasa pelan. Perasaan yang tidak lagi saya temui di tengah kota, di antara layar, notifikasi, dan percakapan yang selalu tergesa.

Saya mulai sadar bahwa setiap perjalanan meninggalkan sesuatu. Kadang bukan pemandangan, tapi cara memandang. Bukan tempat, tapi cara berhenti. Sejak itu, saya tidak lagi melihat perjalanan sebagai pelarian, tapi sebagai cara untuk mengingat kembali apa yang penting.

Ada kebiasaan yang ikut terbawa juga. Saya lebih sering diam, lebih lambat merespons, lebih memilih mendengar sebelum menjawab. Bukan karena kehilangan semangat, tapi karena saya belajar bahwa tidak semua hal perlu dijawab saat itu juga. Beberapa hal cukup disadari, lalu dilepas pelan-pelan.

Yang juga ikut terbawa adalah kesadaran bahwa hidup di kota dan menepi sejenak di alam tidak pernah benar-benar bertentangan. Yang berbeda hanyalah ritmenya. Dan tugas saya adalah menjaga agar keduanya bisa tetap hidup di dalam diri. Biar tidak selalu ingin pergi, tapi juga tidak kehilangan alasan untuk kembali.

Kadang, di antara jalanan yang macet, atau di tengah meeting yang panjang, saya mendadak teringat suara angin di ketinggian. Teringat langit pagi yang jernih setelah kabut turun semalaman. Bukan karena rindu tempatnya, tapi karena di sana saya pernah merasa berbeda. Dan rasa itu, tidak tahu bagaimana, masih ikut tinggal.

Mungkin memang begitu seharusnya perjalanan bekerja. Ia tidak selesai ketika langkah berhenti, tapi terus berjalan di dalam kepala. Menemani dari kejauhan, mengingatkan pelan, bahwa kita pernah benar-benar hadir di satu waktu yang tenang.

Ada juga hal-hal yang ikut terbawa tapi tidak seindah itu. Seperti rasa canggung ketika kembali ke rutinitas lama, atau kesadaran bahwa beberapa orang sudah berubah tanpa saya sadari. Kadang, hal-hal itu muncul di tengah percakapan biasa, ketika saya sadar saya tidak lagi melihat sesuatu dengan cara yang sama. Seolah jarak yang saya tempuh di perjalanan ikut mengubah cara saya memahami orang-orang di sekitar.

Saya juga jadi lebih peka pada hal-hal kecil. Pada cahaya sore, pada aroma hujan yang samar di jalanan, pada keheningan di antara dua kalimat. Dulu saya tidak memperhatikannya. Sekarang, justru hal-hal seperti itu yang terasa paling hidup. Mungkin karena setelah berjalan cukup jauh, saya belajar bahwa kedamaian tidak selalu ada di tempat yang jauh. Kadang ia hanya muncul ketika kita benar-benar berhenti mempercepat segalanya.

Ada bagian lain yang masih terbawa, yaitu rasa ingin menjaga jarak dari hal-hal yang berlebihan. Saya mulai menolak untuk terus terhubung sepanjang waktu. Tidak semua pesan harus dibalas cepat, tidak semua kabar harus diketahui hari itu juga. Ada nilai yang hilang kalau kita terlalu ingin selalu tahu. Saya memilih untuk memberi ruang pada diri sendiri, dan membiarkan beberapa hal tetap tidak pasti.

Ketika saya kembali menulis seri ini, saya membaca ulang catatan lama saya. Ada kalimat yang saya tulis di akhir bagian pertama: “Saya tinggal di jembatan itu, antara yang dulu dan yang sekarang.” Saya pikir waktu akan membuat saya lebih mudah menyeberang. Tapi ternyata tidak. Mungkin memang di sanalah saya seharusnya tinggal. Di tengah-tengah. Di ruang yang tidak benar-benar tenang, tapi juga tidak sekeras dulu.

Saya tahu, selama masih ada hal-hal kecil yang ikut terbawa, maka perjalanan ini belum benar-benar berakhir. Mungkin nanti, pada waktu yang tidak direncanakan, saya akan menulis bagian ketiganya. Bukan untuk menyelesaikan, tapi untuk mengingat.

Dan mungkin memang begitu caranya hidup bekerja. Bukan tentang sampai, tapi tentang bagaimana kita membawa sebagian dari perjalanan ke setiap tempat yang kita datangi. Kadang berupa tenang, kadang berupa ingatan, kadang hanya kesadaran sederhana bahwa di tengah semua yang berubah, masih ada hal-hal kecil yang tetap kita bawa tanpa sadar.


"Bagian dari seri Jembatan Antara Dua Dunia. Tentang perjalanan yang tidak lagi dicari, tapi dijaga agar tetap hidup di dalam diri."

0 Comments