Perjalanan ini bukan sekadar liburan. Ini tentang mengantar seseorang kembali ke kota yang pernah jadi rumahnya, menyusuri jejak-jejak yang tertinggal di antara sudut kampus, gang kos-kosan, dan aroma khas angkringan malam. Tapi kali ini, ia tak sendiri. Saya, dan anak kami, menjadi saksi dari perjalanan pulang yang berbeda.
Malam itu, 1 April 2025 dua hari setelah Hari Raya Idulfitri. Tahun ini, saya tidak pulang kampung. Bukan karena tidak ingin, tapi karena memang sudah jadi kesepakatan kami sebelumnya. Jika saya sudah dua kali lebaran berturut-turut pulang ke kampung halaman saya di Riau, maka lebaran selanjutnya adalah jatahnya untuk berlebaran bersama keluarganya di Jakarta.
Pagi lebaran kami lewati dengan sederhana: salat Ied di masjid dekat rumah, makan lontong sayur bersama, dan bersilaturahmi ke beberapa rumah saudara dari pihak istri. Meski terasa berbeda, suasana tetap hangat. Ada tawa, ada peluk, dan ada ketenangan yang mungkin hanya hadir ketika kita berdamai dengan pilihan yang saling adil.
Kami berangkat dari Stasiun Pasar Senen. Kereta api Jayabaya dijadwalkan berangkat pukul 22.15 WIB. Di peron, anak kami yang masih kecil tampak antusias, meski matanya sudah mulai berat. Ini kali kedua ia naik kereta jarak jauh setelah kami ke Yogyakarta pada September tahun lalu.
Kami tiba di Malang keesokan paginya, sekitar pukul 10.45 WIB. Udara kota ini masih sejuk, khas kota-kota dataran tinggi Jawa Timur. Tak banyak yang berubah dari dulu, kata istriku. Tapi saya bisa melihat matanya berkaca-kaca saat melintasi jalanan yang baginya tak asing di sanalah, sekitar tahun 2013 hingga 2017, ia pernah menjadi mahasiswi, hidup jauh dari rumah, belajar berdiri sendiri.
Kami menginap di Everyday Smart Hotel Malang, sebuah penginapan yang sederhana tapi nyaman. Lokasinya cukup strategis, tak jauh dari pusat kota. Dari jendela kamar, kami bisa melihat gunung samar-samar di kejauhan.
Hari-hari berikutnya kami habiskan dengan mengunjungi beberapa tempat wisata. Tentu saja, Jatim Park menjadi destinasi utama untuk anak kami. Ia tertawa lepas saat bermain di wahana edukatif, berlari kecil sambil menunjuk-nunjuk dinosaurus buatan yang tampak begitu nyata di matanya. Saya dan istri hanya saling pandang dan tersenyum. Mungkin begini rasanya menjadi orang tua yang melihat dunia melalui mata anak.
Kami juga menyempatkan diri ke Gunung Bromo. Dini hari, kami berangkat naik jeep bersama rombongan kecil dari hotel. Suasana dingin dan kabut tebal menyelimuti perjalanan. Di puncak penanjakan, kami berdiri bertiga menanti fajar. Tak banyak kata, hanya detik-detik yang hening. Tapi di sana, di tengah laut pasir dan langit jingga yang perlahan terbuka, saya merasa bahwa hidup ini, meski penuh liku, selalu menyediakan ruang untuk pulang, untuk mengenang, dan untuk membagi ulang cerita-cerita lama kepada mereka yang kita cintai.
Di sela perjalanan, istriku sering menunjuk beberapa tempat: “Dulu aku suka makan di situ,” katanya, atau, “Kosanku ada di gang itu.” Saya tahu, ia sedang merangkum ulang potongan-potongan dirinya yang dulu, mencoba berdamai dengan waktu, dan memperkenalkan masa lalunya pada saya dan anak kami. Dan bagi saya, itu jauh lebih berharga dari sekadar liburan.
Menjelang pulang, kami sempat dibuat bingung. Tiket kereta langsung dari Malang ke Jakarta sudah habis semua. Saya memang sengaja tak membeli tiket pulang ke Jakarta sejak awal, berharap dapat tiket on the spot. Karenanya, kami ke Surabaya dulu, naik kereta siang harinya dari Stasiun Malang. Perjalanan sekitar dua jam itu justru menjadi bonus kecil jalan-jalan tambahan.
Di Surabaya, kami menginap semalam sembari menunggu kereta keesokan harinya menuju Jakarta. Kota transit ini justru memberi kesan tersendiri: hiruk pikuk kota besar yang kontras dengan tenangnya Malang, tapi tetap hangat.
Perjalanan ini mungkin hanya berlangsung lima hari, tapi rasanya seperti membuka kembali lembaran lama yang tak sempat selesai dibaca. Malang bukan hanya kota dingin yang ramah, tapi juga kota kenangan yang hangat tempat seseorang pernah belajar bertumbuh, dan kini kembali dengan versi dirinya yang baru: seorang istri, dan seorang ibu. Dan saya, hanya ingin jadi saksi yang diam-diam bersyukur.
“Saya tak pernah jadi bagian dari masa lalunya, tapi saya bersyukur bisa menemaninya mengenang.”
Jakarta, 26 April 2025
0 Comentarios