Hari ini, Enam Bulan sudah usianya. Sejak ia lahir ke dunia, hidup saya dan istri berubah dengan cara yang tidak bisa kami bayangkan sebelumnya. Tidak dalam satu kejadian besar, tapi dalam hal-hal kecil yang datang bertubi-tubi, tiap hari, tiap malam. Mulai dari suara tangis yang tak punya jam kerja, tumpukan popok yang seperti tak pernah habis, hingga momen-momen magis seperti genggaman tangan kecilnya saat tertidur.
Saya masih ingat betul, hari ketika ia lahir. 8 April 2022. Langit Jakarta sedikit mendung saat itu, dan suasana rumah sakit terasa jauh lebih tenang dari biasanya. Tapi dalam hati saya, semuanya justru terasa ramai, penuh kecemasan, harapan, dan kegembiraan yang sulit saya jelaskan. Ketika suara tangis pertamanya terdengar, rasanya seperti dunia berhenti sejenak. Ada yang berubah. Ada yang datang. Ada yang harus saya jaga mulai sekarang.
Hari-hari setelah kelahiran itu tidak mudah. Kami sama-sama masih belajar. Istri saya sedang menyusui, belum pulih betul secara fisik, dan saya pun masih kikuk menggendong atau sekadar menenangkan bayi. Malam-malam kami jadi penuh oleh suara tangis, suara air panas, suara botol susu yang dicek berkali-kali. Tidur 2–3 jam menjadi normal baru. Tapi anehnya, di antara kelelahan itu, kami justru merasa hidup lebih utuh. Ada lelah, tapi ada juga rasa cukup yang perlahan tumbuh.
Lalu waktu berjalan, seperti biasa: tanpa suara. Tahu-tahu, dia sudah bisa tengkurap. Lalu belajar duduk. Menoleh ke arah suara. Merespons wajah kami dengan senyum kecil. Dan kini, enam bulan kemudian, dia sudah bisa tertawa lepas saat saya pura-pura jatuh atau bermain cilukba.
Hal-hal sederhana yang dulu tidak saya perhatikan, kini menjadi hal yang saya tunggu-tunggu. Pulang kerja rasanya berbeda. Ada makhluk kecil yang akan menatap saya dari balik pintu, menendang-nendang ke udara, seolah ingin bilang, “Ayo main!” Tangisnya pun kini terasa lebih akrab. Bukan sekadar alarm lapar, tapi kadang jadi isyarat bahwa dia hanya ingin ditemani.
Yang paling terasa adalah perubahan dalam diri saya sendiri. Saya jadi lebih sabar, lebih peka, dan sering kali, lebih hening. Saya tidak lagi terburu-buru menilai hari dari capaian kerja atau to-do list. Kadang, cukup dengan bisa melihat anak saya tertidur pulas, itu saja sudah membuat saya merasa berhasil melewati hari.
Dan, mungkin inilah yang orang tua lain maksud saat bilang: "Nanti kamu akan paham sendiri saat sudah punya anak." Dulu saya hanya mengangguk. Sekarang saya mengerti. Betul bahwa punya anak itu melelahkan, memusingkan, penuh tanggung jawab. Tapi di balik itu, ia juga memberi makna baru tentang pulang, tentang cinta, tentang jeda, dan tentang pengorbanan yang tak perlu diumumkan ke mana-mana.
Menjadi orang tua ternyata sangat sulit. Tidak cukup hanya dengan niat baik, atau janji-janji manis saat bayi masih di kandungan. Tidak cukup dengan membaca buku parenting atau menonton video edukasi. Karena kenyataannya, banyak hal yang hanya bisa benar-benar dipahami saat kita mengalaminya sendiri dengan tangan yang gemetar saat pertama kali mengganti popok, dengan mata yang berat menahan kantuk pukul tiga dini hari, atau dengan hati yang penuh rasa bersalah saat suara tangisnya tak juga bisa diredakan.
Saya belajar bahwa mengasuh anak bukan hanya tentang memberi makan, mengganti popok, atau menidurkannya. Tapi juga tentang membentuk dunia kecil yang aman, tempat ia bisa tumbuh dengan tenang. Tentang memastikan bahwa di dunia yang keras ini, ada satu ruang yang selalu menyambutnya tanpa syarat: rumah.
Dan rumah itu, perlahan-lahan, kami bangun bukan dari tembok atau perabot. Tapi dari kebiasaan saling menenangkan, dari usaha kecil untuk hadir di momen-momen remeh, dari pelukan di tengah malam, dan dari cerita sebelum tidur yang belum tentu dimengerti, tapi ia dengarkan dengan mata berbinar.
Menjadi orang tua membuat saya lebih sering diam. Bukan karena tidak punya kata-kata, tapi karena saya mulai sadar: ada hal-hal yang hanya bisa dirasakan, bukan dijelaskan. Dan mungkin, inilah yang disebut tumbuh bersama—bukan hanya anak yang bertumbuh, tapi juga saya yang perlahan belajar menjadi manusia yang lebih utuh.
Kalau dulu saya menulis untuk mencari makna, sekarang saya menulis agar tidak lupa: bahwa dalam kesulitan ini pun, ada kebahagiaan yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Sebuah rasa cukup yang datang dari melihat anak saya tidur lelap, meski hari saya sebelumnya berantakan.
Menjadi orang tua memang sangat sulit. Tapi di balik kesulitannya, saya menemukan versi diri saya yang tidak pernah saya kenal sebelumnya, lebih sabar, lebih hangat, dan lebih mengerti bahwa cinta sejati sering kali hadir dalam bentuk yang sangat sederhana.
Dan mungkin, itu sudah cukup.
0 Comentarios