Aek Martua. Nama yang mungkin tak sepopuler Toba atau Harau, tapi cukup membekas di kepala saya. Bukan hanya karena medannya yang melelahkan, tapi karena saat itu, saya menyadari bahwa Riau tidak cuma tentang panas, jalan berdebu, dan sawit. Di pelosok sana, di hutan yang masih hijau, ada air yang jatuh dari ketinggian, membentuk oase kecil di tengah bukit.
Malam Itu Dimulai dari Obrolan Ringan
Seperti kebanyakan perjalanan spontan, rencana ini juga lahir dari percakapan malam yang biasa-biasa saja. Niatnya cuma mau “jalan-jalan”, tapi berakhir dengan perjalanan jauh ke arah utara Riau, ke sebuah tempat bernama Dusun Huta Padang, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Rokan Hulu. Tujuannya? Air terjun dengan nama yang terdengar magis: Aek Martua, yang dalam bahasa Mandailing berarti Air Bertuah.
Tiga Tingkatan, Tiga Cerita
Aek Martua bukan hanya satu air terjun. Ia punya tiga tingkat:
-
Tingkatan pertama, menawarkan hamparan batu lebar dan air jernih yang menggoda kaki siapa pun untuk menyentuhnya.
-
Tingkatan kedua, punya kolam alami sepanjang 250 meter. Tempat ideal untuk berenang atau sekadar membiarkan tubuh terendam dan lupa waktu.
-
Tingkatan ketiga, berdiri tinggi, sekitar 40 meter. Tapi tidak semua orang bisa sampai ke sana. Medannya curam, dan hanya mereka yang cukup kuat serta paham panjat tebing yang bisa menaklukkannya.
Saya waktu itu hanya sampai tingkatan kedua. Dan itu pun sudah cukup melelahkan.
Menuju Hulu: 130 Kilometer Menuju Dingin
Perjalanan dimulai dari Pekanbaru. Dari kota, kami menyusuri jalan lintas Sumatera sejauh 130 kilometer ke arah Pasir Pengaraian. Perjalanan cukup panjang, tapi tenang—bus dan travel banyak tersedia, walau kadang harus ekstra sabar dengan jam keberangkatan yang suka molor.
Dari Pasir Pengaraian, kami melanjutkan perjalanan ke arah Simpang Tangun, lalu masuk ke kawasan perkebunan warga sejauh 6,5 kilometer. Setelah itu, trekking dimulai—melewati jembatan gantung, jalan sempit di antara ladang, lalu masuk ke kawasan hutan lindung. Di sinilah keheningan mulai terasa. Jalanan menanjak, curam, dan licin. Kadang harus berpegangan pada tali dari rotan atau kayu yang disediakan warga.
Tentang Uang dan Kesadaran Wisata
Di beberapa titik, warga lokal meminta bayaran kecil—Rp2.000 atau Rp5.000—untuk melewati tangga buatan mereka. Awalnya kami berpikir itu bentuk kontribusi, tapi lama-lama terasa seperti pungutan liar. Tiket resmi hanya Rp13.000, tapi total biaya masuk bisa membengkak hingga Rp50.000 karena banyaknya "tambahan" dari warga.
Saya tak menyalahkan mereka sepenuhnya. Mungkin ini cara mereka mendapat penghasilan tambahan. Tapi di sisi lain, hal-hal seperti ini membuat pengalaman wisata menjadi kurang nyaman. Sayang, karena sebenarnya kawasan ini punya potensi besar jika dikelola dengan baik.
Diam, Dingin, dan Deras
Ketika akhirnya tiba di air terjun, rasa lelah langsung menguap. Deru air yang jatuh dari ketinggian, percik yang membasahi wajah, dan udara dingin yang menusuk kulit, semuanya seperti menyambut dan berkata: “Selamat datang di utara.”
Kami duduk cukup lama di bebatuan, hanya diam. Tidak banyak obrolan. Kadang, tempat seperti ini tak butuh cerita. Ia hanya butuh dihayati. Dan Aek Martua, dengan segala kekurangannya, tetap punya daya yang menenangkan.
Pulang dengan Bekas yang Tidak Hilang
Perjalanan pulang seperti biasa: lebih cepat tapi lebih sepi. Tubuh lelah, pikiran kosong, tapi hati terisi. Waktu itu saya belum tahu apakah akan kembali ke sana lagi. Tapi Aek Martua sudah cukup memberikan satu pelajaran: bahwa untuk merasakan dingin dan damai, kita tak harus pergi jauh ke luar pulau. Riau pun bisa memberi, kalau kita mau sedikit melangkah ke dalam.
0 Comentarios