Bulan depan, genap sepuluh tahun sejak pertama kali saya mendaki gunung. Kerinci menjadi langkah awal yang tidak direncanakan secara matang, tapi justru meninggalkan kesan yang sulit dihapus.
Perjalanan dimulai dari Pekanbaru menuju Kersik Tuo, dengan waktu tempuh sekitar empat belas jam. Jalanan panjang, sebagian terang, sebagian gelap. Suasananya sunyi, tapi cukup memberi waktu untuk menenangkan pikiran sebelum pendakian.
Saya masih ingat suasana saat itu. Udara sejuk di sekitar basecamp, suara kantong plastik dari dalam tas, dan langkah kaki yang menyentuh jalur tanah yang belum familiar. Pendakian berjalan perlahan, tidak ada target muluk. Kami hanya berusaha naik dengan ritme masing-masing, berhenti saat perlu, dan terus melanjutkan ketika tenaga cukup.
Kabut tebal menyambut kami di puncak. Sehingga tidak banyak yang bisa dilihat. Tapi saya tidak merasa rugi. Gunung tidak pernah menjanjikan cuaca baik atau pemandangan indah. Ia hanya membuka ruang, dan sisanya kembali ke kita; apa yang kita cari dan apa yang ingin kita bawa pulang.
Tidak banyak dokumentasi dari pendakian itu. Beberapa foto ada, tapi tidak mewakili keseluruhan perjalanan. Waktu itu tidak ada keinginan besar untuk merekam segala hal. Rasanya cukup berjalan, melihat, dan menyimpan apa yang bisa diingat. Sekarang saya mengerti, tidak semua hal perlu disimpan dalam bentuk gambar. Beberapa cukup disimpan sebagai pengalaman.
Sekarang, naik gunung sering dibarengi dengan urusan konten. Foto estetik jadi bagian yang tak terpisahkan. Saya paham itu bagian dari zaman, tapi waktu itu saya nggak terlalu memikrikan soal itu. Dan ternyata, justru yang tidak difoto itu yang lebih lama tinggal.
Sejak pendakian pertama saat itu, saya tidak pernah lagi naik gunung. Bukan karena kehilangan minat, tapi karena alasan-alasan yang memang tidak terselesaikan. Ada hal-hal dalam hidup yang membuat ruang untuk hal lain menjadi sangat terbatas. Waktu berjalan, dan tanpa terasa delapan tahun berlalu begitu saja. Hingga akhirnya, pada 2023, saya kembali menginjakkan kaki di gunung. Rasanya asing, tapi juga familiar. Ada bagian dari diri saya yang tetap ingat bagaimana rasanya berdiri di jalur yang sepi dan dingin.
Dari semua perjalanan naik gunung setelahnya, Kerinci tetap yang paling lekat. Bukan karena paling tinggi, tapi karena pertama. Dan mungkin karena di sanalah, saya mulai pelan-pelan belajar berjalan dengan tenang. Belajar diam. Belajar merasa cukup.
Saat ini, ketika saya melihat kembali ke belakang, rasanya pendakian itu bukan sekadar naik gunung. Tapi cara diam-diam untuk mengenal diri sendiri, dalam versi yang belum banyak tahu apa-apa.
Perjalanan itu mungkin tidak sempurna. Tapi justru karena itu, ia terasa nyata.
Saya ingin kembali ke Kerinci. Setidaknya sekali lagi. Melihat dari foto-foto di media sosial, banyak yang berubah. Jalurnya tampak lebih terbuka dan tertata. Tanah vulkanik yang dulu saya injak berwarna hitam, sekarang terlihat lebih kemerahan. Wajar kalau jalur berubah, seiring waktu dan banyaknya pendaki. Tapi ada bagian dari diri saya yang penasaran, bagaimana rasanya berjalan lagi di tempat yang dulu begitu asing, tapi sekarang terasa akrab. Mungkin saya hanya ingin memastikan, bahwa hal-hal yang pernah penting dulu, masih bisa saya temui hari ini.
"Sepuluh tahun berlalu, tapi satu perjalanan tetap tinggal. Yang pertama, tidak pernah benar-benar pergi"
Jakarta, 14 Juli 2025
Aspi Yuwanda
0 Comments