Setelah hampir dua tahun berlalu sejak terakhir kali menapaki jalur klasik Gunung Gede, akhirnya lembar berikutnya dari perjalanan ini terbuka juga: Pangrango, sang kembaran yang selama ini seolah berada di balik bayang. Bukan tanpa alasan saya menundanya begitu lama. Mungkin karena saat terakhir ke Gede, meski menyenangkan saya belum merasa “selesai” dengan rimbanya. Atau mungkin karena Pangrango memang sedang menunggu waktu yang tepat untuk disinggahi.
Dan kali ini, waktu itu datang dalam bentuk yang berbeda: tektok, pulang-pergi tanpa bermalam. Pendakian ini saya lakukan pada hari Sabtu, 28 Juni 2025 lalu,
Oh ya, Ini adalah pendakian yang sangat dadakan. Tidak ada rencana matang sebelumnya, tidak juga persiapan khusus. Tawaran ikut trip datang hanya beberapa hari sebelumnya, dan saya langsung mengiyakan. Barangkali karena momentum dan semesta sedang membuka jalan, atau mungkin karena memang sudah waktunya.
Jumat Malam: Menuju Basecamp
Perjalanan dimulai dari Jakarta pada Jumat malam, pukul 11. Rombongan kami terdiri dari sembilan peserta dan dua orang kru. Saya tidak mengenal siapa pun sebelumnya, tapi seperti biasa, langkah-langkah di jalur akan memperkenalkan kami satu per satu lewat napas, jeda, dan diam.
Kami tiba di basecamp Mang Yana Kolot, Cibodas, sekitar pukul 01.30 dini hari. Suasana basecamp cuku ramai, namun hangat. Kami rebahan sebentar untuk beristirahat, lalu bersiap: sepatu, trekking pole, headlamp, logistik ringan, dan tentu saja air. Dalam pendakian tektok, semua harus serba cukup dan efisien.
Perjalanan dari basecamp diawali dengan jalur datar dan teduh, hingga akhirnya sampai di Telaga Biru, danau kecil berwarna kehijauan yang biasanya sunyi. Setelah itu, jalur mulai sedikit berlumpur di area Rawa Gayonggong, sebelum masuk ke Pos Panyancangan Baru dan Lama. Di sini, udara mulai dingin dan kabut pelan-pelan turun.
Tak lama, kami tiba di Air Panas, sebuah jalur berisi aliran geotermal yang mengeluarkan uap dari sela bebatuan. Aroma belerang dan pijakan licin di jembatan besinya jadi tantangan tersendiri. Lanjut ke atas, jalur mulai didominasi akar, batu, dan tanjakan panjang menuju Batu Kukus dan Kandang Batu. Di titik ini, banyak pendaki biasanya mulai menyesuaikan ritme.
Hingga akhirnya kami tiba di Kandang Badak, sebuah persimpangan penting: ke kiri menuju Gunung Gede, ke kanan ke Gunung Pangrango. Jalurnya langsung berubah. Dari lebar menjadi sempit, dari ramai menjadi sunyi. Trek menuju puncak Pangrango sepanjang ±3 km berisi akar pohon, vegetasi lumut, dan kabut yang menggantung.
Di atasnya, ada satu dataran lagi: Lembah Mandalawangi. Letaknya sedikit menurun dari puncak utama, tapi keberadaannya seperti ruang rahasia. Padang rumput edelweiss, udara dingin yang bersih, dan sunyi yang benar-benar sunyi. Tempat itu bukan untuk ramai-ramai. Ia hanya menyambut yang datang dengan tenang.
Lembah ini juga dikenal sebagai tempat peristirahatan simbolik Soe Hok Gie, seorang aktivis dan pecinta alam yang abunya ditaburkan di sana setelah kremasi. Banyak pendaki datang ke Mandalawangi bukan sekadar untuk menikmati pemandangan, tapi juga untuk mengenang semangat dan nilai-nilai hidup yang ditinggalkannya.
Gunung Pangrango via Cibodas adalah salah satu jalur pendakian klasik di Taman Nasional Gede Pangrango. Meski kerap berada di bayang-bayang Gunung Gede yang lebih populer, jalur menuju Pangrango justru menyimpan kesunyian, vegetasi lebat, dan cerita-cerita yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang benar-benar berjalan sampai ke ujungnya. Tidak hanya menantang secara fisik—dengan total jarak puluhan kilometer jika dilakukan secara tektok—jalur ini juga menyuguhkan dimensi lain dari pendakian: soal ketahanan, kesabaran, dan pertemuan dengan sisi terdalam dari diri sendiri.
03.45 WIB: Pendakian Dimulai
Langkah pertama saya ayunkan dari basecamp pukul 03.45 pagi. Langit masih gelap, suhu menusuk, namun semangat dari rombongan cukup hangat untuk mengusir kantuk. Tanpa direncanakan, saya berada di barisan depan sejak awal.
Jalur Cibodas, sebagaimana adanya, tetap menjadi rute yang penuh cerita—dan penuh variasi. Di awal, jalur masih ramah: datar, lebar, dan dinaungi rimbun pepohonan. Telaga Biru kami lewati dalam senyap, hanya ditemani suara langkah dan gemerisik daun. Setelahnya, tanah mulai sedikit becek saat memasuki Rawa Gayonggong. Jalur di sini kadang licin, tapi masih mudah dilalui.
Selepas Pos Panyancangan Lama dan Baru, medan mulai berubah. Tanahnya makin menanjak, banyak akar dan batu-batu besar yang harus dilompati. Jalan mulai terasa "gunung" dalam arti yang sesungguhnya.
Air Panas adalah titik yang tak mungkin dilupakan. Selain karena uap panasnya yang naik dari sela-sela batu dan aroma belerang yang khas, tempat ini juga punya warung kecil. Di sisi kanan jalur, berdiri sebuah shelter beratap biru yang sederhana, tapi hangat. Warung ini menjual teh manis, kopi, dan mi rebus. Di belakangnya ada toilet darurat yang bisa digunakan pendaki. Saya tidak berhenti lama, tapi sekilas melihat pendaki lain yang duduk menyeduh kopi, dengan jaket yang mulai basah oleh embun pagi. Suasana di situ seperti jeda dalam perjalanan yang panjang.
Setelah Air Panas, jalur berubah drastis. Tanjakan-tanjakan makin panjang, dan di beberapa titik, hampir tidak ada jalur datar sama sekali. Di Batu Kukus dan Kandang Batu, saya mulai melambat. Trek di sini penuh batu, akar, dan ranting patah. Kadang harus berpegangan pada batang pohon untuk tetap stabil. Nafas harus dijaga, langkah mesti dipastikan mantap.
Sekitar pukul 09.00 pagi, saya sampai di Kandang Badak. Shelter besar menyambut kami dengan atap seng yang cukup kokoh. Di sisi kirinya, berdiri sebuah warung sederhana.
Tak lama, saya juga tahu bahwa di belakang shelter ada toilet yang cukup bersih untuk ukuran gunung. Beberapa pendaki memanfaatkannya untuk cuci muka atau sekadar menenangkan perut.
Di titik ini, suasana berubah jadi lebih tenang. Tak ada hiruk pikuk seperti di jalur Gede. Hanya kabut, suara daun, dan orang-orang yang sejenak melupakan dunia luar. Rombongan saya masih menyusul di belakang, jadi saya duduk diam agak lama, memandang ke jalur kanan yang menanjak—menuju Pangrango. Jalur itu tampak sunyi. Sempit. Tapi entah kenapa, justru itu yang menarik.
Menuju Puncak: Bergeser ke Belakang
Sekitar pukul 10.00, kami mulai bergerak dari Kandang Badak menuju Puncak Pangrango. Jalur ini sepanjang ±3 km, dan dari sinilah pendakian terasa benar-benar berbeda. Kali ini saya memilih berjalan di barisan paling belakang, menjadi semacam sweeper tak resmi. Kami berempat: saya, seorang kru, dan dua peserta lain yang ritmenya melambat. Salah satunya tampak mulai kelelahan. Tapi ia tetap ingin lanjut, dan itu sudah cukup alasan bagi saya untuk tetap di sini.
Berbeda dari jalur sebelumnya yang ramai dan terbuka, trek ke Pangrango mulai menyempit. Tanah merahnya lembap, licin, dan beberapa bagian dipenuhi akar yang menjalar seperti simpul rumit di tengah rimba. Beberapa tikungan menanjak hanya bisa dilalui satu orang, membuat kami harus menunggu satu sama lain. Di kiri-kanan, batang pohon tumbang bersandar begitu saja, menciptakan lorong sempit yang harus dilewati dengan cara menunduk atau melangkah hati-hati.
Langkah kami lambat, tapi stabil. Tidak tergesa. Mungkin karena kelelahan, mungkin juga karena tidak ada yang ingin terlalu cepat sampai. Di jalur ini, ritme bukan soal siapa yang kuat, tapi siapa yang bisa bertahan.
Hingga akhirnya kami sampai di satu zona yang berbeda: hutan lumut. Suasananya langsung berubah. Seolah-olah baru saja melangkah masuk ke dunia yang lain. Semua batang pohon tertutup lumut tebal, sebagian menjuntai dari cabang-cabang, menciptakan kesan liar tapi magis. Vegetasi di sini lebih rapat, tanahnya basah dan dingin. Cahaya matahari nyaris tak tembus, hanya bias samar yang membuat hijau lumut tampak berpendar halus.
Kami berhenti cukup lama di titik ini. Bukan karena tak sanggup lanjut, tapi karena ingin memberi jeda. Tak ada yang bicara banyak. Kami hanya saling pandang, saling lempar senyum, dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Saya berdiri agak ke pinggir, bersandar di batang pohon yang terasa basah di punggung. Saya menyalakan kamera sebentar, mengambil satu-dua gambar. Tapi kemudian saya masukkan lagi. Tak ada foto yang bisa benar-benar menangkap atmosfer tempat seperti ini.
Di hutan lumut Pangrango ini, waktu seperti berjalan lebih lambat. Bahkan suara pun berubah—lebih pelan, lebih dalam. Seolah-olah kita dipersilakan lewat, tapi diminta untuk tidak mengganggu. Ini bukan tempat untuk berisik atau terburu-buru. Ini tempat untuk mendengar napas sendiri, dan mungkin juga mendengar hal-hal yang tak terlihat.
Dan di titik inilah saya menyadari satu hal: jalur ke puncak Pangrango bukan hanya soal fisik. Bukan hanya tentang tanjakan yang tak habis-habis atau kaki yang mulai berat. Tapi juga tentang bagaimana kita diajak berjalan ke dalam—menyusuri sisi-sisi diri yang biasanya tertutup oleh kesibukan.
Di Gunung Pangrango ini memang berbeda dengan gunung-gunung lain yang kadang memberi kita "bonus" sinyal telepon di beberapa titik. Sepanjang perjalanan, hampir tak ada koneksi sama sekali. Namun di satu titik, di tengah perjalanan menuju puncak, ponsel saya tiba-tiba menangkap sinyal. Tidak kuat, tapi cukup untuk satu atau dua bar. Saya berhenti sebentar, menarik napas, lalu membuka pesan. Saat itu juga saya kirim SMS ke istri: memberi tahu bahwa saya sedang dalam perjalanan ke puncak, dan kemungkinan besar akan sampai kembali ke basecamp malam hari. Bukan untuk drama, bukan pula agar khawatir—saya hanya ingin rumah tahu bahwa saya baik-baik saja.
Setelah melewati hutan lumut, kami lanjut berjalan. Trek makin menanjak, makin sempit, dan beberapa bagian benar-benar menguras tenaga. Tapi kami tetap melangkah. Perlahan tapi pasti. Dan sekitar pukul 14.00, akhirnya kami sampai di Puncak Pangrango, 3.019 mdpl.
Tidak ada pemandangan spektakuler, tidak ada langit biru atau hamparan awan seperti di foto-foto. Tapi justru di situlah letak kepuasannya. Di balik kelelahan, ada rasa lega. Di balik peluh, ada kemenangan yang tidak bisa diukur dengan ketinggian. Karena dalam pendakian ini, bukan hanya tubuh yang naik, tapi juga pemahaman—tentang diri sendiri, tentang orang lain, dan tentang gunung yang tak pernah sama bagi setiap orang yang mendakinya.
Total waktu :
Basecamp - Rawa Panyangcangan : : 2 Jam
Rawa Panyangcangan - Air Panas : 2 Jam
Air Panas - Kandang Badak : 1 Jam 15 Menit
Kandang Badak - Puncak Pangarango : 4 Jam
Puncak Pangrango - Lembah Mandalawangi : 10 Menit
Total : 9 Jam 25 Menit (Estimasi)
Estimasi tersebut dengan kondisi tidak bawa banyak logistik dan juga tidak membawa perlengkapan camp, seperti halnya pendakian saya sebelumnya.
Saya ikut rombongan pertama untuk turun, waktu saya di puncak sangat singkat. Meski demikian, saya masih sempat berjalan sebentar ke arah Lembah Mandalawangi, menikmati sisa kabut yang menari di antara padang rumput, dan mengambil beberapa dokumentasi seperlunya.
Turun: Langkah Singkat di Puncak dan Hujan di Tengah Rimba
Pukul 14.45, kami mulai bergerak turun dari puncak menuju Kandang Badak. Jalur yang sama terasa berbeda saat dilalui dari sisi sebaliknya. Kaki mulai merasakan letih, tapi ritme berjalan tetap stabil. Sekitar 2,5 jam kemudian, kami tiba kembali di Kandang Badak.
Di sana, kami duduk santai, membuka logistik yang tersisa. Menyeduh kopi yang terasa jauh lebih mewah di ketinggian, sambil menunggu rombongan belakang. Sejatinya, kami ingin turun bersama-sama. Menunggu adalah bentuk kecil dari kebersamaan, namun waktu punya jalannya sendiri.
Menjelang pukul 18.00, kabar dari kru lewat HT mengatakan bahwa rombongan belakang sudah dekat. Kami percaya. Tapi lima belas menit kemudian, belum juga ada tanda-tanda mereka tiba. Langit mulai gelap, angin turun pelan, pertanda bahwa hujan akan segera datang. Benar saja, hujan langsung turun dengan derasnya. Akhirnya, setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan terlebih dahulu meskipun hujan dengan derasnya sedang mengguyur.
Pukul 18.15, kami kembali melangkah menembus hutan Cibodas. Tak lama setelahnya, hujan turun deras. Jalur tanah menjadi licin, akar menjadi jebakan. Tapi kami tetap berjalan, satu demi satu, dengan kepala tertunduk menahan air yang membasahi jaket dan sepatu.
Hingga akhirnya, kami sampai di Rawa Panyangcangan sekitar 3 jam kemudian. Tanpa banyak pikir, saya langsung memesan bakso dan telur gulung, dua hal sederhana yang rasanya luar biasa setelah belasan jam berjalan. Uap makanan seperti hadiah yang jatuh dari langit.
Setelah makan dan beristirahat selama sekitar tiga puluh menit, kami melanjutkan perjalanan menuju basecamp. Langkah-langkah kembali menyusuri jalur yang basah dan gelap. Namun, di sinilah cerita menjadi berbeda. Tepat setelah melewati jembatan panjang di Rawa Gayonggong, saya merasa seperti diikuti oleh "seseorang". Jejak langkahnya jelas terdengar, tepat di belakang saya.
Team leader kami, yang berada di paling depan, seolah merasakan hal yang sama. Tiba-tiba ia berseru, “Rapat guys. Kita rapat!” Beberapa kali setelahnya dia juga berseru dan bertanya kepada saya, "Bang, aman kan" ? Suaranya sedikit tegang. Seketika, pikiran saya melayang ke mana-mana. Saya mencoba tetap tenang, menyorotkan lampu headlamp hanya ke jalur di depan. Namun, rasa was-was tak bisa dibohongi.
Sesekali saya menoleh ke kanan dan kiri. Di antara kabut dan cahaya temaram, saya seperti melihat bentuk-bentuk aneh. Padahal, saya tahu itu hanya pepohonan dan rumput liar. Tapi di titik tertentu, di area sekitar Telaga Biru, saya melihat sesuatu yang membuat langkah saya nyaris terhenti. Saat lampu headlamp saya menyapu ke arah telaga, saya seperti melihat sosok perempuan duduk bersila, bertapa di tengah air. Diam. Tenang. Seperti bayangan seorang dewi.
Di tengah perasaan saya yang was-was, dan langkah kaki kami yang tetap melaju perlahan di jalur basah, samar-samar saya mencium bau melati. Lembut, tidak menyengat, tapi cukup jelas untuk membuat napas saya sedikit tertahan. Salah satu peserta di depan saya tiba-tiba berujar pelan, “Ada yang nyium bau melati nggak?” Kami saling pandang sejenak. Tidak ada yang menjawab, tidak juga mencoba menebak.
Bau itu hanya sebentar. Beberapa detik saja, lalu hilang begitu saja, seolah larut bersama kabut. Di sekitar kami tak ada bunga, tak ada dupa, dan kami pun tahu tidak membawa apa-apa yang bisa mengeluarkan wangi seperti itu. Hanya ada malam yang sunyi, tanah licin di bawah sepatu, dan kepala yang sedang sibuk menenangkan diri.
Saya tidak tahu pasti apa yang di alami. Bisa jadi hanya efek lelah, bisa juga memang ada sesuatu yang melintas. Tapi saat bau itu muncul, suasana seketika terasa lain. Lebih hening, lebih dalam, seperti ada yang menyapa, tapi tanpa suara. Saya mencoba tetap tenang dan menghormati, karena di gunung, kadang kita bukan satu-satunya yang berjalan.
"Terkadang, gunung tidak menunjukkan dirinya lewat wujud, tapi lewat bau. Karena bau lebih susah dibantah. Dia tidak bisa difoto, tapi bisa dirasakan."
Saya mencoba tetap berpikir positif. Barangkali itu hanya halusinasi karena lelah. Namun, bayangan-bayangan lain terus berdatangan. Ada yang menyerupai anjing. Ada pula yang tampak seperti truk, padahal hanya bayangan batang pohon dan kerimbunan semak. Aneh kan ?
Ketika menceritakan part diatas ini, bulu roma saya berdiri. Ini adalah pengalaman yang akan saya kenang lama. Bukan untuk ditakuti, tapi untuk diingat sebagai bagian dari perjalanan yang tidak biasa.
"Yang membuat bulu roma berdiri bukan karena sosok yang terlihat, tapi karena ingatan tentang rasa sunyi yang terlalu nyata untuk dilupakan. Bisa jadi bukan mereka yang hadir—tapi bagian dari diri kita sendiri yang sedang membuka mata. "
Begitu sampai di Pos Simaksi, team leader kami bercerita. Dengan suara tenang namun pasti, ia bilang, "Tadi saya lihat, ada yang mengikuti abang di belakang."
Ini adalah pengalaman pertama saya mengalami hal di luar nalar selama mendaki gunung. Saya tetap berusaha untuk berpikir positif, karena saya percaya itulah kunci agar "mereka" tidak benar-benar mampir ke kita. Perjalanan dari Rawa Panyangcangan menuju Pos Simaksi, kemudian dilanjutkan ke Basecamp, nyaris tanpa henti. Kami hanya fokus untuk segera sampai, berdoa dalam hati sambil menjaga langkah tetap mantap.
“Bukan untuk ditakuti, tapi untuk diingat sebagai bagian dari perjalanan yang tidak biasa.”
Akhirnya, setelah total lebih dari 20 jam perjalanan, kami tiba kembali di Basecamp tepat pukul 23.45. Tubuh mungkin lelah, tapi hati terasa penuh. Penuh karena selamat. Penuh karena belajar. Dan penuh karena telah menyentuh batas yang belum pernah disentuh sebelumnya.
Lucunya, meskipun saya tak kenal siapa pun sebelumnya, dalam pendakian sepanjang ini rasanya sulit untuk tetap jadi orang asing. Di awal mungkin hanya anggukan atau senyum singkat. Tapi seiring waktu—di tanjakan yang sama, di jeda yang sama, dan dalam lelah yang sama—perlahan semuanya mulai cair. Obrolan ringan di pos istirahat, berbagi logistik kecil, saling bantu pasang jas hujan, atau sekadar tanya, “Masih kuat, Bang?” Itu semua jadi semacam jembatan.
Tidak ada yang memaksakan diri untuk akrab, tapi karena kita berjalan bersama dalam lebih dari 20 jam perjalanan yang penuh naik-turun, hujan, gelap, dan rasa was-was, akhirnya keterhubungan itu tumbuh sendiri. Kita jadi saling tahu ritme masing-masing. Siapa yang biasanya paling depan, siapa yang pelan tapi konsisten, siapa yang diam tapi selalu ada saat dibutuhkan.
Dan dari situ, saya belajar lagi satu hal sederhana: bahwa kebersamaan kadang tidak perlu dibangun dari hal besar. Cukup dari pengalaman yang dijalani bersama, tanpa dibuat-buat. Karena saat kita sama-sama melewati banyak hal, keakraban akan muncul dengan sendirinya dan itu lebih tulus daripada seribu perkenalan.
"Kami mungkin tak saling kenal, tapi gunung memperkenalkan kami satu per satu; lewat tanjakan, istirahat, dan rasa lelah yang sama."
Tiba di basecamp, saya langsung mengabari istri di rumah. Kemudian duduk beristirahat di kursi depan sambil merokok. Kejadian tadi masih saja masih terngiang di kepala saya. Rasanya ingin langsung pulang ke Jakarta saat itu juga, tapi rombongan satu lagi belum tiba. Kami harus menunggu mereka terlebih dahulu.
Saya tidak tahu pasti pukul berapa mereka sampai, karena setelah duduk cukup lama di depan basecamp, saya akhirnya tertidur. Sekitar pukul 02.30 dini hari, saya dibangunkan oleh kru dan diberi tahu bahwa kami akan segera kembali ke Jakarta. Pukul 03.00, mobil berangkat meninggalkan basecamp. Perjalanan kami berakhir di titik awal sebelum keberangkatan, di daerah Tebet, sekitar pukul 04.30 pagi.
Perjalanan ini, meskipun hanya sehari, terasa seperti rangkuman banyak pendakian sekaligus. Ada rasa lelah fisik yang luar biasa, ada situasi tak terduga di jalur, dan ada pula pengalaman yang belum pernah saya rasakan sebelumnya, pengalaman di luar logika yang sulit dicerna tapi terlalu nyata untuk diabaikan.
Di Pangrango, saya tidak hanya menempuh jarak, tapi juga melintasi batas-batas dalam diri sendiri. Ketika tubuh sudah lelah dan langkah mulai tak stabil, yang berbicara bukan lagi otot atau napas, tapi kemauan. Kemauan untuk terus jalan, walau pelan. Kemauan untuk tetap tenang, bahkan saat situasi mulai terasa aneh.
Saat mobil meninggalkan basecamp dan masuk ke jalanan Cibodas yang sepi menjelang subuh, saya duduk di baris belakang, menatap keluar jendela. Lampu jalan menyapu pepohonan yang tadi malam begitu gelap dan diam. Saya tidak sedang memikirkan capaian “tektok 20 jam”, tidak juga sedang membanggakan diri karena berhasil sampai puncak. Yang muncul justru hal-hal kecil: langkah pelan di antara kabut, suara air hujan yang menetes di jaket, dan momen saat saya merasa benar-benar sendiri meski di tengah rombongan.
Gunung, buat saya, memang bukan soal pencapaian. Ia bukan daftar yang harus dicentang satu per satu. Setiap gunung punya cara sendiri untuk menguji dan mengajarkan. Dan Pangrango mengajarkan saya tentang kontrol-kontrol terhadap ritme, terhadap emosi, dan terhadap pikiran yang mulai liar di tengah lelah.
Saya mungkin tidak akan segera kembali ke Pangrango. Tapi cerita tentangnya akan tinggal lebih lama di kepala saya. Bukan karena ketinggiannya, bukan karena pemandangannya, tapi karena pengalaman yang saya bawa pulang, yang tidak semua bisa dijelaskan, tapi cukup untuk dipahami pelan-pelan.
Tektok Pangrango ini, buat saya, bukan cuma soal menempuh jarak puluhan kilometer dalam sehari. Ini tentang bagaimana gunung memperlihatkan sisi lain dari diri saya sendiri—yang mungkin tidak akan saya temui di tempat lain. Bukan soal mengejar sunrise atau dokumentasi puncak, tapi tentang bertemu dengan versi diri saya yang lebih sabar, lebih tahan, dan lebih peka terhadap sekitar.
Dan dengan ini, akhirnya perjalanan Gede–Pangrango saya genapi juga.
“Di Pangrango, saya tidak hanya menempuh jarak, tapi juga melintasi batas-batas dalam diri sendiri.”
Where to go, next?
Pertanyaan itu biasanya muncul di akhir setiap pendakian. Bahkan kadang langsung terpikir saat baru turun dari gunung: “Setelah ini ke mana lagi?” Tapi untuk kali ini, saya tidak buru-buru mencari jawabannya. Rasanya belum perlu. Beberapa pendakian yang saya jalani tahun ini, termasuk Pangrango yang baru saja selesai, sudah cukup untuk memberi ruang bergerak bagi tubuh dan pikiran saya yang sempat terlalu lama diam.
Pendakian ke Pangrango ini sendiri bisa dibilang cukup dadakan. Tidak ada rencana jauh-jauh hari, tidak ada persiapan yang terlalu matang. Tapi justru di situ letak menariknya. Kadang perjalanan yang tidak direncanakan dengan detail justru membawa pengalaman yang lebih jujur, lebih lepas. Saya tidak membawa ekspektasi macam-macam, tidak pula ingin mengejar foto atau capaian tertentu. Hanya ingin berjalan. Hanya ingin tahu rasanya naik Pangrango secara tektok.
Dan ternyata, perasaan itu cukup untuk membuat saya pulang dengan kepala yang lebih ringan. Bukan karena pendakian ini tanpa tantangan—justru sebaliknya. Tapi karena saya bisa melalui semuanya dengan utuh. Tidak ada yang ditinggalkan. Tidak ada bagian yang terasa sia-sia.
Itu juga yang membuat saya belum ingin langsung memikirkan pendakian berikutnya. Saya ingin menyimpan dulu semua rasa yang ada. Menulisnya pelan-pelan, membacanya ulang, dan mungkin baru beberapa minggu atau bulan ke depan saya merasa siap untuk berjalan lagi. Saya tidak ingin perjalanan gunung berubah jadi semacam daftar target yang harus segera dicapai. Biar tetap menyenangkan, tetap punya ruang untuk dinikmati.
Kalau ada yang saya pelajari dari perjalanan ini, mungkin itu: bahwa mendaki bukan soal cepat-cepat naik, atau buru-buru pindah ke puncak berikutnya. Tapi soal memberi waktu pada diri sendiri—untuk berhenti sejenak, melihat ke belakang, dan merasa cukup. Tidak selalu harus ke mana-mana. Kadang yang kita butuhkan cuma duduk diam, dan tahu bahwa semua langkah yang sudah ditempuh... ada artinya.
"Pendakian ini bukan tentang mencapai puncak dalam waktu singkat, tapi tentang bagaimana saya bertahan, belajar sabar, dan menghadapi hal-hal yang tak terduga di jalur."
Terima kasih sudah membaca.
Salam
Aspi Yuwanda
Jakarta, 1 Juli 2025