2024 perlahan sampai di ujungnya. Dan saya menyadari satu hal: tahun ini saya tidak mendaki gunung sama sekali. Tidak ada carrier yang dipaksa muat, tidak ada alarm dini hari untuk summit attack, tidak ada suara hening di antara vegetasi dan langit terbuka. Entah sejak kapan, waktu terasa lebih cepat berlalu, dan sebelum sempat kembali ke gunung, tahun sudah hampir selesai.
Tapi bukan berarti saya diam di tempat.
Anak saya tumbuh semakin besar tahun ini. Pertanyaan-pertanyaannya makin panjang, tangannya makin lincah, dan rasa penasarannya seperti tidak pernah habis. Hari-hari saya sekarang lebih sering dihabiskan menjawab pertanyaan yang kadang sulit dijelaskan tapi terlalu penting untuk diabaikan. Ia bertanya seperti orang yang ingin mengenal dunia—dan mungkin memang begitu adanya.
Ada momen ketika saya sadar, hidup saya sekarang tak lagi bisa sepenuhnya saya atur sendiri. Ada prioritas baru yang pelan-pelan saya pelajari. Dan salah satunya: menjadi hadir, bukan hanya sebagai orang tua, tapi sebagai teman tumbuh untuk anak yang sedang belajar mengenal dirinya dan dunianya.
Lebaran kemarin kami pulang kampung. Pekanbaru dan Bangkinang, dua nama yang selalu membuat saya berpindah suasana. Di satu sisi, saya pulang sebagai anak sulung yang sesekali masih ingin dipanggil "nak". Di sisi lain, saya adalah ayah dan suami yang kini mengenalkan kampung halaman pada keluarganya. Rasanya campur aduk. Rumah masa kecil itu masih sama, tapi hidup saya sudah berubah. Dan ketika saya melihat anak saya berlari di halaman rumah orang tua saya, saya merasa semesta sedang berputar dalam diam.
Tahun ini juga terasa lebih spesial karena untuk pertama kalinya, saya dan anak saya merayakan ulang tahun di kampung. Ya, karena tanggal kelahiran anak saya dan saya sendiri hanya berselisih Empat hari. Dua momen yang berbeda generasi tapi terjadi di bulan yang sama. Kue sederhana, tiup lilin di ruang depan rumah, dan tawa keluarga yang datang dari berbagai arah. Mungkin tidak ada balon-balon besar atau dekorasi mewah, tapi hangatnya jauh lebih terasa. Rasanya seperti diberi hadiah oleh waktu: kesempatan untuk merayakan hidup, bersama orang-orang terdekat, di tempat yang dulu jadi titik mula segalanya.
Dan di antara semua itu, saya menyadari: keluarga adalah alasan kenapa saya terus ingin menjadi lebih baik. Mereka yang membuat saya tetap semangat bangun pagi, tetap ingin pulang di sore hari, dan tetap berusaha meskipun hari kadang berat. Ada wajah yang menunggu di rumah. Ada tangan kecil yang ingin digandeng. Ada cerita yang ingin saya teruskan.
Tahun ini bukan tahun petualangan. Tapi mungkin memang bukan itu yang dibutuhkan. Mungkin, tahun ini adalah waktu untuk diam sebentar. Untuk merapikan langkah. Untuk mengganti sepatu yang mulai aus sebelum benar-benar berjalan jauh lagi.
Saya rindu gunung, tentu saja. Tapi lebih dari itu, saya ingin mendaki dengan utuh—bukan sekadar tubuh yang naik, tapi hati yang cukup tenang untuk menikmati setiap langkah. Dan kalau itu butuh waktu, saya tidak keberatan menunggu.
Karena hidup, seperti gunung, tidak ke mana-mana. Ia hanya menunggu kita siap untuk kembali melangkah.
Sampai jumpa di tahun depan. Dengan tubuh yang lebih kuat, batin yang lebih tenang, dan semoga, punggungan yang sudah lama dirindukan.
"Tahun ini bukan tentang menaklukkan puncak, tapi tentang menjadi lebih hadir untuk orang-orang yang saya cintai"
Aspi Yuwanda
Jakarta, Akhir Tahun 2024
0 Comentarios