Tidak semua cerita harus megah. Yang sederhana pun bisa tinggal lebih lama di hati

– Aspi Yuwanda

Menikah di Tengah Pandemi: Cerita Tahun ini - 2021

Juni 2021, Enam bulan yang lalu. Pandemi belum selesai. Masker masih jadi bagian dari pakaian harian, hand sanitizer tak pernah jauh dari saku, dan jumlah tamu undangan harus dibatasi. Tapi di tengah ketidakpastian itu, saya justru melangsungkan satu keputusan besar dalam hidup: menikah.

Usia saya 27 tahun. Tidak muda, tapi juga belum terlalu tua. Perempuan yang saya nikahi sudah saya kenal dua tahun sebelumnya. Bukan hubungan yang gemerlap lagi, tapi sudah riuh. haha Rencana pernikahan kami tidak panjang-panjang amat, tapi cukup untuk menyiapkan hal-hal penting. Saya ingin acaranya sederhana dan khidmat bukan karena terpaksa, tapi karena memang sesuai dengan yang kami yakini.

Pernikahan itu berlangsung pada 5 Juni 2021. Intimate wedding, kata orang sekarang. Hanya 150 tamu undangan, sesuai protokol. Keluarga datang dari Pekanbaru dengan segala kerepotan perjalanan udara di masa pandemi. Tapi mereka datang. Dan itu lebih dari cukup.

Setelah ijab kabul selesai dan saya sah menjadi suami, ada rasa lega sekaligus tidak percaya. Rasanya seperti berjalan melewati satu pintu ke ruang yang sama sekali baru belum tahu seperti apa isinya, tapi sudah siap untuk menjalaninya.

Kami sempat pergi ke Bali, sebentar. Tapi rencana itu tak sepenuhnya berjalan mulus. Saat akan pulang, istri saya dinyatakan positif Covid-19. Ia harus tinggal lebih lama di Bali untuk isolasi. Saya kembali lebih dulu ke Jakarta karena ada pekerjaan yang menunggu. Itu bukan awal bulan madu yang kami bayangkan. Tapi nyatanya, begitulah hidup bekerja. Tidak semua cerita harus dimulai dengan sempurna.

Setelah ia sembuh dan kembali ke Jakarta, kami mulai hidup sebagai pasangan suami istri. Kami tinggal di rumah kontrakan, di daerah Rawamangun. Rumah tua yang sedikit lembap saat hujan turun, tapi cukup nyaman.

Kami belajar berbagi ritme harian. Dari urusan masak, cuci piring, bayar listrik, sampai siapa yang harus buang sampah hari ini. Semua terasa baru, tapi juga menyenangkan. Kami juga mulai mengenal tetangga dan belajar hidup di lingkungan baru yang kadang ramai, kadang sunyi.

Lalu di malam hari setelah Maghrib, dua bulan setelah menikah, satu kabar datang.

Istri saya keluar dari kamar mandi, membawa test pack. Wajahnya ragu-ragu. Ia tak berkata apa-apa, hanya menunjukkan dua garis merah. Untuk beberapa detik, saya diam. Rasanya seperti waktu ikut berhenti. Tak lama kemudian kami hanya duduk berdua di ruang depan, masih agak bingung tapi juga diam-diam bahagia.

Kami belum sepenuhnya siap secara mental. Tapi sekali lagi, hidup tidak selalu menunggu kesiapan. Ia berjalan, dan kita belajar mengikutinya. Perlahan.

Hari-hari selanjutnya kami jalani dengan banyak penyesuaian, juga banyak syukur. Pandemi masih ada. Dunia belum baik-baik saja. Tapi di tengah itu semua, kami belajar membangun rumah, bukan sekadar tempat tinggal.

Karena pernikahan, pada akhirnya, bukan tentang pesta atau foto-foto yang viral. Tapi tentang bagaimana dua orang belajar saling menampung dalam keheningan, saling meredakan dalam lelah, dan saling menguatkan dalam ketidakpastian. Ditambah lagi, empat bulan lagi anak pertama kami akan lahir.

Dan tahun itu 2021 ini akan selalu jadi tahun yang saya kenang. Tahun ketika dunia sedang kacau, tapi hati saya sedang belajar tenang.


Aspi Yuwanda
Jakarta, Akhir Tahun 2021 — di tengah pandemi dan awal hidup yang baru

0 Comentarios

Follow Me On Instagram