Saya mulai benar-benar mengenal internet sekitar tahun 2007. Saat itu, internet mulai terpasang di rumah. Menggunakan Speedy, koneksi ADSL dari Telkom, yang pada zamannya sudah terasa canggih sekali. Kecepatannya tentu tidak seperti sekarang, tapi cukup untuk membuka halaman demi halaman dengan sabar. Rasanya menyenangkan bisa menjelajah dunia dari layar komputer di rumah.
Winamp, 4shared, dan Musik yang Dicari dengan Sabar
Saya sering menghabiskan malam, terutama saat libur, dengan berinternet sambil mendengarkan lagu dari Winamp. Lagu-lagu Bon Jovi seperti Always, Bed of Roses, It’s My Life, dan Thank You for Loving Me terasa seperti soundtrack personal. Saya mencari file MP3-nya dari situs seperti 4shared atau stafaband, dan proses mengunduhnya kadang bisa makan waktu cukup lama. Tapi saya menikmatinya.
Tidak seperti sekarang, di mana semua lagu tinggal diklik. Dulu, mendengarkan musik adalah proses. Ada usaha dan penantian. Dan mungkin karena itu, rasanya lebih melekat.
mIRC, Yahoo Messenger, dan Identitas Maya yang Konyol
Selain musik, saya juga aktif di mIRC dan Yahoo Messenger. Dunia chatting waktu itu terasa seru, anonim, tapi akrab. Saya masih ingat nickname saya: “cowok_sendal_jepit”. Entah kenapa nama itu terasa cocok saja waktu itu, santai, tidak neko-neko, dan mungkin sedikit nyeleneh.
Kalau ada yang tanya ASL (Age/Sex/Location), saya biasanya jawab: “17 M PKU”. Padahal aslinya saya masih sekitar 14 atau 15 tahun. Rasanya seperti “trik kecil” agar bisa dianggap cukup umur untuk ikut ngobrol di ruang publik digital itu. Lucu juga kalau diingat sekarang.
Bahkan, saya sempat ketagihan chat di mIRC. Bisa berjam-jam hanya untuk ngobrol tentang apa saja, kadang gak jelas, kadang gak penting, tapi terasa seru. Topiknya bisa lompat ke mana-mana, dari lagu, film, curhat remaja, sampai saling kirim teks lirik lagu. Dan semua itu dilakukan dengan orang-orang yang tidak saya kenal sama sekali. Hanya nama samaran dan jendela chat kosong.
Menariknya, nickname “cowok_sendal_jepit” itu juga saya pakai sebagai nickname awal di Kaskus. Saya masih ingat betul. Dan saat mengetik ini, saya tersenyum mengingatnya. Bukan karena hebat, tapi karena betapa jujur dan polosnya masa itu, di mana identitas digital dibentuk dari hal-hal kecil yang spontan. Mungkin saja, karena saat itu saya memang masih puber ya. Dan di usia segitu, hal-hal sepele bisa terasa penting, bahkan membentuk cara kita melihat diri sendiri.
Game Online dan War Jam 3 Pagi
Internet malam hari juga sering saya habiskan dengan main game online. Saya sempat main RF Online, Idol Street dan beberapa game lain. Saya bahkan beli voucher, meskipun tidak sering. Sekadar cukup buat ngerasain serunya beli item premium.
Yang paling saya ingat adalah war jam 3 pagi di RF. Saya benar-benar rela menahan kantuk hanya demi ikut perang antar ras. Deg-degan, rame, dan bikin betah di depan layar. Untungnya, saya main dari rumah. Gak perlu ke warnet, gak perlu izin orang tua. Dan mungkin karena itu juga, pengalaman mainnya terasa lebih “aman”, meskipun tetap penuh semangat.
Sosial Media dan Dunia yang Mulai Terhubung
Tahun-tahun itu juga jadi awal mula saya mengenal sosial media. Awalnya tentu dari Friendster, lalu mulai ramai Facebook. Saya sempat juga coba MySpace, Multiply, dan Tumblr, tapi tidak pernah terlalu aktif di sana. Facebook cepat menyebar, terutama di lingkungan sekolah, dan akhirnya jadi sosial media utama waktu itu.
Fitur-fiturnya masih sederhana: update status, ganti foto profil, beri komentar. Tapi justru karena itu, interaksi terasa lebih dekat. Tidak diburu-buru oleh algoritma, tidak seramai sekarang. Semua masih dalam fase “mencoba-coba”, dan itu membuatnya menyenangkan.
Yang jelas, sosial media bukan cuma soal update status atau upload foto. Dalam hidup saya, ia juga memberi cerita. Cerita yang tidak akan pernah saya tulis ulang dengan cara lain.
Masa yang Lambat Tapi Penuh Makna
Kalau saya mengingat tahun-tahun itu sekarang, rasanya seperti menonton ulang film lama yang penuh adegan kecil tapi hangat. Tidak ada kecepatan seperti hari ini. Tidak ada serbuan notifikasi atau algoritma. Hanya saya, koneksi Speedy yang pelan tapi setia, lagu-lagu Bon Jovi yang diputar lewat Winamp, mIRC yang sunyi tapi menyenangkan, dan malam-malam yang dibiarkan berjalan tanpa rencana.
Saya bersyukur pernah hidup di masa itu. Karena di situlah, untuk pertama kalinya, saya merasa internet bukan hanya tempat mencari informasi, tapi tempat untuk tumbuh pelan-pelan, belajar mengenal dunia, dan memahami diri sendiri.
Tapi tentu, waktu berjalan. Dunia maya yang dulu terasa lambat dan penuh ruang jeda, kini berubah jadi tempat yang serba cepat, penuh suara, dan seringkali riuh tanpa arah. Sosial media hari ini bukan lagi tempat singgah, tapi medan tempur. Ujaran kebencian muncul di sela-sela komentar, penipuan hadir dengan wajah ramah, dan hal-hal yang dulu terasa biasa saja tergeser oleh tuntutan untuk selalu terlihat “lebih”; lebih sukses, lebih bahagia, lebih menarik.
Banyak yang masih bisa kita temui dan pelajari dari sosial media, tentu saja. Tapi tak bisa dipungkiri, ada lelah yang ikut tumbuh di sana. Kadang saya rindu masa ketika sosial media hanyalah tempat untuk menulis status pendek, memberi testimonial, atau sekadar mengganti foto profil. Masa ketika dunia maya masih terasa sebagai perpanjangan dari diri kita yang nyata, bukan panggung untuk menampilkan versi yang sudah dipoles.
"Dulu kita online untuk mencari hal baru. Sekarang, banyak yang online supaya tidak ketinggalan lama."
Jakarta, 16 Januari 2025