Tidak semua cerita harus megah. Yang sederhana pun bisa tinggal lebih lama di hati
– Aspi Yuwanda
"Waktu berjalan tanpa suara. Tahu-tahu, 2023 sudah sampai di ujungnya"
Saya ingat, awal tahun ini saya masih berada di tempat kerja lama. Rutinitas harian, jalan yang itu-itu saja, dan rasa stagnan yang makin menumpuk di dalam kepala. Tapi hidup, kadang menunggu kita jenuh dulu baru memberi sinyal untuk pindah. Maka di awal tahun, saya putuskan untuk menerima tawaran baru. Bukan pilihan mudah, tapi saya tahu saya harus bergerak kalau tidak secara fisik, setidaknya secara batin.
Pindah kerja ternyata bukan sekadar pindah kantor. Ia membawa ritme baru, tantangan baru, dan versi diri saya yang juga harus beradaptasi ulang. Ada hari-hari yang melelahkan, ada minggu-minggu yang terasa berat, tapi saya tetap bersyukur: setidaknya, saya tidak lagi merasa diam di tempat.
2023 juga tahun saya kembali ke gunung. Setelah delapan tahun absen karena alasan-alasan lain yang tidak pernah benar-benar selesai, akhirnya saya kembali menapaki jalur pendakian. Ada rasa rindu yang terbayar, ada dialog sunyi yang kembali terbuka. Gunung, bagi saya, bukan sekadar destinasi. Ia adalah ruang untuk diam, untuk berpikir ulang, dan untuk mengingat siapa saya sebelum semua ini jadi sekompleks sekarang.
Salah satu momen paling berkesan tahun ini adalah saat istri dan anak untuk pertama kalinya saya ajak pulang ke kampung halaman, ke Pekanbaru dan Bangkinang. Rasanya seperti mempertemukan dua dunia dalam hidup saya, masa lalu dan masa kini. Istri saya akhirnya melihat sendiri rumah tempat saya tumbuh, jalan-jalan yang dulu jadi lintasan pulang sekolah, dan orang-orang yang pernah membentuk saya. Anak saya mungkin belum mengingat banyak, tapi melihat dia bermain di halaman rumah orang tua saya seperti melihat diri saya sendiri, tapi dalam versi yang lebih cerah.
Di rumah, anak saya kini sudah lebih aktif. Sudah bisa meniru, bertanya, berargumen, dan tentu saja membuat hari-hari jadi lebih ramai. Kadang saya lelah. Tapi lebih sering saya bahagia melihat tumbuhnya seseorang yang kelak akan membawa versinya sendiri dari dunia. Saya belajar banyak dari cara dia tertawa, dari cara dia marah, dari cara dia penasaran. Anak kecil memang tidak membawa jawaban, tapi mereka kadang membuat kita kembali bertanya hal-hal penting.
Menjelang akhir tahun, hidup kembali menguji kami. Istri saya masuk rumah sakit di bulan Desember. Awalnya didiagnosis usus buntu, tapi kondisinya memburuk karena komplikasi yang menjalar ke jantung. Ia sempat dirawat di ICU selama beberapa hari. Rasanya seperti dihentakkan dari rutinitas dan diingatkan bahwa semua hal bisa berubah dalam hitungan detik. Tapi kami melewatinya. Hari demi hari, perlahan ia pulih. Dan hari ini, ia sudah jauh lebih baik. Momen-momen seperti itu membuat saya belajar untuk tidak menganggap enteng hal-hal yang kelihatan biasa: kesehatan, kebersamaan, waktu.
Dan mungkin, begitu saja tahun ini berlalu. Tidak selalu mulus, tidak selalu cerah. Tapi cukup untuk membuat saya merasa, saya pernah berjalan—dengan sadar, dengan utuh.
Kini, di penghujung tahun, saya hanya ingin menatap ke belakang sebentar—bukan untuk menyesali apa pun, tapi untuk menyadari: ternyata banyak juga yang sudah terjadi.
2024 ?
Saya tidak ingin menuliskan daftar panjang. Saya hanya ingin lebih hadir di pekerjaan, di rumah, di diri saya sendiri. Ingin lebih rajin menulis, lebih jujur pada emosi, dan lebih berani berkata “cukup” pada hal-hal yang melelahkan tanpa hasil.
Saya tahu tidak semua akan berjalan lancar. Tapi kalau bisa menutup tahun ini dengan hati yang cukup tenang, mungkin itu pertanda: saya sedang berada di jalan yang tepat.
Selamat tinggal 2023. Terima kasih untuk semua kejutannya.
"Tahun depan saya tidak membuat resolusi besar. Saya hanya ingin lebih hadir. Di ruang kerja, di meja makan, di kepala sendiri."
Aspi Yuwanda
Jakarta, 30 Desember 2023
Bulan berganti, semangat belum padam. Setelah pada bulan Oktober lalu saya mendaki Gunung Sumbing yang memilik ketinggian 3.371 MDPL, pada bulan November ini saya mendaki kembarannya, Gunung Sindoro yang memiliki ketinggian 3.153 MDPL.
Pada pendakian kali ini, saya hanya ber-2. Bersama seorang teman yang sebenarnya juga baru saya kenal di jalur pendakian Gunung Sumbing yang lalu. Namanya Imam, asli Purworejo, Jawa Tengah. Pendakian ini saya lakukan pada tanggal 11-12 November 2023. Saya sudah berencana pada seminggu sebelumnya, sudah menghubungi si Imam mengenai rencana ini dan dia pun tertarik untuk berangkat. Setelah konfirmasi darinya, saya langsung memesan tiket kereta dari Jakarta menuju Kutoarjo. Saya turun di Kutoarjo karena itulah stasiun terdekat dari basecamp Gunung Sindoro via Kledung dan juga stasiun terdekat dari rumah Imam, karena nantinya dia lah yang akan mejemput saya terlebih dahulu di Stasiun untuk kemudian kita menuju ke basecamp di Desa Kledung. Jarak antara stasiun Kutoarjo dan Desa Kledung sekitar 60 KM. Saat itu kami tempuh dengan waktu kurang lebih 2 Jam mengendarai sepeda motor.
Sekilas tentang Gunung Sindoro. Gunung Sindoro, biasa disebut Sindara, atau juga Sundoro merupakan sebuah gunung volkano aktif yang terletak di Jawa Tengah, Indonesia, dengan Temanggung sebagai kota terdekat. Gunung Sindoro terletak berdampingan dengan Gunung Sumbing. Gunung sindara dapat terlihat jelas dari puncak sikunir dieng. Kawah yang disertai jurang dapat ditemukan di sisi barat laut ke selatan gunung, dan yang terbesar disebut Kembang. Sebuah kubah lava kecil menempati puncak gunung berapi. Sejarah letusan Gunung Sindara yang telah terjadi sebagian besar berjenis ringan sampai sedang (letusan freatik). Hutan di kawasan Gunung Sundoro berjenis Hutan Dipterokarp Bukit, Hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung. (sumber:di sini).
Ada beberapa jalur pendakian untuk mencapai puncak Gunung Sindoro. Diantaranya, via Kledung, via Alang Alang Sewu, Via Sigendang dan jalur-jalur lainnya. Namun, pada pendakian kali ini saya melakukan pendakian via Jalur Kledung yang merupakan jalur paling populer untuk mencapai puncak Gunung Sindoro.
Baik, sekarang saya akan mulai menceritakan pengalaman saya saat memulai pendakian.
Basecamp - Pos 1
Seperti halnya dengan pendakian Gunung Sumbing yang lalu, pada pendakian kali ini saya juga menggunakan jasa Ojek Gunung. Tarifnya Rp 25.000 untuk sekali perjalanan dan langsung diantar ke Pos 1, atau jika mau lanjut ke batas akhir akses kendaraan, tarifnya Rp 40.000. Saya menggunakan jasa ojek gunung kali ini hanya sampai ke Pos 1. Durasi perjalanan sekitar 15 - 20 menit saja dari basecamp. Jika tidak menggunakan jasa ojek, perjalanan dari Basecamp menuju ke Pos Ojek atau Pos 1 kira-kira dapat ditempuh kurang lebih 1,5 - 2 jam, dengan kontur perjalanan yang landai dan diiringi dengan kebun warga setempat.
Ojek Gunung Sindoro & Suasana Pos Ojek
Pos Ojek/Pos 1 - Pos 2
Perjalanan sesungguhnya dimulai. Waktu menunjukkan tepat pukul 9.30 pagi, saya dan Imam memulai perjalanan dan tentunya diawali dengan berdo'a terlebih dahulu agar diberikan keselamatan selama perjalanan. Kontur perjalanan sudah mulai sedikit menanjak, namun banyak bonusnya juga. Sesekali kita akan masih berselisih dengan Ojek Gunung yang mengantar penumpah hingga ke pertengahan antara Pos 1 dan Pos 2. Pendakian saat itu terbilang cukup ramai namun tidak sampai mengakibatkan kemacetan. Yap, di jalur pendakian juga ada mancetnya juga loh. Perjalan dari pos Ojek atau Pos 1 ke Pos 2 saya tempuh kurang lebih 45 menit saja. Mungkin karena jalur yang tidak terlalu menanjak dan banyak bonusnya juga.
Sesampainya di Pos 2, saya mengeluarkan peralatan kopi untuk segera membuat kopi.
Coffee in the making
Di Pos 2 ini juga terdapat warung yang menjual semangka, gorengan dan jajanan lainnya. Saya beristirahat cukup lama di sini, bahkan saya sempat tidur juga sebentar.
Pos 2 - Pos 3
Perjalanan dari Pos 3 kami mulai pada pukul 11.30. Kontur perjalanan mulai menanjak, disertai dengan bebatuan. Selain itu jalur pendakian juga mulai menyempit. Jalur pendakian ke pos 3 ini mengingatkan saya seperti jalur pendakian Gunung Kerinci via Kresik Tuo, antara pos 2 dan pos 3. Jalur yang panjang, menanjak dan berbatu.
Perjalanan ke Pos 3
Setelah 2 jam perjalanan, sampailah kami di Pos 3, dan ternyata area camp sudah hampir penuh. Sebenarnya, opsi utama kami untuk ngecamp adalah di Sunrise Camp, sekitar 30 menit perjalanan dari Pos 3. Namun, infonya saat itu Sunrise Camp sudah penuh, bukan hampir penuh. Jadinya, kami membangun tenda untuk ngecamp di Pos 3 saja. Dan benar saja, ketika kami sudah hampir selesai, hujan turun. Seperti sebuah keberuntungan karena kami tidak melanjutkan perjalanan ke Sunrise Camp, karena jika kami lanjuktan, bisa saja di perjalanan kami kehujanan. Saat itu hujannya cukup deras dan juga disertai angin sepoi-sepoi.
Timelaps - Tent on progress
Setelah semua beres, kami memasak makanan untuk makan siang. Pada pendakian kali ini kami membuat sebuah kesalahan yang paling mendasar, yaitu Manajemen Logistik yang buruk. Well, sebenarnya saya sudah memperhitungkan dengan baik sebelumnya cuma karena perhitungannya saja yang salah, dan kami merasakan akibatnya saat itu.
Pos 3 - Sunsrise Camp
Pukul 4.30 subuh, kami sudah memulai perjalanan untuk summit attack menuju puncak tertinggi Gunung Sindoro via Kledung, yaitu Puncak Latar Ombo. Selang 20 menit kemudian kami tiba di Sunrise Camp. Sesuai rencana awal, kami berniat untuk sarapan di Sunrise Camp sembari menikmati sunrise dan keindahan Gunung Sumbing dari spot tersebut. Namun, ternyata harapan tak sesuai kenyataan. Kabut tebal menghampiri. Bahkan, si jingga pun tidak terlihat kemunculannya. Tapi, tetap pada rencana awal, kami memasak makanan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Puncak Latar Ombo.
Sign Sunrise Camp
Sunrise Camp - Pos 4
Setelah makan, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Puncak Latar Ombo. Kontur perjalanan sudah tidak ada landainya. Mendaki, melewati bebatuan dan hutan yang cukup rapat. Sekitar 2 Jam kemudian, sampailah kami di Pos 4. Sebuah pecahan batu besar yang ikonik, dinamakan Watu Tatah.
Pos 4 - Watu Tatah
Pos 4 - Puncak Latar Ombo
Kami tidak berhenti lama di Pos 4, karena mengejar sampai di Puncak sebelum jam 9. Hal tersebut dikarenakan ada aturan bahwa sebelum jam 10 , sudah harus turun dari kawasan puncak karena belerang dari kawah sudah mulai naik dan mengeluarkan bau yang beracun. Jadi berbahaya bagi mereka-mereka yang masih berada di area puncak. Perjalanan dari Pos 4 menuju puncak merupakan perjalanan seperti summit attack pada umumnya. Kita akan mendaki punggungan bukit, dengan elevasi sekitar 130 - 140 derajat dan bebatuan serta pasir yang menjadi pijakan. Namun, menurut saya masih tidak terlalu sulit jika dibandingkan dengan summit attack Gunung Kerinci beberapa tahun lalu. Di pertengahan trek, akan dijumpai sebuah sign yang menandkan bahwa kita sudah memasuki kawasan puncak.
Sign Pertanda Memasuki Kawasan Puncak
Dari sign tersebut, puncak tertinggi Latar Ombo Gunung Sindoro sudah mulai kelihatan. Sekitar 15 menit kemudian, sampailah kami di puncak tertinggi Gunung Sindoro via Kledung, Puncak Latar Ombo.
Suasana Puncak Gunung Sindoro via Kledung
Total Waktu yang Saya Butuhkan :
Basecamp - Pos 1 : 20 Menit
Pos 1 - Pos 2: 45 Menit
Pos 2 - Pos 3: 2 Jam
Pos 3 - Sunrise Camp: 20 Menit
Sunrise Camp - Pos 4 : 2 Jam
Pos 4 - Puncak Latar Ombo : 1 Jam
Total : 6 Jam 25 Menit (estimasi)
Area puncaknya kalau menurut saya, lumayan luas. Tidak seperti puncak Gunung Sumbing. Namun, benar saja. Bau belerangnya sudah mulai menyengat, padahal saat itu masih jam 8 pagi. Suasanya juga ramai, mungkin karena hari minggu juga ya. Saya menyempatkan diri untuk berkeliling untuk melihat area puncak lebih jauh, kemudian bersandar di sebuah batu sambil menikmati keindahan Gunung Sumbing dari kejauhan yang sudah keliahatan karena kabut tebal yang sebelumnya menutupi berangsur-angsur berpindah.
Gunung Sumbing dari Puncak Gunung Sindoro
Tidak terasa, sudah hampir pukul 9.30. Saya pun mulai beranjak dan berjalan turun kembali ke Pos 3. Sekitar 2 jam perjalanan, ditambah dengan seringnya saya beristirahat di trek, hampir pukul 12 siang saya sampai di camp Pos 3. Kemudian makan siang, dan tertidur. Haha
Kami bangun sekitar pukul 3.00 sore, hari sudah gelap karena sepertinya saat itu akan hujan deras. Untuk mengejar waktu, kami langsung bersiap untuk turun dan packing peralatan dilakukan dengan cepat. Hampir pukul 4, kami baru mulai jalan menuju ke basecamp. Sekitar 1 jam perjalanan, kami tiba di Pos 2. Istirahat sebentar, lalu kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya di pos Ojek II , yang berada di pertengahan Pos 1 dan Pos 2 , kami memutuskan untuk naik Ojek disana saja. Selang 20 menit kemudian, kami sampai di basecamp. Jadi jika ditotal, waktu yang kami habiskan dari Pos 3 hingga ke basecamp tidak sampai 2 jam.
Galeri-galeri selama pendakian :
Gunung Sumbing Terlihat dari PuncakSign Puncak Latar Ombo
Kentang Goreng Rasa Bon Cabe
Video Singkat dari Dalam Tenda
Jadi, begitulah cerita pengalaman saya mendaki Gunung Sindoro via Kledung. Overall, kontur perjalanan tidak begitu jauh berbeda dengan Trek Gunung Gede via Putri, cuma ini lebih singkat saja. Untuk pemula mungkin bisa cocok bisa tidak juga, semua tergantung dengan fisik dan stamina masing-masing.
Where to go, next ?
Sejatinya, saya ingin menutup rangkaian “Triple S”—Sumbing, Sindoro, dan Slamet. Namun Gunung Slamet, yang seharusnya jadi puncak terakhir dari perjalanan ini, sedang tidak dalam kondisi terbaiknya. Aktivitas vulkaniknya meningkat, dan jalur pendakian pun ditutup sementara. Jadi, keinginan itu harus disimpan dulu, entah sampai kapan.
Tapi hasrat untuk kembali mendaki tak pernah benar-benar padam. Jika bukan Slamet, mungkin langkah kaki akan saya arahkan ke gunung-gunung lain yang sejak lama mengendap dalam daftar keinginan, seperti yang sudah saya ceritakan di pendakian Gununf Sumbing yang lalu. Gunung Prau dengan golden sunrise-nya yang tersohor, Gunung Lawu yang memanggil dengan aroma mistis, atau Gunung Merbabu yang sabananya kerap disebut-sebut sebagai taman langit terbaik di Pulau Jawa.
Tentu saja semua itu masih sebatas rencana. Karena seperti yang sering saya tulis: gunung akan selalu ada, tapi waktu dan kondisi hidup terus bergerak.
Sekarang, hidup saya tak lagi tentang berkemas dan pergi sesuka hati. Di rumah, ada satu jiwa kecil yang sudah mulai lancar berbicara—memanggil “Papap” dengan nada yang belum tentu saya dengar lagi jika terlalu sering absen. Kepergian selama beberapa hari, yang dulu terasa ringan, kini mulai terasa berat. Ada cerita yang bisa saja saya lewatkan; tawa kecil yang mungkin hanya terjadi sekali, kalimat lucu yang muncul spontan, atau pelukan sederhana yang terasa seperti pulang paling jujur dari segalanya.
Maka, mendaki gunung kini bukan lagi soal menaklukkan puncak. Tapi tentang bagaimana merawat rindu dengan cara yang lebih bijak. Bagaimana tetap bisa berjalan ke atas, tanpa melupakan siapa yang menunggu di bawah.
Saya tidak ingin berhenti mendaki. Tapi saya ingin melakukannya dengan ritme yang lebih manusiawi. Lebih pelan, lebih sadar, dan semoga... lebih bermakna.
“Saya tidak sedang mengurangi langkah, saya hanya sedang belajar memaknainya.”
Pendakian kali ini terasa berbeda sejak awal. Dilakukan pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 2023, saya memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru: ikut open trip. Tidak seperti pendakian-pendakian sebelumnya yang biasanya saya lakukan bersama teman dekat atau rekan satu lingkaran, kali ini saya berangkat bersama dua puluh lima orang asing — tidak satu pun dari mereka saya kenal sebelumnya.
Ada rasa canggung, tentu. Tapi juga ada sensasi yang menarik. Bertemu dengan jiwa-jiwa baru yang dalam waktu singkat akan berbagi langkah, berbagi tanjakan, berbagi peluh, dan mungkin... berbagi sedikit cerita hidup.
Lucunya, meski awalnya tak kenal siapa-siapa, di tengah perjalanan saya justru merasa seperti sedang jalan bareng teman lama. Entah karena lelah membuat kita cepat akrab, atau mungkin memang begitulah cara gunung mempertemukan orang-orang yang sedang butuh cerita baru. Gunung sering kali menjadi ruang pertemuan yang tak kita rencanakan — antara satu pendaki dengan pendaki lain, dan antara kita dengan sisi lain dari diri kita sendiri.
Sekilas tentang Gunung Sumbing. Gunung Sumbing adalah gunung api yang terdapat di Jawa Tengah, Indonesia. (Ketinggian puncak 3.371 mdpl), gunung Sumbing merupakan gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru dan Gunung Slamet. Gunung ini secara administratif terletak di tiga wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Magelang; Kabupaten Temanggung; dan Kabupaten Wonosobo. Bersama dengan Gunung Sindoro, Gunung Sumbing membentuk bentang alam gunung kembar, seperti Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, apabila dilihat dari arah Temanggung. Celah antara gunung ini dan Gunung Sindoro dilalui oleh jalan provinsi yang menghubungkan kota Temanggung dan kota Wonosobo. Jalan ini biasa dijuluki sebagai "Kledung Pass" (sumber:di sini).
Ada beberapa jalur pendakian untuk mencapai puncak Gunung Sumbing. Yaitu, via Garung, Capit Parakan, Kali Angkrik, Bowongso dan Sipetung. Jalur via Garung adalah yang terpopuler, namun pada pendakian ini saya melalui jalur Kaliangkrik. Bukan sekadar karena ingin mencoba sesuatu yang berbeda, tapi juga karena daya tarik desa tempat pendakiannya dimulai Desa Butuh, yang dijuluki "Nepal van Java". Julukan itu bukan tanpa alasan. Rumah-rumah di sana bertumpuk di lereng seperti undakan kecil, dengan latar belakang Gunung Sumbing yang gagah. Saat kabut turun dan langit memucat, desa itu memang terasa seperti potongan Himalaya yang tersesat di tengah Jawa.
Oke, intronya cukup ya. Saya akan mulai menceritakan pengalaman pendakiannya.
Jarak dari Jakarta ke Kaliangkrik memang tak bisa dibilang dekat—sekitar 500 kilometer lebih sedikit. Tapi yang membuatnya terasa panjang bukan sekadar angka di spidometer, melainkan waktu yang dihabiskan di dalam kendaraan, malam yang lambat, dan tubuh yang tak bisa benar-benar istirahat.
Kami berangkat dari Jakarta sekitar pukul 10 malam. Jalanan ibu kota mulai sepi saat bis Elf kami meninggalkan lampu-lampu kota menuju jalan lintas Jawa yang gelap. Beberapa orang langsung terlelap, sebagian masih bercakap pelan, mencoba mengenali satu sama lain. Saya? Duduk sambil menatap keluar, sesekali mencoba tidur, tapi tak pernah benar-benar tenggelam dalam lelap.
Waktu terasa lambat. Hujan sempat turun rintik, lalu berhenti. Jalanan berliku, perut kadang terasa mual, badan kaku karena duduk terlalu lama. Tapi semua itu terbayar ketika jam menunjukkan pukul 11 siang, dan kami akhirnya tiba di Basecamp Kaliangkrik. Hampir 13 jam perjalanan, dan saya baru sadar: ini pendakian yang bahkan sebelum menanjak pun sudah melelahkan.
Tapi seperti biasa, begitu kaki menginjak tanah basecamp dan udara pegunungan mulai terasa di hidung, semua letih seperti mengecil. Di hadapan saya, Gunung Sumbing berdiri diam, tapi tak bisa disangkal: ia seperti memanggil.
Rute Perjalanan Jakarta - Basecamp Kaliangkrik
Sesampainya di basecamp, kami langsung registrasi dan bersiap dan bersiap untuk memulai pendakian.
Suasana Basecamp
Setelah semua urusan registrasi selesai, perlengkapan dicek ulang, dan tubuh cukup diregangkan setelah duduk belasan jam, pendakian pun dimulai. Tapi bukan dengan kaki lebih dulu—melainkan dengan ojek gunung. Sebuah pengalaman pertama yang… unik. Jujur, antara excited dan deg-degan.
Motor trail itu melaju kencang menanjak jalan sempit dengan kemiringan yang bisa dibilang gila-gilaan. Kalau boleh dilebihkan, mungkin 130–140 derajat, dan itu belum termasuk tikungan tajam yang seolah menguji batas logika dan adrenalin. Saya duduk di belakang, berusaha tenang, tapi tangan refleks mencengkeram erat bagian besi belakang motor. Kalau saya lepas kendali sedikit saja, mungkin saya sudah berguling ke jurang. Haha, berlebihan ya, tapi beneran.
Perjalanan itu hanya sekitar 4 menit, tapi terasa seperti naik roller coaster tanpa sabuk pengaman. Jantung saya berdetak cepat, antara takut dan ketagihan. Dan yang lucu—semua itu terekam jelas di video yang saya ambil saat itu. Ekspresi wajah saya? Campuran antara bingung, kaget, dan ngakak dalam hati. Satu hal yang pasti: ini bukan ojek biasa. Ini ojek rasa wahana ekstrim.
Begitu sampai di Pos Ojek, semua rombongan berkumpul. Kami tertawa-tawa saling cerita soal pengalaman barusan. Entah kenapa, dari momen itu saya merasa, perjalanan ini bakal seru dan berkesan—meski saya belum benar-benar tahu, seperti apa jalur Sumbing via Kaliangkrik sebenarnya.
Ojek Gunung Sumbing via Kaliangkrik
Pos Ojek - Pos 1 (Sirebut)
Sekitar pukul 1.30 siang, ketika semua anggota team sudah sampai di Pos Ojek, kami langsung memulai pendakian dan tentunya dimulai dengan berdoa terlebih dahulu. Kontur perjalanan langsung menanjak dengan melalui anak tangga bebatuan. Perjalanan kira-kira 15 menit untuk mencapai Pos 1. Di Pos 1 ini terdapat warung warga. Menurut saya unik, ada 2 warung di atap yang sama dan menjual jajanan, minuman, buah-buahan yang sama pula. Jangan-jangan pemiliknya juga sama ya.
Sign Pos 1
Pos 1 (Sirebut) - Pos 2 (Sikretek)
Kontur Perjalanan dari Pos 1 menuju Pos 2 tanpa ampun tanpa bonus, langsung tanjakan tanpa henti. Memang jalanannya berupa anak tangga, tapi tanpa adanya bonus tetap saja saya ngap-ngapan . Ditambah lagi cuaca sedang panas teriknya. Memang saat itu ketinggian sudah 2000an meter diatas permukaan laut, namun angin yang berhembus tetap saja angin yang sama seperti yang saya rasakan sehari-hari di Jakarta. Mungkin efek musim kemarau yang panjang ini ya. Waktu yang saya habiskan plus istirahat dan minum kopi sekitar 2 jam. Padahal, pada sign Pos 1 disebutkan bahwa jarak antara pos 1 ke pos 2 hanya sekitar 1,3 KM, tapi karena kontur jalanan seperti itu membuat saya banyak berhenti.
Berikut galeri yang saya ambil ketika itu.
Kontur Jalan Pos 1 - ke Pos 2
Stairway to Summit Haha Racik Kopi Ditengah Perjalanan
Nyemilin Roti di Pos 2
Sign Pos 2
Pos 2 (Sikretek) - Pos 3 (Siterbang)
Di pos 2, saya beristirahat lumayan lama. Mungkin sekitar 30 menit, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pos 3, tempat kami akan camping. Kontur jalan masih menanjak namun tidak seperti pada perjalanan antara pos 1 ke pos 2 sebelumnya. Tidak ada lagi anak tangga, namun jalanan berpasir dan sesekali debunya berterbangan karena angin. Diperjalanan juga ada 2 jembatan, kalau kata orang basecamp di jembatan ke 2, kalau ada air , airnya tidak boleh diambil. Saya juga tidak paham maksudnya apa. Ya, mungkin ada kepercayaan atau apa mengenai hal tersebut oleh warga setempat. Di tengah perjalanan juga, sinyal telepon khusunya telkomsel penuh. Dan saya menyempatkan updated di instagram. LoL
Perjalanan dari pos 2 ke pos 3 memakan waktu 1,5 jam. Pukul 5.30 sore, saya sampai di pos 3. Saya sampai di pos 3 sebagai rombongan 2 terakhir. Jadi, dibelakang saya masih ada 2 rombongan lagi.
Perjalanan Pos 2 ke Pos 3
Salah Satu Kontur Perjalanan Pos 2 ke Pos 3
Sign Pos 3
Di Pos 3 inilah, kami mendirikan tenda dan beristirahat untuk summit attack keesokan harinya.
Pos 3 (Siterbang) - Pos 4 (Cipogo)
Jam 3 dini hari, kami semua sudah bersiap untuk menuju puncak tertinggi tentunya kita butuh tenaga yang ekstra ya. Dimulai dengan makan terlebih dahulu dan setelahnya langsung tancap gas.
Nasi Instant + Slice Beef
Tepat jam 3.20 dini hari, kami memulai perjalanan menuju puncak tertinggi Gunung Sumbing, yang dikenal dengan nama Puncak Sejati. 30 menit pertama, kontur perjalanan masih cukup landai dengan beberapa tanjakan yang pendek. Kami sempat kebingungan dengan persimpangan, karena mengingat hari masih gelap, namun dapat teratasi dengan baik. Kalau tidak, ya mungkin saja kami tidak jadi mencapai puncak. Sekitar 1,5 jam kemudian, sampailah kami di Pos 4. Saat itu, matahari sudah mulai muncul dari arah timur, tepat di belakang kami. Sesekali saya menoleh kebelakang untuk menikmati sesaat bagaiaman indahnya momen saat itu. Namun sembari tetap berjalan setapak demi setapak, mengingat kontur jalanan sudah sangat landai dengan kemiringan yang lumayan extreme.
Sign Pos 4
Matahari Mulai Terbit
Pos 4 (Cipogo) - Puncak Sejati
Kami melanjutkan perjalanan menuju puncak sejati dengan kontur perjalanan dengan kemiringan yang lumayan extreme dan juga berdebu. Namun juga teriringi padang sabana yang ditumbuhi alang-alang dan edelwies. Sekitar 30 menit kemudian, kami beristirahat cukup lama. Sembari memakan snack yang sudah dibawa dan meminum minuman hangat. Tentunya juga, menikmati indahnya alam dari ketinggian yang sudah 3.000 meter diatas permukaan laut dan dilatar belakangan beberapa gunung di sekitar. Seperti Gunung Merapi, Gunung Merbabu. Gunung Andong, Gunung Ungaran dan Gunung Telomoyo yang terlihat jelas.
Coffee LoadingCuplikan Perjalanan Pos 4 - Puncak Sejati
Sekitar jam 7.30 , kami sampailah di Puncak Sejati. Sebuah perasaan yang membahagiakan, karena kami sudah berjalan dari 4 Jam sebelumnya dan melewati jalanan yang terjal dan juga berdebu.
Puncak Sejati - 3.371 MDPL
Puncak Sejati Gunung Sumbing - Suasana
Total Waktu yang Saya Butuhkan (Estimasi) :
Pos Ojek - Pos 1: 5 Menit
Pos 1 - Pos 2 : 2 Jam
Pos 2 - Pos 3 : 1 Jam 30 Menit
Pos 3 - Pos 4 : 1 Jam 30 Menit
Pos 4 - Puncak Sejati : 1 Jam
Total Waktu Bersih 6 Jam 5 Menit
Setelah puas menikmati bentang alam dari puncak, saya dan beberapa kawan mulai menuruni jalur kembali menuju camp area di Pos 3 sekitar pukul 09.00 pagi. Turunan terasa lebih ringan di kaki, tapi tetap saja harus waspada. Debu yang tadi menempel di sepatu saat naik, kini justru membuat langkah jadi lebih licin. Sekali terpeleset, bisa-bisa langsung duduk di tanah.
Perjalanan turun ke tenda memakan waktu sekitar dua setengah jam. Jam 11.30, saya tiba di Pos 3. Saat itu, sebagian rombongan masih sibuk memasak makan siang, sebagian lain mulai membongkar tenda dan mengepak barang. Saya sendiri memilih untuk istirahat sejenak, mengisi tenaga, dan diam-diam menikmati momen-momen terakhir berada di ketinggian. Ada rasa enggan untuk turun, seperti biasa. Tapi semua perjalanan pasti ada akhirnya.
Setelah makan dan beres-beres, sekitar jam 1.30 siang, kami memulai perjalanan turun ke basecamp. Jalur yang kami lewati terasa sama panasnya seperti saat naik kemarin. Matahari tepat di atas kepala, tapi semangat pulang membuat langkah kaki terasa lebih ringan. Perjalanan itu memakan waktu sekitar 2,5 jam, dan akhirnya saya tiba kembali di Pos Ojek pada pukul 4 sore.
Dari sana, ojek gunung kembali mengantar kami ke basecamp di Desa Butuh, tempat pendakian ini pertama kali dimulai.
Jadi, begitulah cerita pendakian Gunung Sumbing via Kaliangkrik. Pendakian yang singkat secara durasi, tapi cukup melelahkan karena kontur jalurnya yang terus menanjak, tanpa banyak bonus. Bagi kamu yang memang terbiasa dengan jalur curam dan cepat, mungkin ini akan terasa menantang. Tapi bagi saya—yang lebih suka berjalan pelan, menyerap suasana, menikmati setiap jengkal langkah—jalur ini terasa agak terlalu "to the point".
Bukan berarti saya menyesal ikut pendakian ini, tidak sama sekali. Setiap gunung punya cerita, dan setiap cerita menyisakan sesuatu yang patut disyukuri. Tapi jujur, Sumbing via Kaliangkrik bukan jalur favorit saya. Kalau boleh memilih, saya lebih suka jalur yang memberi waktu untuk berdialog dengan alam dalam sunyi, bukan jalur yang seakan memaksa kita terus bergerak tanpa jeda.
Where to go, next?
Setelah pendakian ini, saya mulai berpikir untuk melanjutkan “Triple S” — mendaki Gunung Sumbing, Sindoro, dan Slamet. Gunung Sindoro akan menjadi tujuan berikutnya, karena Gunung Slamet sedang tidak dalam kondisi yang baik saat ini. Aktivitas vulkaniknya meningkat dan jalur pendakian ditutup sementara. Jadi, jika seandainya saya selesai menapaka Puncak Sindoro di Tahun ini, saya harus menahan keinginan melengkapi "Triple S" sedikit lebih lama.
Jika tidak ke Sindoro, mungkin pendakian berikutnya akan sedikit bergeser. Ada rasa penasaran dengan Gunung Prau yang terkenal dengan golden sunrise-nya, atau Gunung Lawu yang menyimpan cerita mistis. Jauh di benak saya juga mulai terlintas nama Gunung Merbabu, katanya sabana di sana adalah salah satu yang paling indah di Pulau Jawa.
Karena semua tergantung waktu, dan tentu saja… dana. Ditambah lagi, anak saya di rumah sudah mulai lancar berbicara. Rasanya berat juga meninggalkan senyumnya hanya demi mendaki gunung. Tapi seperti biasa, hasrat mendaki tetap menyala. Mungkin tak akan sesering dulu, tapi tetap ada.
Satu hal yang pasti: saya masih ingin naik gunung, tapi kali ini dengan ritme yang berbeda. Lebih pelan, lebih sadar, dan semoga… lebih bermakna.
"Saya mendaki bukan untuk cepat sampai, tapi untuk pelan-pelan menyerap semuanya—langkah, napas, dan sunyi. Dan di Sumbing via Kaliangkrik, saya harus banyak berkompromi."
Yeah, setelah 8 tahun akhirnya saya mendaki gunung lagi. Kali ini saya mendaki Gunung Gede pada tanggal 25 - 26 Agustsu 2023 lalu. Gunung Gede secara adminstratif terletak di 3 wilayah Kabupaten di Provinsi Jawa Barat yaitu, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor. Ada 3 jalur pendakian resmi, yaitu jalur Putri dan jalur Cibodas yang terletak di Kabupaten Cianjur dan jalur Selabintana yang terletak di Kabupaten Sukabumi. Namun yang paling populer adalah Jalur Putri. Untuk pendakian kali ini, saya melalu jalur Putri, yang tepatnya terletak di Kp. Gunung Putri, Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur.
Jalur Pendakian Via Putri
Saya berangkat ber-2, bersama teman yang juga merupakan team saya saat pendakian Gunung Kerinci 8 tahun yang lalu. Kami berangkat dari Jakarta pada hari Kamis, 24 Agustus 2023 sekitar pukul 11 malam dan sampai di basecamp 4 jam kemudian, kemudian istirahat dan memulai pendakian pada pagi harinya. Oh ya, untuk simaksi pendakian Gunung Gede harus daftar online dulu di website https://booking.gedepangrango.org/ agar tidak kehabisan kuota pendakian.
Pagi harinya, sekitar jam 8 kami berkemas dan siap untuk memulai pendakian. Kami menuju basecamp untuk daftar ulang simaksi dan juga untuk tes kesehatan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan izin pendakian. Tepat jam 9.30, kami memulai pendakian dari basecamp menuju Puncak Gunung Gede.
Titik Awal Pendakian - Terlihat Gunung Gede
Basecamp - Pos 1 (Infromasi Lama)
Perjalanan dari Basecamp putri menuju pos 1 diawali dengan jalanan yang menanjak dan kiri kanannya diiringi oleh perkebunan milik warga. Setelah memasuki pintu rimba, kontur jalanan sedikit terjal dengan bebatuan, tanah merah dan akar pohon. Estimasi perjalanan dari basecamp kek pos 1 sekitar 1 jam 30 menit.
Suasana Pos 1 - Informasi Lama
D pos 1 ini kami bertemu dengan rombongan yang berjumlah 17 orang yang semuanya adalah bapak-bapak usia 35 tahun keatas. Kata mereka sih pembubaran panitia lomba 17an perumahan dan di akhiri dengan trekking di Gunung Gede. rame sekali ya dan setelahnya kami beberapa kali bertemu kembali dengan mereka.
Coffee Time
Pos 1 (Informasi Lama) - Pos 2 (Legok Leunca)
Setelah beristirahat sekitar 15 menit, kami melanjutkan pendakian menuju Pos 2. Waktu yang kami tempuh sekitar 45 menit, dengan kontur jalur tanah merah, bebatuan dan lebih terjal dari jalur sebelumnya.
Berikut sekilas kontur jalannya.
Sesampainya di Pos 2, kami makan siang dan beristirahat sekitar 1 jam.
Menu Makan Siang
Relax
Pos 2 (Legok Leunca) - Pos 3 (Buntut Lutung)
Setelah makan siang dan dirasa tenaga sudah kembali penuh, kami melanjutkan perjalanan menuju pos 3. Waktu yang dibutuhkan sekitar 1 Jam 30 Menit dengan kontur jalana sama dengan sebelumnya namun lebih terjal. Berikut gambarannya :
Sekilas Perjalanan Pos 2 ke Pos3
Sign Pos 3 - Buntut Lutung
Di Pos 3 ini, kami kembali beristirahat dan terlihat samar-samar kabut mulai turun dan cuaca lebih sejuk dari sebelumnya. Setelah 30 menit kami kembali melanjutkan pendakian menuju pos 4.
Pos 3 (Buntut Lutung) - Pos 4 (Simpang Malebar)
Inilah trek tersulit menurut saya, karena hampir 90% perjalanan adalah jalanan terjal dengan akar-akar pohon. Sangat menguras tenaga. Waktu yang dibutuhkan sekitar 2 Jam hingga sampai di Pos 4. Di pos 4, saya tidak banyak mengambil gambar karena waktu sudah menunjukan Jam 5 sore, dan kami mengejar waktu agar tidak gelap saat membangun tenda nanti di surya kencana.
Berikut adalah gambaran jalur dari pos 3 menuju pos 4.
Kontur perjalanan dari Pos 4 menuju pos 5 awalnya masih sama seperti perjalanan pos 3 ke pos 4, namum setelah beberapa ratus meter, jalannya sudah landai dengan kontur bebatuan yang disusun sedemikan rupa oleh pihak Taman Nasional. Tepat pada pukul 5.30 sore kami sampai di Pos 5.
Total waktu yang kami tempuh dari baseamp hingga ke pos 5 adalah sebagai berikut :
1. Basecamp ke Pos 1 : 1 Jam 30 Menit
2. Pos 1 ke Pos 2 : 45 Menit
3. Pos 2 ke Pos 3 : 1 Jam 30 Menit
4. Pos 3 ke Pos 4 : 2 Jam
5. Pos 4 ke Pos 5 : 30 Menit
Total : 6 Jam 15 Menit
Sign Pos 5
Alun Alun Surya Kencana Timur
Alun Alun Surya Kencana Timur - 2
Kami beristirahat sejenak dan kemudian berjalan menuju surya kencana barat untuk mendirikan tenda.
Perjalanan sekitar 1.5 KM, menurut Gogole Maps dengan dihiasi Bunga Edelwise di kiri kanannya perjalanan. Kenapa mendirikan tenda di sisi barat, agar tidak jauh untuk menuju jalur puncak keesokan harinya.
Alun Alun Timur - Alun Alun Barat
Sesampainya, kami langsung mendirikan tenda, memasak makan malam dan beristirahat.
Keesokan paginya, kami langsung menikmati seduhan kopi dan bersantai di depan tenda menikmati indahnya matahari yang menampakkan diri dengan perlahan dari ufuk timur.
Sunrise
Sekitar Jam 6.30 , saya bersiap untuk menuju puncak Gunung Gede. Saya sendirian menuju puncak karena teman saya tidak ikut. Kontur perjalanan menuju puncak terjal, dan seingat saya tidak ada sedikitpun bonus. Berikut Gamabarannya :
Jalur Menuju Puncak Gede
Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam, dan sampailah di Puncak Tertinggi Gunung Gede, 2.958 MDPL.
Puncak Gunung Gede
Tugu Puncak Gunung Gede
Finally, saya mencapai puncak Gunung Gede, Gunung ke-2 yang saya daki dan setelah 8 tahun tidak melakukan pendakian. LoL
Sekitar 30 menit kemudian, saya kembali turun menuju Alun-Alun Surya Kencana, perjalanan turun membutuhkan waktu sekitar 30 menit.
Sesampainya di tenda, saya memasak sarapan dan bersantai sejenak dan rencana awal ingin turun jam 12 siang batal karena kami ketiduran. LoL
Sarapan
Bersantai
Bersantai -2
Alun Alun Surya Kencana
Setelah makan siang, sekitar jam 3.30 sore, kami bersiap untuk turun ke basecamp dari rencana awal jam 12, molor karena kami ketiduran.
Kami langsung berjalan dan tidak beristirahat lama seperti kemaren saat mendaki karena rencana awalnya agar tidak gelap saat masih di hutan. Namun, sesampainya di Pos 3 kami beristirahat cukup lama, memakan snack dan juga menyeduh kopi. Karena, dari Surya Kencana sampai di Pos 3 kami tidak beristirahat cukup, hanya duduk sebentar , minum air dan kembali jalan. Barulah di pos 3 kami beristirahat cukup lama. Seingat saya, kami sampai di Pos 3 jam 5.30 sore dan kembali jalan hampir jam 6.30. Misi untuk tidak jalan malam di hutan kembali gagal. Tapi tidak masalah, karena basecamp semakin dekat dan kontur perjalanan tidak seperti sebelumnya. Di pos 3, kami bertemu kembali untuk kesekian kalinya dengan rombongan yang berjumlah 17 orang seperti yang saya ceritakan sebelumnya. Mereka bermalam dan mendirikan tenda di Pos 3.
Suasana Pos 3 Menjelang Malam
Coffe Time
Jam 6.30, malam sudah menjelang, kami melanjutkan perjalanan menuju basecamp. Sesampainya di pos 1, kami beristirahat karena misi untuk tidak jalan malam sudah gagal. Menikmati suara hutan dimalam hari . Sangat mengagumkan enak sekali ditelinga.
Art of Sound in the Middle of Forest
Pukul 8.30 , kami akhirnya sampai di Pintu Rimba. Setelah sebelumnya sempat beristirahat sejenak di pos ojek, karena disana signal internet sudah kencang dan keasikan balas-balas pesan dan mengabari keluarga. Jadi, perjalanan turun memakan waktu kotor sekitar 5 Jam kurang lebih. Karena kami beristirahat lumayan lama 3 kali, di Pos 3 1 jam di Pos 1 sekitar 30 menit dan di pangkalan ojek sebelum pintu rimba 30 menit. Bersihnya kira-kira 3 Jam. Kesimpulannya, waktu turun adalah setengah dari waktu pendakian, dan tentunya karena beberapa faktor. Seperti bawaan yang sudah tidak seperti mendaki, juga kontur perjalanan yang menurun.
Pintu Rimba Gunung Gede via Putri
Kami lanjut jalan, menuju basecamp kemudian bersiap untuk kembali pulang ke Jakarta.
Begitulah cerita pengalaman saya dalam pendakian Gunung Gede via Jalur Putri. Menyenangkan, kembali ke alam setelah berkutat di kehidupan kota, dan tentunya menjadi penyemangat saya untuk kembali mendaki. Nah, sebenarnya 8 tahun lalu ketika saya pulang dari pendakian gunung kerinci, hasrat untuk mendaki sangat tinggi. Namun kemudian berangsur hilang karena faktor tidak adanya teman, tapi saat ini dengan euforia yang sedang tinggi, saya berusaha untuk mejaga ritme dengan mencari teman untuk melakukan pendakian berikutinya ditambah lagi, saat ini gear saya sudah lengkap. Jadi, tinggal berangkat kalau ada teman haha. Kenapa begitu, karena saya tidak prefer untuk mendaki sendiri juga haha.
Berikut cerita saya ketika melakukan pendakian Gunung Kerinci tahun 2015 lalu.