Tidak semua cerita harus megah. Yang sederhana pun bisa tinggal lebih lama di hati

– Aspi Yuwanda

Bukit Suligi - 812 MDPL. Rokan Hulu - Riau.


Ada rasa yang tidak bisa didefinisikan setiap kali kembali menapaki jalur tanah, menembus hutan, dan tidur di bawah langit terbuka. Setelah sekian lama absen dari pendakian, awal 2018 saya memutuskan untuk kembali naik. Bukan ke gunung tinggi, tapi ke sebuah bukit yang sering muncul di beranda media sosial, Bukit Suligi —titik tertinggi di Kabupaten Rokan Hulu, Riau.

Pendakian ini saya lakukan bersama tiga orang teman, dengan satu tujuan sederhana: rehat sejenak, dan kalau bisa, mengejar matahari pagi dari atas awan. Tapi seperti biasa, alam punya cara sendiri untuk menyambut kami.

Menuju Desa Aliantan

Perjalanan dimulai dari Pekanbaru pada tanggal 31 Januari 2018. Menempuh ±4 jam menuju Desa Aliantan, Kecamatan Kabun. Cuaca lumayan bersahabat saat itu, meskipun beberapa ruas jalan mulai becek karena hujan gerimis di sepanjang perjalanan. Setibanya di desa, kami langsung mengurus perizinan dan bertemu dengan guide lokal yang akan menemani pendakian. Biayanya cukup terjangkau, hanya Rp150.000 per rombongan.

Saya selalu menghargai keberadaan pemandu lokal. Bukan hanya karena mereka tahu jalur, tapi karena cerita-cerita mereka sering kali lebih menarik dari hasil pencarian Google mana pun.

Mulai Mendaki – Jalan Setapak dan Tanah Lembab

Pendakian dimulai sekitar pukul 2 Siang. Jalur awal melewati kebun warga, lalu perlahan masuk ke hutan lebat. Medannya cukup bersahabat, tapi tetap menantang. Kami sempat beberapa kali berhenti, bukan karena lelah, tapi karena pemandangannya terlalu sayang untuk dilewati begitu saja.

Sekitar dua jam berjalan, kami sampai di puncak. Beberapa tenda sudah berdiri. Langit mulai gelap. Kami memasak mi instan, menyeruput kopi sachet, dan berbagi cerita hingga malam menyelimuti. Tidak ada sinyal. Tapi justru itu yang membuat momen lebih nyata.

Kabut Pagi dan Harapan yang Menguap

Kami bangun sekitar pukul 5 pagi. Harapan kami: melihat sunrise dan lautan awan seperti di postingan orang-orang. Tapi pagi itu, alam bicara lain.

Kabut tebal menyelimuti seluruh puncak. Jarak pandang hanya beberapa meter. Tidak ada matahari muncul dari balik awan, tidak ada semburat jingga di langit. Hanya kabut yang tenang—diam-diam menusuk dingin.

Sesaat saya merasa kecewa. Tapi kemudian sadar, inilah gunung. Tidak selalu memberi apa yang kita mau, tapi selalu memberi pelajaran untuk diterima.

Pulang dengan Rasa Baru

Pukul 8 pagi, kami berkemas dan bersiap turun. Jalur pulang terasa lebih cepat. Langkah lebih ringan, meskipun suasana masih sedikit berkabut. Di bawah, warga desa menyambut dengan senyum, seperti tahu kami tidak terlalu puas dengan pagi tadi.

Tapi bukankah pendakian memang tentang proses, bukan hasil? Meski awan menutup pandangan, ada banyak ruang yang justru terbuka: tentang sabar, syukur, dan menyambut hari tanpa ekspektasi.


Pekanbaru, 3 Februari 2018

0 Comentarios

Follow Me On Instagram