“Menyusuri jalur senja, di antara langit yang membuka rahasia hari.”
Gambar di atas diambil ketika malam menjelang , di Pos 4 Merbabu via Thekelan. Saat itu saya sedang mengistirahatkan tubuh di sabana dekat campsite, setelah berjalan lebih dari lima jam dari Pos 1 untuk sampai ke tempat ini. Sinyal muncul lalu hilang. Notifikasi menyala di beberapa titik. Di sekeliling, orang-orang sibuk dengan tendanya masing-masing. Tapi di tengah semua itu, saya duduk diam. Tidak sedang ingin membalas pesan. Tidak ingin ikut ramai. Dan justru di situ, saya merasa lebih utuh. Tanpa banyak hal yang harus dijelaskan.
Prolog: Ini Bukan Cerita Tentang Tempat.
Saya tidak sedang mencari puncak, tidak juga mencoba melarikan diri dari apa pun. Sore itu, saya hanya berjalan. Jalur menanjak, carrier di punggung, dan matahari yang sebentar lagi turun di balik awan. Tidak ada target. Tidak ada yang saya kejar. Tapi juga tidak ingin diam di tempat.
Beberapa waktu terakhir, ada banyak hal yang berjalan cepat. Terlalu cepat. Rasanya seperti ikut arus, tapi tidak benar-benar mengerti ke mana. Di antara semua itu, saya sadar: saya butuh ruang. Bukan untuk berhenti, tapi untuk diam sebentar. Untuk memastikan bahwa saya masih mendengar suara sendiri.
Tulisan ini bukan tentang pendakian. Bukan juga tentang tempat tertentu. Ini tentang momen-momen kecil yang diam-diam mengubah arah. Tentang ruang yang tidak bisa dijelaskan, tapi terasa. Dan tentang bagaimana saya belajar menjaga satu bagian dari diri agar tetap utuh, bahkan ketika segala hal di luar terus bergerak.
Kota dan Kepingan SunyiPagi itu, langit Jakarta berwarna abu-abu. Seperti biasanya, jalanan mulai penuh. Orang-orang bergerak dengan ritme yang sama: cepat, terburu, nyaris tanpa ekspresi. Saya ikut berdiri di antara mereka. Namun di kepala saya, justru muncul satu ingatan yang tidak saya undang. Kabut tipis di kaki gunung. Langkah pelan di jalur tanah basah. Suara angin, bukan klakson. Diam, bukan notifikasi.
Beberapa minggu terakhir, ada yang terasa aneh. Saya hadir, tetapi tidak benar-benar ada. Seperti biasa, bekerja senin - jumat. Namun, setiap kali hari mulai gelap, saya menyadari satu hal: ada bagian dari diri yang seperti tertinggal. Entah di mana. Bukan lelah. Lebih seperti kosong.
Suatu malam, saya mencoba menulis. Tapi, bahkan tulisan pun tidak mengalir. Kata-kata berhenti di tengah. Jari saya diam di atas keyboard. Saya mematikan lampu, dan membiarkan kamar tenggelam dalam gelap yang jujur. Di tengah diam itu, saya bertanya: sejak kapan semuanya terasa seperti ini? Dan tidak ada jawaban yang datang. Hanya satu bayangan samar: kampung halaman. Waktu berjalan pelan. Suara ibu dari dapur. Jendela kamar yang terbuka ke arah pepohonan di samping rumah. Sore yang sunyi. Dan saya yang lebih utuh.
Tahun ini, saya kembali ke gunung. Bukan karena rindu puncak, tapi karena ingin diam. Ingin berhenti berlari dari hal-hal yang tidak saya mengerti. Malam itu, saya duduk di depan tenda. Suara hutan mengisi malam yang sejuk. Dan saya merasa tenang, meskipun tidak sedang baik-baik saja. Bukan karena semuanya selesai, tapi karena saya tidak harus menjelaskan apa-apa. Di sana, diam bukan sesuatu yang aneh. Tidak ada yang menuntut cerita. Tidak ada yang menunggu alasan. Diam adalah cukup.
Ketika kembali ke kota, jalan tetap macet, jadwal tetap padat, dan suara tetap ramai. Tapi saya mulai belajar berjalan sedikit lebih pelan. Mulai memperhatikan lagi langkah kaki sendiri. Mulai mendengarkan apa yang saya rasakan, bukan hanya apa yang harus saya kerjakan. Saya belum pulih. Dan mungkin tidak harus sepenuhnya pulih.
Yang saya tahu, di antara dua dunia yang saya tempati, kota yang keras dan alam yang hening. Saya tidak harus memilih. Saya hanya perlu menjembataninya. Dengan cara yang saya pahami sendiri. Pelan-pelan. Dan sepenuh hati.
Di Antara Kabut dan Langkah Kaki
Waktu itu, saya berjalan. Tidak terlalu cepat, tidak terlalu yakin. Hanya mengikuti jejak yang memanjang ke depan, menjauh dari yang dikenal, mendekat ke sesuatu yang tidak bernama. Udara terasa asing. Lebih sunyi dari biasanya. Dan mungkin karena itu, saya bisa mendengar hal-hal kecil yang selama ini tenggelam dalam kebisingan. Langkah demi langkah, saya kehilangan hitungan. Yang tersisa hanya ritme: napas, tanah, dan suara yang datang entah dari mana.
Saya sempat berhenti. Bukan karena lelah. Lebih karena tubuh memberi isyarat untuk diam sejenak. Ada kabut yang turun pelan, menghapus garis pandang, tapi tidak membuat gentar. Aneh. Justru ketika tidak bisa melihat jauh ke depan, saya merasa lebih hadir. Tidak ada peta. Tidak ada tuntutan. Hanya saya, di titik ini, bersama yang tak terlihat tapi terasa.
Semakin jauh melangkah, semakin saya sadar bahwa tidak semua harus dibawa terus. Beberapa hal perlu ditinggalkan, agar bisa terus berjalan tanpa kehilangan arah. Yang dulu saya anggap penting, sekarang hanya terasa berat. Dan perlahan, saya letakkan. Satu per satu.
Ketika hari mulai gelap, saya duduk. Tanpa banyak alasan. Bukan karena ingin mencapai sesuatu, tetapi karena ingin mendengar apa yang sedang diam. Di kejauhan, hanya siluet. Bentuk-bentuk samar, seperti pikiran yang belum selesai. Dan untuk beberapa saat, saya membiarkan semuanya tetap begitu. Tanpa perlu diberi nama.
Malam turun seperti bisikan yang lembut. Tidak memaksa, tidak menakutkan. Hanya hadir, apa adanya. Saya tetap di tempat saya, membiarkan waktu berjalan tanpa ditagih. Tidak mengisi apa pun, tidak menutup apa pun. Dan mungkin, itulah saat yang paling jujur yang bisa saya temui belakangan ini. Bukan karena segalanya terasa ringan, tapi karena saya tidak sedang melawan apa-apa.
Pulang yang Tak Pernah Sama
Kembali bukan perkara sederhana. Kadang, yang kita tuju adalah tempat yang sudah kita kenal. Tapi versi diri yang kembali, tidak lagi persis seperti yang dulu pergi. Setelah semua yang diam, semua yang ditinggal dalam kabut, dan semua yang diam-diam dibawa di punggung, saya sampai di titik ini, di tengah segala yang biasa, dengan perasaan yang tidak lagi sama.
Orang-orang tak banyak berubah. Ritme tetap cepat, obrolan tetap dangkal. Semua kembali seperti semula. Hanya saya yang butuh waktu lebih lama untuk masuk ke percakapan. Butuh jeda sebelum menjawab. Butuh diam sebelum ikut tertawa. Dan itu tidak salah. Hanya berbeda.
Saya belajar bahwa pulang bukan soal tempat, tapi soal cara. Dan kadang, pulang berarti membawa keheningan itu masuk ke tengah kebisingan. Menjaga satu ruang di dalam, yang tidak ikut terburu-buru. Yang tidak ikut berebut dengar.
Ada hari-hari ketika saya nyaris lupa. Ketika ritme kota kembali menelan. Ketika layar kembali terang sampai malam. Ketika saya mulai tergoda untuk merasa harus cepat. Harus sibuk. Harus terlihat. Tapi lalu, ada sesuatu yang menarik saya pelan-pelan. Secangkir kopi yang terlalu lama didiamkan. Suara air dari kamar mandi kecil di ujung lorong. Selembar catatan yang saya temukan di sela buku. Tanda-tanda kecil bahwa diri ini masih menyimpan sunyi. Masih ingat caranya bernapas pelan.
Saya tidak lagi mencari tempat untuk kembali. Karena tidak semua perjalanan harus diakhiri dengan pulang. Beberapa cukup disimpan, sebagai pengingat, bahwa saya pernah diam. Pernah jujur. Pernah cukup. Dan mungkin itu saja sudah cukup. Bukan karena semuanya selesai, tetapi karena saya tidak lagi merasa perlu membuktikan apa pun.
Kini saya tahu. Saya bukan sepenuhnya milik kota. Tapi juga tak sepenuhnya bisa kembali ke kampung seperti dulu. Saya tinggal di jembatan itu. Antara dua dunia. Antara yang dulu dan yang sekarang. Antara yang saya rindukan dan yang saya jalani. Dan selama saya bisa menjaga ruang kecil itu tetap utuh di dalam, saya percaya saya tidak benar-benar tersesat.
Epilog: Tak Ada Peta, Tapi Saya Tetap Jalan
Saya pikir semuanya akan kembali seperti semula. Bahwa setelah menjauh, saya bisa kembali. Bahwa setelah hening, saya bisa kembali bersuara. Bahwa setelah tenang, saya bisa ikut ramai. Tapi ternyata tidak. Ternyata ada luka yang tidak bisa dibawa kembali. Ada ruang yang sudah berubah bentuk. Ada bagian dari saya yang tertinggal di tempat yang tak bisa saya ulangi. Dan saya biarkan saja begitu.
Di jalur pendakian, saya pernah duduk di sebuah tikungan. Tidak ada sinyal. Tidak ada orang yang saya kenal. Dengan suara tubuh saya sendiri. Napas yang berat, jantung yang canggung, dan pikiran yang mulai mengaku. Saat itu, saya tidak menangis. Tapi saya tahu betul saya sedang pecah.
Saya tidak ingin kuat. Saya hanya ingin jujur. Dan kadang, itu lebih menyakitkan daripada apa pun.
Kehidupan tidak menawarkan peta. Tidak memberi tahu mana yang benar. Tidak memberi peringatan bahwa kita akan kehilangan hal-hal yang dulunya terasa sangat kita genggam. Dan di titik tertentu, saya hanya bisa berjalan. Dengan langkah yang tidak selalu yakin. Dengan perasaan yang tidak selalu tenang. Tapi saya tetap berjalan.
Karena saya tahu, kalau saya berhenti, saya akan kembali menjadi orang yang tidak saya kenali. Dan saya tidak ingin kembali ke sana.
Saya ingin terus menjadi versi diri yang diam-diam tumbuh. Diam-diam belajar menerima. Diam-diam mencintai hal-hal kecil yang tak dilihat orang. Saya ingin tetap menjaga ruang itu. Yang sunyi. Yang jujur. Yang meski kecil.
"Rasanya, saya hidup di jembatan itu. Antara yang dulu dan yang sekarang. Bukan rumah, bukan pelarian, tapi ruang di antaranya. Tempat saya berhenti menyesuaikan, dan mulai menerima. Kadang goyah, kadang sepi. Tapi justru di sanalah saya belajar bahwa tidak harus utuh untuk bisa merasa cukup."
Jakarta, Awal Agustus 2025
Aspi Yuwanda