Hampir satu setengah tahun sejak pendakian terakhir saya—waktu itu ke Gunung Sindoro via Kledung, bulan November 2023. Sejak itu, belum sempat naik gunung lagi. Sampai akhirnya, pada tanggal 10–11 Mei 2025 kemarin, saya kembali menggelar carrier dan mendaki lagi. Kali ini ke Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah, dan gunung kedua tertinggi di Pulau Jawa setelah Semeru.
Pendakian ini cukup spesial karena akhirnya saya melengkapi “Triple S” julukan populer untuk tiga gunung bersaudara di wilayah Jawa Tengah: Sumbing, Sindoro, dan Slamet. Ketiganya sudah lama jadi daftar wajib bagi banyak pendaki. Gunung-gunung dengan ketinggian 3.000+ mdpl yang lokasinya berdekatan, tapi masing-masing punya karakter yang sangat berbeda. Sumbing yang terjal dan terbuka, Sindoro yang relatif bersahabat, dan Slamet yang terkenal dingin, basah, dan trek summit-nya yang menguras mental.
Lebih menariknya lagi, pendakian kali ini seperti reuni kecil bersama Glen dan Izzat; dua teman lama yang pada 2015 silam kami menjejakan kaki di Puncak Gunung Kerinci. Kami bertiga akhirnya kembali mendaki bersama, menantang jalur Permadi Guci yang terkenal karena air panasnya, dan tentu saja, trek hutannya yang panjang dan jalur summit-nya yang cukup ekstrem.
Sekilas tentang Gunung Slamet. Gunung Slamet adalah gunung tertinggi di Jawa Tengah dan gunung tertinggi kedua di pulau Jawa, setelah Gunung Semeru. Gunung Slamet juga merupakan salah satu "gunung tunggal" terbesar atau terluas di Indonesia seperti halnya Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat, karena memiliki diameter tunggal gunung (tidak ada gunung lain dalam area tersebut) terluas di Indonesia dengan luas vegetasi sekitar 312 km² (31.200 ha) dan luas total area gunung mencapai 560 km² (56.000 ha), area nya tercakup dalam 5 (lima) Kabupaten. Gunung ini cukup populer sebagai tujuan pendakian meskipun medannya dikenal sulit dan dikenal memiliki suhu yang sangat dingin serta basah. Kawah IV merupakan kawah terakhir yang masih aktif sampai sekarang, dan terakhir aktif hingga pada level siaga medio-2009. Di kaki gunung ini terletak kawasan wisata Baturraden yang menjadi tujuan wisata di Kabupaten Banyumas, dengan jarak sekitar 15 km dari Kota Purwokerto. Selain itu terdapat wisata alam berupa pemandian air panas Guci yang berada di sisi utara Gunung Slamet, tepatnya di Kabupaten Tegal. (sumber disini)
Ada beberapa jalur pendakian menuju Puncak Sang Atap Jawa Tengah ini. Melalui Bambangan, jalur paling populer. Melalui Permadi Guci, yang ikonik dengan pemandian Air Panasnya. Melalui jalur Baturaden, yang terkenal dengan wisata alamnya. Serta jalur-jalur lainnya , seperti Jalur Kaliwadas, Jalur Dipajaya, Jalur Cemara Sakti dan jalur lainnya. Pada pendakian kali ini saya mendaki melalui Jalur Permadi Guci.
Baik, saya akan mulai menceritakan pengalaman saya menuju Puncak Gunung Tertinggi ke 7 di Indonesia ini.
Perjalanan dimulai pada hari Jumat, 10 Mei 2025. Kami berangkat dari Jakarta menggunakan Kereta Api Tawang Jaya yang dijadwalkan melaju pukul 18.25 WIB dari Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Tegal, stasiun terdekat menuju basecamp Permadi Guci.
Kereta melaju menembus malam, membawa serta semangat lama yang terasa akrab: semangat menuju gunung. Di sepanjang perjalanan, obrolan kami lebih banyak diisi cerita-cerita lama, tentang puncak-puncak yang pernah kami gapai, dan tentu saja tentang Gunung Slamet yang akan kami daki esok hari.
Kami tiba di Stasiun Tegal sekitar pukul 22.55 WIB, sedikit terlambat dari jadwal. Tidak ada informasi yang jelas dari pihak kereta mengenai penyebab keterlambatan, mungkin baru akan diumumkan di tujuan akhir, Semarang Tawang. Tapi malam itu, kami tak terlalu memusingkannya. Tegal menyambut kami dengan udara yang lembab dan lengang. Dan di sinilah, pendakian kami benar-benar dimulai.
Sesampainya di Tegal, seorang Driver Grab yang menghampiri kami dan menanyakan tujuan kami selanjutnya. Harga yang ditawarkan oleh Pak Jamal sama saja dengan harga di Aplikasi, jadi yasudah. Kami menuju ke Basecamp menggunakan jasa Pak Jamal, dan nantinya Pak Jamal jugalah yang menjemput kami di Basecamp untuk diantarkan kembali ke Stasiun Tegal untuk perjalanan pulang.
![]() |
Bersiap Menuju Basecamp |
Pendakian melalui Basecamp Permadi Guci ini terdiri dari 5 Pos.
Basecamp - Pos 1
Seperti halnya di Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro, pendakian Gunung Slamet juga menawarkan jasa ojek gunung dari basecamp menuju titik terakhir yang bisa diakses kendaraan—yakni Pos 1. Tarifnya Rp 50.000, dengan durasi sekitar 20 menit. Cukup membantu memang, terutama untuk menghemat energi di awal pendakian.
Jika memilih berjalan kaki, jarak dari basecamp ke Pos 1 bisa ditempuh dalam waktu 1,5 hingga 2 jam. Jalurnya didominasi kontur yang sedikit menanjak, melewati kebun-kebun milik warga dan deretan penginapan sederhana di kiri dan kanannya. Saat itu, saya lebih dulu mendapatkan ojek dibanding Glen dan Izzat, jadi tiba lebih awal di Pos 1—tepat pukul 09.40 WIB. Sambil menunggu mereka, saya duduk sejenak, mengatur napas, dan membiarkan semangat perlahan tumbuh di antara sejuknya udara pegunungan.
Pos 1 - Pos 2 (Rimpakan)
Pukul 9.52 WIB , kami mulai perjalanan dari Pos 1 menuju Pos 2. Kontur perjalanan merupajkan hutan rapat, menanjak dan hanya cukup untuk 1 orang saja. Hampir tidak ada bonusnya. Hal ini mengingatkan saya dengan kontur perjalanan Shelter 2 ke Shelter 3 Gunung Kerinci, namun lebih sadis di Kerinci sih. Tapi ya mirip-mirip lah. Waktu yang kami tempuh untuk sampai di Pos 2 1 Jam 40 Menit. Lebih cepat 20 menit dari estimasi.
Pos 2 - Pos 3 (Selo Petak)
Kami tiba pada pukul 11.32 WIB. Di Pos 2, kami istirahat cukup lama, karena betis dan lutut sempat kaget karena baru mulai saja sudah dikasih trek yang seperti itu. Pukul 12.05 WIB kami melanjutkan perjalan ke Pos 3. Trek dilalui masih menanjak dengan hutan rapat dengan tanah yang tidak terlalu keras, tapi banyak bonus. Diperjalanan saya sempat melihat salah satu hewan endemic hutan Gunung Slamet, Lutung Jawa. Namun, tidak sempat mendokumentasikannya karena mereka begitu cepat loncat diantara pohon. Waktu yang kami tempuh untuk sampai di Pos 3 juga sama, sekitar 1 Jam 40 Menit. Namun, di perjalanan kami sempat istirahat cukup lama untuk makan siang.
Suasana Pos 3
![]() |
Sign Pos 4 |
Di campsite, kami makan siang lalu beristirahat sejenak. Sekitar pukul 15.00 WIB, kami bangun dan mulai berkemas untuk turun ke basecamp. Langit mulai gelap, sesekali terdengar suara petir di kejauhan. Tepat pukul 16.00 WIB, kami memulai perjalanan turun. Hujan menyertai hampir sepanjang jalan—tidak deras, tapi cukup membuat tubuh basah. Saya mengenakan jas hujan selama perjalanan, yang terasa gerah namun tetap diperlukan.
Empat puluh lima menit kemudian, saya tiba di Pos 3. Setelah istirahat lima menit, saya lanjut berjalan menuju Pos 2. Waktu tempuhnya juga sekitar 45 menit. Di Pos 2, kami istirahat cukup lama karena waktu maghrib telah masuk. Kami menunggu hingga waktu agak berlalu sebelum melanjutkan perjalanan.
Pukul 18.00 WIB, saya kembali melangkah menuju Pos 1 dan tiba sekitar pukul 19.15 WIB. Namun ternyata, antrean ojek sangat panjang, sementara jumlah ojek yang tersedia sangat terbatas. Saya harus menunggu sekitar tiga jam untuk giliran naik ojek waktu yang hampir sama lamanya dengan perjalanan turun dari Pos 4 ke Pos 1. Jika berjalan kaki mungkin hanya butuh satu jam, tapi tubuh sudah terlalu letih, jadi saya memilih menunggu.
Saat mengantre, saya berkenalan dengan dua orang pendaki dari Tegal. Kami sempat bertemu sebelumnya di Pos 2, dan kini kembali bersama di antrean Pos 1. Obrolan ringan selama tiga jam itu membantu membunuh bosan, diiringi gerimis dan angin malam yang terus datang bergantian.
Pukul 22.20 WIB, saya akhirnya tiba kembali di basecamp. Pak Jamal, driver yang sebelumnya mengantar kami, sudah menunggu untuk mengantar kami kembali ke Stasiun Tegal. Kami berangkat pukul 23.00 WIB dan tiba di stasiun setengah jam kemudian.
Jadi, begitulah cerita pengalaman saya mendaki Gunung Slamet via Permadi Guci. Secara keseluruhan, kontur perjalanan dari Pos 1 hingga Pos 4 masih relatif bisa dihadapi, meskipun tetap melelahkan. Namun, tantangan sebenarnya ada di jalur dari Pos 5 menuju puncak, medannya ekstrem, menanjak curam, dengan potensi cuaca buruk yang bisa datang sewaktu-waktu. Jalur ini tidak saya rekomendasikan untuk pendaki pemula. Jika ingin mencoba, pastikan fisik benar-benar siap, dan yang paling penting: siapkan mental yang kuat.
Pada akhirnya, tujuan mendaki gunung bukan semata soal menaklukkan puncak. Tapi tentang bagaimana kita bisa pulang dengan selamat. dengan tubuh utuh, hati penuh, dan jiwa yang mungkin sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
Where to go, next?
"Triple S, Completed! Tapi perjalanan belum selesai. Karena mendaki bukan tentang selesai, melainkan tentang terus pulang dan kembali dengan cerita baru."
Gunung Ciremai memang ada di kepala, tapi entah kenapa langkah ini justru terasa lebih condong ke timur. Gunung Merbabu, dengan sabananya yang seperti taman langit, kembali hadir sebagai ajakan yang sulit ditolak. Mungkin bukan gunung paling tinggi, tapi bisa jadi gunung yang paling ingin saya datangi saat ini. Rasanya seperti dipanggil pelan-pelan tapi terus-menerus—dan semakin ditunda, makin bikin gelisah.
Di belakangnya, sudah menunggu nama-nama lain yang dari dulu cuma jadi catatan kecil di kepala: Gunung Prau, tempat pagi datang paling awal—tempat orang-orang rela bangun tengah malam cuma demi melihat matahari jadi emas. Lalu Arjuno-Welirang, duet klasik dengan aroma belerangnya yang khas, seperti dua sahabat lama yang cerewet tapi bikin kangen. Dan satu lagi, Raung. Gunung galak yang katanya lebih menyeramkan dari mantan waktu marah, tapi justru itu yang bikin penasaran—semakin liar, semakin ingin didekati.
Bukan karena saya ingin menguji diri. Tapi karena tiap gunung seperti punya bahasa sendiri yang kadang hanya bisa dimengerti ketika kita sampai di sana—berdiri diam di hadapannya, dan membiarkan hening menjelaskan maksudnya.
Namun kali ini, pendakian tak bisa asal berangkat. Sekarang saya butuh izin lebih dari sekadar hari cuti. Di rumah, ada anak kecil yang sudah lancar berbicara dan selalu bertanya kalau saya belum pulang saat langit sudah gelap. Kadang cuma satu kalimat: “Papap di mana?” Tapi dari situ saja, rasanya saya sudah ditarik turun bahkan sebelum naik.
Jadi ya, semua rencana ini... masih dalam tanda koma. Bukan titik. Karena mendaki, pada akhirnya, bukan soal pergi sejauh mungkin, tapi tentang bagaimana tetap bisa pulang—dengan cerita yang layak dibagikan, dan pelukan yang tak perlu dijelaskan.