Catatan Akhir Tahun 2019: Yang Hilang, Yang Tiba, dan Yang Tetap Tinggal
Tidak ada gegap gempita. Tidak ada pencapaian besar yang dirayakan dengan sorak. Tapi 2019 adalah tahun yang berjalan pelan, penuh kejutan tenang, dan memberi ruang untuk melihat ulang hal-hal yang sering luput dalam kecepatan.
Tahun ini saya memulai dengan sebuah perjalanan kecil: membawa Mama berjalan-jalan ke Kuala Lumpur dan Malaka, sesuatu yang tidak pernah saya duga bisa saya lakukan dengan ringan. Di pertengahan tahun, saya berganti pekerjaan, bukan karena saya mengejar sesuatu, tapi karena sesuatu itu yang datang lebih dulu menghampiri. Dan di akhir tahun ini, saya lebih banyak diam. Bukan karena kehilangan arah, tapi karena sedang menikmati jalur yang mulai terasa pas.
Tidak banyak hal yang saya tampilkan ke luar. Tapi banyak yang saya simpan baik-baik di dalam. Beberapa hari hening, beberapa hari penuh tanya, dan sisanya adalah hari-hari biasa yang kalau dipikir ulang, ternyata membentuk bagian penting dari hidup saya.
Tahun yang Mengajarkan Melepaskan dan Menerima
Di pertengahan tahun, saya mengalami hal yang sulit untuk diceritakan dengan kata-kata sederhana karena ia bukan hanya soal kehilangan, tapi juga tentang keberanian untuk mengakui bahwa tidak semua hal bisa kita pertahankan, bahkan ketika kita masih ingin mencoba.
Hubungan yang selama ini saya jaga perlahan sampai di ujung. Tidak ada amarah besar, tidak juga luka yang mengoyak. Hanya pagi yang tenang, dan sebuah percakapan yang membuat segalanya berubah. Kami berdua akhirnya saling memahami, bahwa kadang yang kita butuhkan bukan lagi bertahan, tapi mengikhlaskan. Dan dari sana, perlahan, hidup kembali menemukan bentuk barunya.
Lucunya, setelah semuanya selesai dan saya kira akan lama untuk kembali pulih, semesta seolah memberi ruang. Saya bertemu orang lain, bukan dengan tergesa, tapi dengan hati yang lebih siap. Tidak lagi dengan harapan berlebihan, tapi dengan penerimaan yang sederhana.
Menyelesaikan yang Pernah Tertunda
Di tengah perubahan-perubahan itu, saya tetap menjalani hari-hari dengan satu hal lain yang juga menunggu diselesaikan: kuliah yang sudah berjalan tiga tahun, dan belum juga selesai. Tahun 2019 menjadi tahun yang saya habiskan sambil terus mencicil skripsi, di sela pekerjaan yang mulai mengisi hari-hari saya.
Tidak mudah membagi waktu antara tanggung jawab akademik dan pekerjaan penuh waktu. Tapi perlahan, sedikit demi sedikit, akhirnya sampai juga ke garis akhir.
Bulan Desember 2019, saya wisuda.
Tidak ada selebrasi besar. Tapi ada rasa lega yang sulit dijelaskan. Setelah semua yang dilalui, pindah jurusan, menunda, bekerja sambil menyusun tugas akhir, akhirnya bisa menyelesaikan satu babak yang sempat terasa terlalu panjang.
Dan yang membuat momen itu terasa istimewa: Mama datang menghadiri wisuda saya, duduk di antara para orang tua lainnya dengan senyum yang saya tahu tidak dibuat-buat. Di sebelahnya, duduk seseorang yang baru hadir di hidup saya. Yang tidak tahu seluruh perjuangan dari awal, tapi dengan tenang memilih untuk hadir di akhirnya.
Mereka berdua menyaksikan saya menyelesaikan satu babak, dan entah kenapa, itu rasanya lebih dari cukup.
Penutup: Akhir yang Pelan Tapi Penuh
2019 bukan tahun penuh sorak. Tapi ia adalah tahun yang memberi banyak ruang, untuk jeda, untuk bangkit, untuk menyelesaikan, dan untuk menerima bahwa segala sesuatu memang datang dan pergi pada waktunya.
Kadang, kita hanya perlu percaya bahwa semua yang terasa berat hari ini, akan terasa ringan di titik yang belum kita lihat sekarang.
Dan kalau saya boleh menyimpulkan 2019 dalam satu kalimat, mungkin begini: Tahun di mana saya belajar menerima kehilangan, lalu disambut oleh sesuatu yang lebih baik dengan hati yang lebih lapang.
Jakarta, Akhir Tahun 2019
0 Comments