Terakhir kali saya ke Jogja, dua tahun lalu. Ketika itu saya menemani adik bungsu berkunjung ke kota ini, dengan semangat yang sama, meski dalam bentuk yang berbeda. Beberapa kota tak hanya menjadi tempat, tapi juga jeda. Jogja adalah salah satunya. Saat undangan pernikahan sepupu tiba di rumah, saya tahu: ini lebih dari sekadar acara keluarga. Ini akan menjadi perjalanan kecil bersama istri dan anak untuk kembali menyentuh suasana yang selama ini saya rindukan.
Jumat pagi, 13 September 2024, kami bertiga berangkat dari Stasiun Pasar Senen dengan Kereta Gajahwong pukul 07.35 WIB. Anak saya terlihat semangat karena ini perjalanan jauh pertamanya naik kereta. Sekitar pukul 15.33 WIB, kami tiba di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Udara terasa sedikit lebih lengket tapi juga lebih bersahabat dari Jakarta.
Kami langsung menuju sebuah Hotel di daerah Sleman, tempat kami menginap selama di sini. Setelah istirahat sejenak, sore menjelang malam kami keluar untuk makan malam. Kuliner pertama yang kami pilih adalah Restauran yang menjual Ayam Goreng di dekat hotel. Anak saya memesan ayam kemes, dan kami menikmati makan malam di udara terbuka khas Jogja.
Malam itu ditutup dengan berjalan pelan di sekitar hotel. Tidak ada agenda khusus, hanya menikmati suasana kota yang seolah tidak pernah kehabisan ketenangan.
Sabtu pagi adalah inti dari perjalanan ini pernikahan sepupu saya yang digelar di sebuah gedung pertemuan di kawasan Sleman. Acara berlangsung khidmat dengan nuansa adat Jawa. Istri saya mengenakan kebaya, dan anak saya memakai Jas, seperti saya. Sederhana, tapi hangat.
Yang paling berkesan hari itu adalah bertemu kembali dengan saudara-saudara dari pihak ayah. Sudah lama sekali tidak bertemu. Kami tertawa, bercerita dan saling bertukar kabar terbaru. Momen seperti ini sangat jarang terjadi, dan saya merasa sangat bersyukur bisa hadir.
Sore hari selepas acara, kami mengisi waktu dengan berkunjung ke Ambarukmo Plaza (Amplaz). Sekadar berjalan-jalan, makan es krim, dan membelikan mainan untuk anak saya, karena dia melihat mainan milik anak lainnya di acara pernikahan tadi, dan saya menjanjikan untuk membelikannya setelah acara selesai. Haha Tidak ada yang luar biasa, tapi rasanya bahagia.
Minggu pagi, kami mengunjungi Candi Prambanan. Udara cerah, cukup terik, tapi angin semilir membuatnya tetap nyaman. Candi masih berdiri megah seperti dulu. Saya mencoba menjelaskan sedikit tentang kisah Ramayana kepada anak saya, meski ia lebih tertarik mengejar burung yang mondar-mandir di rerumputan.
Setelah puas di Prambanan, kami kembali ke pusat kota dan berjalan-jalan di Malioboro. Belanja sedikit oleh-oleh, minum es dawet, dan memotret anak di depan mural khas Jogja. Suasana Malioboro tak pernah gagal menghadirkan nostalgia.
Malamnya, kami menuju Alun-Alun Kidul. Kami menyewa odong-odong lampu dengan musik ceria. Anak saya tertawa riang, dan saya sempat berpikir: ternyata kebahagiaan memang sering kali hadir dalam bentuk yang sangat sederhana.
Senin pagi kami berkemas. Tidak terburu-buru, karena kereta pulang masih sore. Saat menatap koper yang mulai tertutup, saya tahu perjalanan ini mungkin singkat, tapi maknanya panjang.
“Kami datang untuk menghadiri pernikahan, tapi pulang membawa sesuatu yang lebih: kenangan yang akan selalu kami ingat, dengan senyum pelan saat mengingatnya nanti.”
Sampai lain waktu, Yogyakarta.
Aspi Yuwanda