"Di tahun yang belum benar-benar pulih, saya dan adik bungsu memutuskan untuk melarikan diri sebentar dari rutinitas, menumpang kereta malam ke Jogja. Bukan perjalanan panjang, tapi cukup untuk melihat Borobudur, menyusuri Malioboro, dan memotong rambut di bawah pohon. Hanya dua hari satu malam, tapi rasanya seperti menyentuh ulang sesuatu yang sudah lama tertinggal."
2022 adalah tahun yang masih memanggul sisa-sisa pandemi. Masker masih menjadi kebiasaan, dan rencana-rencana besar masih tertunda atau bahkan dibatalkan. Tapi hidup pelan-pelan mulai bergerak lagi. Sekolah kembali dibuka, kereta kembali beroperasi, dan orang-orang kembali mencari ruang untuk bernapas lebih lega.
Mama dan adik saya datang ke Jakarta, menghabiskan liburan sekolah. Di sela hari-hari yang masih terasa abu-abu, kami menyusun rencana kecil. Bukan yang jauh, bukan yang mewah. Hanya satu akhir pekan yang sedikit berbeda dari biasanya: perjalanan singkat ke Jogjakarta.
Saya dan adik bungsu berangkat berdua. Ini adalah pertama kalinya dia naik kereta jarak jauh. Wajahnya menyimpan gugup kecil yang disembunyikan di balik tawa. Kami duduk berdampingan di gerbong malam, menembus rel-rel panjang yang membawa kami ke kota yang akrab tapi selalu punya cerita baru.
Menariknya, ini baru kali kedua saya menginjakkan kaki di Jogja. Tapi entah kenapa, suasananya seperti sudah lama saya kenal. Ada sesuatu yang melekat dalam cara kota ini menyapa: angin yang bergerak pelan, lampu-lampu jalan yang temaram, dan suara gamelan dari radio angkringan. Jogja tidak pernah berusaha menjadi megah. Tapi justru di situlah letak hangatnya.
Hari yang Padat, Tapi Tidak Terburu
Kami tiba di Jogja pagi-pagi sekali. Stasiun masih sunyi, udara masih basah. Setelah sarapan singkat, kami langsung menyewa motor, alat transportasi sederhana yang membuat perjalanan di kota ini selalu terasa dekat.
Tujuan pertama kami adalah Borobudur. Candi itu berdiri diam seperti biasa, tapi setiap kali datang ke sana, suasananya tetap membuat tenang. Adik saya melihatnya untuk pertama kali. Saya tidak banyak menjelaskan. Biarlah ia melihat, berjalan, dan merasakan dengan caranya sendiri.
Dari Borobudur, kami lanjut ke Prambanan. Udara mulai panas, tapi langit cerah. Kami duduk di rerumputan sebentar, berbagi minuman, dan menertawakan hal-hal kecil yang kami temui di jalan.
Siang menjelang sore, kami check-in di hotel kecil untuk istirahat dan mandi. Tidak lama. Hanya cukup untuk menyegarkan badan, lalu kembali keluar. Tujuan sore itu: Malioboro dan Alun-Alun.
Kami berjalan pelan di sepanjang Malioboro. Lampu-lampu toko mulai menyala, suara angkringan mulai muncul dari gang-gang samping. Lalu kami melanjutkan ke Alun-Alun Kidul, mencoba melihat Jogja dari sisi malamnya. Tidak banyak yang kami lakukan, hanya duduk, bercerita, dan menikmati jalanan yang ramai tapi terasa damai.
Pagi Terakhir dan Potongan Kecil Kenangan
Keesokan paginya kami check-out. Hari itu kami sempat mampir ke Alun-Alun Utara. Di bawah salah satu pohon besar, saya melihat sesuatu yang jarang ditemui sekarang: seorang tukang cukur duduk dengan kursi lipat dan cermin kecil. Tanpa pikir panjang, saya duduk di sana dan memotong rambut.
Ada sesuatu yang akrab dari suasana itu. Seperti fragmen masa lalu yang tak sengaja kembali. Potong rambut di bawah pohon, di kota lama, di pagi yang lambat. Momen sederhana yang terasa penuh.
Kami menghabiskan waktu tersisa di sekitar Malioboro, membeli sedikit oleh-oleh, makan siang ringan, lalu kembali ke stasiun. Kereta kami menuju Jakarta sudah menunggu.
Adik saya tertidur tak lama setelah kereta berjalan. Di sampingnya, saya duduk diam, memandangi langit lewat jendela. Perjalanan ini memang singkat, tapi tidak terasa terburu-buru. Ia datang seperti jeda kecil yang hangat di tengah tahun yang belum tentu.
Tentang Waktu
Tidak semua perjalanan harus panjang. Tidak semua liburan harus ramai. Kadang, yang kita butuhkan hanya satu akhir pekan yang cukup dekat, cukup tenang, cukup hangat.
Dan mungkin itu yang Jogja berikan pada kami saat itu: dua hari, satu kota, dan banyak rasa yang tak kami ucapkan tapi kami simpan sama-sama.
Jakarta, 9 Juli 2022
Aspi Yuwanda