Ada tahun-tahun yang berlalu begitu saja.
Lalu ada tahun seperti 2020. Yang terasa seperti jeda panjang dalam hidup. Sekaligus titik balik dari banyak hal yang dulu saya anggap pasti.
Tahun ini, dunia berubah.
Dan hidup saya ikut berubah.
Satu Virus. Semua Berubah.
Kita semua tahu bagaimana mulanya.
Awalnya hanya berita dari jauh.
Lalu perlahan jadi kecemasan.
Dan tiba-tiba, semuanya berhenti.
Saya masih ingat hari-hari pertama WFH.
Jalanan yang biasanya bising jadi sunyi.
Masker jadi identitas baru.
Dunia seolah mengecil sampai sebatas layar gawai dan dinding kamar.
Pandemi ini bukan hanya soal virus. Tapi soal kehilangan cara hidup yang biasa.
Banyak yang berubah di luar.
Tapi lebih banyak lagi yang berubah di dalam.
Masalah yang Tak Terlihat. Tapi Terasa.
Pandemi membawa banyak hal yang tak bisa dijelaskan hanya dengan angka.
Di tempat kerja, kami tetap bertahan.
Tapi dengan gaji yang dipotong sekian persen.
Ritme yang tidak menentu.
Dan kecemasan yang tidak pernah benar-benar bisa diredakan.
Saya bersyukur masih bisa bekerja.
Tapi saya juga tahu, ada kekosongan yang tumbuh diam-diam.
Seolah dunia meminta kita untuk tetap produktif.
Padahal napas kita sendiri sedang megap-megap.
Dan di tengah semua itu, saya menjalani sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Lebaran tanpa pulang kampung.
A Year Without Coming Home.
Saya menulis tentang ini di blog.
Tentang betapa aneh dan sepinya momen Idulfitri tanpa kehangatan keluarga.
Tanpa jalan-jalan sore keliling kampung.
Tanpa suara ketukan di pintu rumah nenek.
2020 jadi tahun pertama dalam hidup saya tidak pulang saat lebaran.
Saya tidak pernah membayangkan hal itu bisa terjadi.
Tapi begitulah pandemi.
Ia mengajarkan kita banyak hal.
Termasuk tentang menahan rindu.
Dan ternyata, yang paling berat dari tidak pulang kampung bukan sekadar soal jarak.
Tapi soal sunyi yang datang saat kamu tahu.
Tak ada yang bisa kamu lakukan selain menerima.
Pulang yang Tertunda. Tapi Tetap Ada.
Meski lebaran tak pulang, Tuhan masih beri ruang untuk saya mengobati rindu.
Akhir Oktober saya sempat pulang tujuh hari.
Sebentar, tapi cukup untuk memeluk waktu.
Dan akhir tahun ini, saya pulang lagi. Dua minggu.
Saya menginjak tanah yang lama.
Memandang wajah-wajah yang saya rindukan.
Rasanya seperti memulihkan sesuatu yang sempat hilang.
Mungkin itulah cara Tuhan bekerja.
Ia tidak selalu memberi apa yang kita inginkan di waktu yang kita mau.
Tapi Ia tahu kapan hati kita benar-benar butuh pulang.
Penutup. Tahun yang Tak Akan Pernah Sama Lagi.
2020 bukan hanya tahun pandemi.
Ia adalah tahun ketika semua orang terpaksa berhadapan dengan dirinya sendiri.
Dengan sunyi.
Dengan takut.
Dengan kehilangan.
Dan dengan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini dihindari.
Bagi saya, 2020 adalah tahun ketika saya belajar untuk tidak terlalu mengandalkan rencana.
Karena sebaik apa pun kita merancang hidup, dunia bisa berkata: tunggu dulu.
Tapi sekaligus, tahun ini juga mengajarkan saya untuk tidak berhenti berharap.
Karena dalam semua kekacauan yang terjadi, saya masih diberi kesempatan pulang.
Masih diberi pelukan.
Masih diberi hari esok.
Dan untuk itu, saya belajar lebih banyak bersyukur.
Bukan untuk apa yang hilang.
Tapi untuk apa yang tersisa.
Terima kasih, 2020.
Sudah membuat saya berhenti sejenak.
Menunduk.
Merenung.
Lalu mulai berjalan lagi.
Dengan cara yang lebih pelan.
Tapi lebih sadar.
“2020 membuat saya percaya, bahwa waktu bisa berhenti, tapi harapan tidak pernah mati. Selama kita masih memilih untuk melangkah, sekecil apa pun itu.”
Bangkinang, Akhir Tahun 2020
Aspi Yuwanda