Perjalanan ini bukan hal yang direncanakan jauh hari. Ia muncul dari perbandingan harga tiket pesawat yang tampak biasa saja di layar, tapi diam-diam membuka kemungkinan lain. Waktu itu, saya sedang mencari tiket dari Pekanbaru ke Jakarta untuk pulang setelah lebaran. Lalu tanpa sengaja, saya mendapati bahwa harga tiket Pekanbaru–Kuala Lumpur–Jakarta tak berbeda jauh dengan tiket langsung ke Jakarta. Maka sebuah ide sederhana muncul, bagaimana jika libur lebaran ini diisi dengan berjalan-jalan sebentar ke Malaysia bersama Mama?
Bukan untuk berpindah kemewahan. Hanya untuk merayakan lebaran dengan cara yang berbeda. Menepi sejenak dari rutinitas, menyusuri kota asing yang tak sepenuhnya asing, dan menemukan waktu bersama yang mungkin sulit diulang lain kali.
Sore Tiba, Malam Menyusuri Bukit Bintang
Kami berangkat dari Pekanbaru pada hari kedua lebaran. Penerbangan sore hari membawa kami melintasi awan yang tenang. Tiba di Kuala Lumpur menjelang maghrib, disambut langit senja yang lembut dan lalu lintas yang belum terlalu padat. Sepupu saya menjemput di bandara, mengantar kami ke hotel yang sudah dipesan sebelumnya. Lokasinya cukup strategis, tidak jauh dari kawasan Bukit Bintang, jantung keramaian kota ini.
Meski badan sedikit lelah, malam itu kami sempat berjalan kaki ke Bukit Bintang. Hanya beberapa blok dari hotel. Jalanan ramai, tapi terasa aman. Lampu-lampu pertokoan, suara tawa turis, dan aroma makanan dari gerai kaki lima menciptakan semacam energi yang sulit dijelaskan. Kami tidak membeli banyak, hanya menyusuri trotoar, sesekali berhenti, dan sesekali tersenyum melihat betapa hidupnya sebuah kota bahkan di malam hari.
Genting Highland, Mampir ke Batu Caves
Pagi-pagi, kami sudah bersiap. Hari itu, sepupu saya mengantar kami menuju Genting Highland, kawasan resort dan hiburan di dataran tinggi yang terkenal dengan kereta gantungnya. Perjalanan ke atas terasa seperti menyusuri kabut, perlahan dan sunyi. Dari dalam cable car, pemandangan pegunungan terbuka luas.
Kami tidak bermain di wahana, hanya berjalan menyusuri mal indoor dan menikmati udara yang lebih sejuk dari Kuala Lumpur. Tidak ada rencana yang muluk. Kami hanya ingin berjalan bersama, tanpa harus terburu-buru ke mana pun.
Dalam perjalanan kembali ke kota, kami mampir ke Batu Caves. Tangga warna-warni yang mengarah ke gua kuil Hindu itu tampak mencolok dari kejauhan. Kami tidak naik hingga atas, tapi cukup untuk melihat-lihat suasana, memotret patung Murugan setinggi 42 meter, dan menikmati dinamika tempat ibadah yang sekaligus menjadi objek wisata.
Sore hingga malam, kami menghabiskan waktu di pusat kota: berfoto di depan Menara Petronas, lalu berjalan kaki sebentar ke Dataran Merdeka. Kuala Lumpur menyuguhkan pemandangan kota yang teratur, dengan suasana yang modern namun tetap menyisakan ruang untuk tenang.
Ke Selatan, Menemukan Malaka
Pagi hari kami meninggalkan Kuala Lumpur. Dari Terminal Bersepadu Selatan (TBS), kami menaiki bus menuju Malaka, kota tua yang sejak lama saya dengar namanya dalam pelajaran sejarah. Perjalanan berlangsung selama sekitar dua jam. Jalan tol terbentang mulus, dan di sepanjang jendela hanya tampak perkebunan kelapa sawit, perbukitan, dan langit yang cerah.
Kami tiba di Malaka menjelang tengah hari, cukup terik saat itu. Setelah check-in di sebuah hotel kecil di sekitar pusat kota, kami langsung berjalan kaki menyusuri kawasan bersejarah. Suasana kota ini berbeda dari Kuala Lumpur, lebih tenang, lebih pelan, dan menyimpan jejak masa lalu yang terasa di setiap bangunan.
Kami memulai dari Jalan-Jalan Jonker (Jonker Street), jalan sempit yang ramai oleh toko suvenir, kedai makanan lokal, dan deretan rumah tua berfasad Peranakan. Mama membeli beberapa gantungan kunci dan magnet kulkas, lalu kami sempat duduk di sebuah warung kecil menikmati es cendol dingin yang menyegarkan di tengah panas hari.
Kami juga mengunjungi Stadthuys dan Christ Church, bangunan kolonial berwarna merah yang menjadi pusat keramaian wisatawan. Tidak jauh dari sana, berdiri A Famosa, sisa gerbang kecil dari benteng Portugis yang pernah berdiri megah berabad-abad lalu. Di ujung hari, kami menyusuri Sungai Malaka dengan perahu kecil. Matahari mulai turun, dan lampu-lampu di sepanjang tepian sungai mulai menyala. Kota ini seperti melepaskan suara lembutnya di sore hari. Tidak ada yang terburu-buru.
Kembali ke Kuala Lumpur dan Waktu yang Terbatas
Keesokan pagi, kami meninggalkan Malaka dan kembali ke Kuala Lumpur dengan bus yang sama. Waktu kami tinggal sedikit. Setibanya di kota, kami hanya sempat jalan-jalan singkat, lebih banyak mengisi waktu dengan hal-hal ringan, membeli oleh-oleh, makan siang, dan beristirahat di hotel.
Mama memilih beberapa jenis teh tarik instan, biskuit khas Malaysia, dan sedikit camilan untuk dibawa pulang. Tidak ada keramaian, tidak ada belanja besar-besaran. Hanya sebatas membawa pulang sedikit rasa dari tempat yang sempat kami kunjungi.
Malam itu kami habiskan dengan tenang di kamar hotel. Menata barang, mengecek kembali tiket, dan berbicara pelan. Rasanya perjalanan ini berjalan cepat, tapi tidak terburu-buru. Masing-masing tempat kami singgahi dengan cukup waktu untuk diam, mengamati, dan menikmati.
Kembali ke Arah Masing-Masing
Pagi-pagi sekali kami bersiap ke bandara. Mama pulang ke Pekanbaru, sedangkan saya langsung ke Jakarta. Terminal keberangkatan kami berbeda, karenanya perpisahan kami berlangsung lebih cepat, sebelum kami masing-masing naik pesawat yang akan mengantarkan kami ke tujuan masing-masing.
Perpisahan selalu punya caranya sendiri untuk menjadi tenang dan sekaligus meninggalkan ruang kosong. Tapi tidak ada kesedihan yang berlebihan. Yang ada hanya rasa cukup.
Momen Kecil yang Tetap Tinggal
Perjalanan ini tidak spektakuler. Tidak ada destinasi baru yang belum pernah ditulis orang. Tapi yang menjadikannya berarti adalah siapa yang berjalan bersama kita.
Bersama Mama, saya belajar untuk menikmati waktu dengan lambat. Tidak semua tempat harus dijelajahi, tidak semua spot harus diabadikan dalam foto. Terkadang, cukup dengan duduk bersama di peron bus, atau berjalan pelan di pasar malam, atau menatap sungai dari atas perahu sambil diam.
Karena pada akhirnya, yang paling tinggal bukanlah tempat yang kita datangi, tapi perasaan yang muncul saat kita ada di sana dan siapa yang menemani kita merasakannya.
Menariknya, di tengah perjalanan ini, tepat ketika kami berada di Malaka, saya menerima sebuah pesan WhatsApp. Sebuah perusahaan digital agency menghubungi saya dan meminta waktu untuk interview langsung dengan Manajer mereka. Namun karena saat itu saya masih berada di Malaysia, saya meminta agar jadwalnya diundur ke minggu depan. Mereka menyetujui.
Wawancara itu akhirnya terlaksana, dan tanpa saya duga, saya bekerja di perusahaan tersebut beberapa waktu setelahnya. Ini bisa dibilang titik terbaik dari karir saya sejauh ini
Saya jadi teringat satu percakapan singkat dengan penumpang lain di Bandara Pekanbaru, saat kami menunggu pesawat menuju Kuala Lumpur. Ia tersenyum dan berkata, “Wah, pergi berdua dengan mamanya ya? Semoga lancar rezekinya ya.” Kalimat itu sederhana, tapi rasanya mengandung doa yang dalam. Dan entah kebetulan atau bukan, beberapa hari setelahnya, doa itu seperti menemukan jalannya sendiri.
Jakarta, 21 September 2019